Konflik Internal Organisasi Nirlaba (3/4)
Ilustrasi di bawah, menjelaskan mengenai bagaimana pola eskalasi konflik yang terjadi secara umum dalam organisasi. Pada dasarnya setiap organisasi sosial yang kompleks terkandung didalamnya potensi konflik, dimana potensi tersebut sangat tergantung pada karakteristik organisasi. Model organisasi, sistem manajemeni, moda kepemimpinan dan budaya organisasi merupakan faktor fundamental dalam keberadaan potensi konflik dalam organisasi.
Gambar 1. Pola eskalasi konflik
Konflik dalam artian luas adalah produk dari interaksi sosial yang berakar dari perbedaan persepsi diantara individu dalam organisasi. Perbedaan persepsi adalah mulai dari level individu, kelompok sampai pada sistemik. Perbedaan persepsi sebagai konsekwensi dari latar belakang sosial dan pandangan atas nilai-nilai yang dianut individu terkait. Perbedaan persepsi juga bisa terjadi kerena perbedaan interpretasi atas aturan main dalam manajemen organisasi, sampai pada yang lebih mendalam perbedaan dalam mengartikan makna, nilai dan eksistensi organisasi.
Perbedaan persepsi masih belum disebut konflik dalam pengertian sempit perlawanan antara individu atau kelompok, sebelum mengerucut menjadi perbedaan kepentingan dalam organisasi. Perbedaan kepentingan terjadi karena adanya objek yang diperdebatkan atau diperebutkan dalam organisasi.
Dengan kata lain perbedaan persepsi adalah gejala-gejala untuk menjadi konflik yang lebih nampak. Dalam internal organisasi nirlaba, gejala-gejala tersebut dalam bentuk kasak kusuk, gosip, rumor, prejudice dan sindiran namun belum termanifestasikan dalam kasus tertentu dalam organisasi.
Ketika perbedaan persepsi terwujud dalam perbedaan kepentingan yang nyata dalam organisasi maka terjadi situasi yang lebih nampak seperti persaingan, perdebatan dan aksi dukung mendukung antar kelompok dalam organisasi. Eskalasi berlanjut sampai pada faksionalisasi kepentingan antar kelompok, dalam arti terjadi pergeseran dari individu menuju pengelompokan. Pengelompokan ini dikembangkan berdasarkan afiliasi tertentu, dimana faksionalisasi informal (pertemanan, kesamaan identitas dan kesamaan ideologi) berubah menjadi faksionalisasi lebih formal dalam perjuangan akan kepentingan tertentu dalam organisasi.
Ketika faksionalisasi kepentingan menemukan momentum dalam beradu maka timbullah friksi dalam organisasi. Pada tahap ini konflik mulai berkembang menjadi politisasi dalam organisasi. Friksi bisa terjadi secara akumulatif, namun tidak jarang terjadi secara tajam dan cepat berkembang, tergantung kedalaman masalah yang muncul. Ketika masalah menyangkut hal konkret dan langsung dirasakan, umumnya eskalasi belangsung secara cepat, dibanding masalah yang abstrak. Misalnya isu perampingan organisasi, persoalan gaji atau ketidakadilan manajemen akan lebih cepat berkembang menjadi konflik, dibanding masalah abstrak seperti perbedaan ide dalam perencanaan program organisasi.
Friksi secara akumulatif berkembang menjadi pertentangan dan dominasi antara kelompok dan lapisan dalam organisasi.
Hal ini ditandai dengan penggunaan status dan peran serta kekuasaan dalam manifestasi konflik antara kelompok dalam organisasi. Lapisan atau kelompok kuat cenderung memberikan tekanan dan dominasi kepada pihak yang lemah, sementara lapisan yang lemah cenderung melakukan tindakan boikot, pemogokan dan ketidakpatuhan atas perintah atasan dalam organisasi.
Dalam fase ini politik adu kuat sering terjadi, lobby dan strategi politik pengaruh mempengaruhi bahkan jegal menjegal pun tak jarang terjadi.
Akhirnya konflik menuju pada titik kulminasinya, yakni konflik terbuka dengan ketegangan. Dalam konteks ini terjadi penggunaan kekerasan untuk pertentangan namun dalam organisasi nirlaba sangat jarang terjadi kekerasan fisik, walaupun ada kasus minor yang pernah terjadi.
Umumnya adalah kekerasan verbal dalam bentuk ancaman, teror kata-kata dan saling menjelekkan satu sama lain. Konflik pada level tertinggi ini bukan hal yang lumrah dalam organisasi sosial, dan ketika terjadi, respon organisasi akan sangat cepat. Ini adalah masalah besar dan aib ketika diketahui pihak dari luar, karena bisa menurunkan kredibilitas lembaga.
