Konsep Budaya Organisasi
Memahami konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu hal yang mudah. Belum adanya kesepakatan atas konsep budaya organisasi menyebabkan munculnya pemahaman yang bervariasi dan kontroversi. Bidang studi budaya organisasi ini pun dapat dikatakan masih berusia muda.
Robbins (1996) mengatakan budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggotanya dan yang membedakan antara satu organisasi dengan lainnya. Robbins (1994) memberi pengertian budaya organisasi antara lain sebagai: (1) Nilai-nilai dominan yang didukung oleh organisasi (Deal & Kenney 1982), (2) Falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap pegawai dan pelanggan (Pascale & Athos 1981), (3) Cara pekerjaan dilakukan di tempat itu (Bower 1966), (4) Asumsi dan kepercayaan dasar yang terdapat di antara anggota organisasi (Schein 1985). Dari beberapa pendapat di atas nampak ada kesepakatan yang luas bahwa budaya organisasi mengacu ke suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu yang membedakan organisasi itu dari organisasi – organisasi lain (Robbins 1996).
Dari sudut pandang karyawan, budaya memberi pedoman bagi karyawan akan segala sesuatu yang penting untuk dilakukan. Sejumlah peran penting yang dimainkan oleh budaya organisasi adalah: (a) Membantu pengembangan rasa memiliki jati diri bagi karyawan, (b) Dipakai untuk mengembangkan keterkaitan pribadi dengan organisasi, (c) Membantu stabilitas organisasi sebagai suatu sistem sosial, (d) Menyajikan pedoman perilaku sebagai basil dan norma perilaku yang sudah dibentuk.
Budaya organisasi yang terbentuk, dikembangkan, diperkuat atau bahkan diubah, memerlukan praktik yang dapat membantu menyatukan nilai budaya anggota dengan nilai budaya organisasi. Praktik tersebut dapat dilakukan melalui induksi (Kempton, 1995, dalam Nurfarhati, 1999) atau sosialisasi, yaitu melalui proses transformasi budaya organisasi (Robert; 1994, dalam Nurfarhati, 1999). Sosialisasi organisasi merupakan serangkaian aktivitas yang secara substantif berdampak kepada penyesuaian aktivitas individual dan keberhasilan organisasi, antara lain komitmen, kepuasan dan kinerja (Nelson, 1991: Young & Lunberg, 1996, dalam Nurfarhati, 1999). Menurut Luthans (1995), beberapa langkah sosialisasi yang dapat membantu dan mempertahankan budaya organisasi adalah melalui seleksi calon karyawan, penempatan, pendalaman bidang pekerjaan, penilaian kinerja dan pemberian penghargaan, penanaman kesetiaan pada nilai-nilai luhur, perluasan cerita dan berita, pengakuan kinerja dan promosi.
Berbagai praktik di atas dapat memperkuat budaya organisasi dan memastikan karyawan yang bekerja sesuai dengan budaya organisasi, memberi imbalan sesuai dukungan yang diberikan. Sosialisasi yang efektif akan menghasilkan kepuasan kerja, komitmen organisasi, rasa percaya diri pada pekerjaan, mengurangi tekanan serta kemungkinan keluar dari pekerjaan (Peters, 1997, dalam Nurfarhati, 1999). Beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi untuk mempertahankan budaya organisasi adalah menyusun asumsi dasar, menyatakan dan memperkuat nilai yang diinginkan dan menyosialisasikannya melalui contoh (Hellriegel, 1996, dalam Nurfarhati, 1999).
Pada awalnya orang berpendapat bahwa budaya organisasi yang sudah ditanamkan oleh pendiri dan sekaligus pemimpin tidak dapat atau sulit untuk berubah. Namun, perkembangan menunjukkan bahwa perubahan budaya bukanlah suatu hal yang tidak mungkin.
Bahkan apabila terjadi perubahan lingkungan, melakukan perubahan adalah suatu keharusan apabila tidak ingin tertinggal dalam perkembangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kinerja organisasi dapat meningkat karena adanya perubahan budaya organisasi.
Perubahan budaya organisasi di satu sisi dapat meningkatkan kinerja, namun di sisi lain dapat pula mengalami kegagalan apabila tidak dipersiapkan dan dikelola dengan benar. Namun, apabila tidak melakukan perubahan budaya organisasi, sedangkan lingkungan berubah, dapat dipastikan mengalami kegagalan. Paling tidak perubahan harus dilakukan untuk dapat mempertahankan diri dari tekanan persaingan.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah mengetahui kapan waktu yang tepat untuk melakukan perubahan budaya organisasi. Perubahan budaya organisasi diperlukan apabila terjadi perkembangan lingkungan yang tidak dapat dihindari. Di sisi lain perubahan sering menjadi kebutuhan internal organisasi, dirasakan sebagai kebutuhan. Dalam lingkungan yang semakin kompetitif diperlukan peningkatan efisiensi untuk mempertahankan daya saing atau meningkatkan pelayanan kepada pelanggan.
Demikian pula diperlukan pemahaman tentang bagaimana proses yang tepat untuk menjalankan perubahan organisasi dan hambatan apa yang mungkin akan dihadapi. Kesalahan dapat berakibat pada timbulnya resistensi dan kegagalan usaha perubahan budaya organisasi.
Disarikan dari buku: Komunikasi Organisasi Lengkap, Penulis: Prof. Dr Khomsahrial Romli, M. SI, halaman:182-200.