Pada fase tertinggi dalam konflik internal organisasi, mulai dilakukan pendekatan yang lebih bersifat penyelesaian institusional dibanding penyelesaian individu. Banyak organisasi yang segera merespon konflik sebelum pada tingkat tertingi dengan penyelesaian individu.
Ukuran yang disebut tertinggi bisa bervariasi tergantung budaya organisasi, kadang friksi sudah bisa dikategorikan sebagai titik konflik tertinggi ketika organisasi memiliki sensitivitas konflik yang tinggi. Pada fase eskalasi konflik mulai dari friksi berkembang ke pertentangan dan ketegangan, bisa dipastikan situasi organisasi tidak kondusif dalam menjalankan kerjanya. Organisasi sibuk mengurusi dirinya, dibanding mengurusi substansi kerja untuk mencapai tujuan.
Pada gambar 1. Juga dijelaskan bagaimana situasi pasca konflik terbuka, di mana baik direspon maupun tidak direspon, akan terjadi peredaan konflik. Mengapa demikian, karena energi masing-masing kelompok dalam mengelola kepentingannya tidak bisa terus menerus, sehingga pasti ada fase cooling down. Dalam suatu kasus konflik yang memuncak, organisasi nirlaba bisa mengalami peredaan konflik karena adanya tanggung jawab kegiatan bersama yang urgent. Misalnya, ada organisasi yang sesungguhnya memendam konflik terbuka, namun mereka mengalami peredaan karena adanya audit lembaga oleh pihak eksternal. Hal ini semacam gencatan senjata dalam perang fisik.
Dalam konteks tersebut momentum peredaan menjadi kondisi pemungkin bagi upaya penyelesaian konflik dalam tingkat kelembagaan. Penyelesaian konflik seperti diilustrasikan pada gambar 1. terdiri dari pementahan konflik, resolusi konflik dan transformasi konflik.
Pementahan konflik biasanya dilakukan dengan sebuah keputusan organisasi secara sepihak dari manajemen puncak berupa keputusan yang bersifat memaksa. Hal ini bisa meredakan ketegangan dan friksi, namun dengan membawa korban kekalahan dari salah satu pihak yang berkonflik. Pemecatan dan permintaan pengunduran diri adalah bentuk khas dari pementahan konflik, namun tetap tidak bisa menghilangkan perbedaan persepsi, kepentingan dan faksionalisasi. Suatu saat konflik bisa terbuka kembali, namun untuk sementara dipatahkan dengan tindakan paksaan atas nama aturan organisasi.
Resolusi adalah proses negosiasi kepentingan, sehingga masing-masing pihak melakukan bargaining atas kepentingan mereka. Resolusi konflik kadang dilakukan tidak secara langsung namun dengan menggunakan mediator, jika tidak, akan dijembatani unsur dalam organisasi yang dianggap netral. Tawar menawar kepentingan akan menghasilkan konsensus yang bisa happy ending namun tak jarang juga akan mengecewakan. Namun demikian resolusi bisa mengatasi perbedaan dan faksionalisasi kepentingan walaupun tidak bisa mengatasi perbedaan persepsi. Dalam penyelesaian ala resolusi ini tetap saja memungkinkan adanya korban, misalnya pihak yang tidak sepakat mengundurkan diri dari organisasi.
Model penyelesaian yang lebih mengedepankan pendekatan akar masalah adalah transformasi konflik, namun hal ini jarang terjadi di organisasi nirlaba atau organisasi manapun. Diperlukan kematangan dalam berorganisasi untuk menjalankan transformasi konflik. Penyelesaian transformatif adalah upaya untuk mendeteksi akar masalah, dan mendesain keseluruhan fundamental organisasi untuk sensitif konflik serta mengembangkan langkah terencana dan sistematis dalam jangka panjang agar kasus serupa tidak terulang kembali.
Jika pada pementahan konflik ujung penyelesaiannya adalah pergantian personil, resolusi konflik adalah negosiasi kepentingan untuk transformasi konflik ujungnya adalah perubahan sistem.
Hal ini sangat sulit terjadi ketika konflik melibatkan pimpinan puncak, karena transformasi konflik membutuhkan kepemimpinan yang transformatif, yang rela dan mau untuk melakukan pendekatan akar masalah dan desain penyelesaian jangka panjang.
Tulisan utuh, berjudul Konflik Internal Organisasi Nirlaba, dalam format PDF, dapat diunduh pada halaman Unduh kategori Literasi.