Konflik dalam Organisasi
Konflik adalah bagian dari kehidupan berorganisasi yang tidak dapat dihindari. Konflik berakar dari karakteristik struktural maupun kepribadian yang tidak cocok. Sumber daya organisasi tidak melimpah, pegawai mempunyai kepentingan serta pandangan yang beraneka ragam, serta ciri lain yang membuat konflik merupakan realitas yang tidak pernah berhenti.
Mendefinisikan Konflik
Istilah konflik tidak akan pernah kekurangan definisi. Sebuah buku menggambarkannya sebagai “perilaku anggota organisasi yang dicurahkan untuk beroposisi terhadap anggota yang lain”; “prosesnya dimulai jika satu pihak merasa bahwa pihak lain telah menghalangi atau akan menghalangi sesuatu yang ada kaitannya dengan dirinya”; atau hanya “jika ada kegiatan yang tidak cocok”.
Konflik harus dirasakan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengannya. Apakah konflik tersebut memang ada, itu adalah masalah persepsi. Jika tidak ada yang merasakan adanya konflik, pada umumnya konflik dianggap tidak ada. Tentu saja, konflik yang dirasakan sebetulnya bisa tidak ada, sedangkan banyak situasi yang digambarkan mengundang konflik sebenarnya tidak demikian, karena para anggota organisasi tidak merasakan adanya konflik tersebut. Kesamaan lain pada kebanyakan definisi tentang konflik adalah konsep mengenai oposisi, kelangkaan, dan halangan (blokage) dan asumsi bahwa terdapat dua pihak atau lebih yang kepentingannya atau tujuannya kelihatannya tidak cocok. Sumber daya-apakah itu uang, promosi, prestise, kekuasaan, atau apa saja-tidak terbatas, dan kelangkaannya mendukung bagi perilaku yang menghalangi. Oleh karena itu pihak-pihak tersebut saling bertentangan. Jika satu pihak menghalangi pencapaian tujuan pihak yang lain, maka konflik pun terjadi.
Konflik dan Keefektifan Organisasi
Bagi kebanyakan orang istilah konflik organisasi mempunyai konotasi negatif. Organisasi yang efektif biasanya dianggap sebagai sekelompok individu terkoordinasi yang bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pandangan ini, konflik hanya merintangi koordinasi dan kerja sama tim dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
Namun ada pandangan yang lain tentang konflik. Pandangan yang satu ini berargumentasi bahwa konflik meningkatkan keefektifan organisasi dengan merangsang perubahan dan memperbaiki proses pengambilan keputusan.
Pandangan tradisional mengenai konflik mengasumsikan bahwa semua konflik adalah jelek. Setiap konflik, oleh karenanya, mempunyai dampak yang negatif pada keefektifan organisasi. Pendekatan tradisional menyamakan konflik dengan istilah seperti kekerasan, kehancuran, dan irasionalitas. Konsisten dengan perspektif tersebut, salah satu tanggung jawab manajemen adalah mencoba memastikan bahwa konflik tidak timbul dan, jika hal itu terjadi, agar bertindak dengan cepat untuk memecahkannya.
Pandangan Interactionist suatu organisasi yang bebas sama sekali dari konflik mungkin juga merupakan organisasi yang statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan. Konflik adalah fungsional jika dapat memprakarsai pencarian cara-cara baru dan lebih baik dalam melakukan sesuatu dan mengurangi rasa puas diri dalam organisasi.
Sumber Konflik Organisasi
Sejumlah faktor berbeda dapat menimbulkan konflik organisasi. Beberapa faktor – seperti kepribadian yang tidak cocok – bersifat psikologis. Artinya, konflik tersebut berkaitan dengan karakteristik perseorangan para karyawan. Hal inilah yang menjelaskan bahwa ada orang yang mempunyai kesulitan untuk bekerja sama dengan orang lain dan kesulitan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemampuan kerja atau interaksinya yang formal. Namun yang menjadi perhatian kita adalah konfik yang disebabkan oleh masalah struktural.
Kesalingtergantungan pekerjaan merujuk kepada sejauh mana dua unit dalam sebuah organisasi saling tergantung satu sama lain pada bantuan, informasi, kerelaan, atau aktivitas koordinasi lain untuk menyelesaikan tugas masing-masing secara efektif. Hubungan antara kesalingtergantungan pekerjaan dan konflik adalah tidak langsung. Yang kita ketahui adalah bahwa yang pertama menimbulkan intensitas hubungan inter-unit. Jika dipaksakan untuk berinteraksi, potensi untuk konflik pun pasti meningkat.
Ketergantungan Pekerjaan Satu Arah dimana Prospek bagi terjadinya konflik akan lebih besar jika sebuah unit secara unilateral bergantung pada yang lain. Berlawanan dengan kesalingtergantungan, ketergantungan pekerjaan satu arah berarti bahwa keseimbangan kekuasaan telah bergeser. Prospek dari konflik pasti lebih tinggi karena unit yang dominan mempunyai dorongan yang sedikit saja untuk bekerja sama dengan unit yang berada di bawahnya. Potensi konflik pada ketergantungan pekerjaan satu arah mempunyai arti yang lebih penting jika kita mengetahui bahwa ia jauh lebih sering terdapat pada organisasi daripada kesalingtergantungan.
Diferensiasi Horisontal yang Tinggi, makin besar perbedaan yang terdapat di antara unit, makin besar pula kemungkinan timbulnya konflik. Jika unit-unit dalam organisasi amat didiferensiasi, maka tugas yang dilakukan masing-masing unit dan sub lingkungannya yang ditangani oleh masing-masing sub unit cenderung tidak sama. Hal ini, pada gilirannya, akan mengakibatkan terjadinya perbedaan internal yang cukup besar di antara unit-unit.
Ketergantungan Pada Sumber Bersama yang Langka dimana Potensi konflik dipertinggi jika dua unit lebih bergantung pada pool sumber yang langka seperti ruang gerak fisik, peralatan, dana operasi, alokasi anggaran modal atau jasa-jasa staf yang disentralisasi seperti pool untuk mengetik. Potensi tersebut meningkat lebih lanjut jika anggota-anggota unit merasakan bahwa kebutuhan individualnya tidak dapat diperolehnya dari pool sumber daya yang tersedia ketika kebutuhan unit lain dipenuhi.
Perbedaan dalam Kriteria Evaluasi dan Sistem Imbalan, makin banyak evaluasi dan imbalan manajemen yang menekankan prestasi setiap departemen secara terpisah-pisah ketimbang secara gabungan, maka besar pula konfliknya. Kita melihat bukti ini pada organisasi sepanjang waktu.
Pengambilan Keputusan Partisipatif. Bukti menunjukkan bahwa pengambilan keputusan secara bersama, di mana mereka yang akan terkena oleh suatu keputusan diikutsertakan dalam badan yang mengambil keputusan, akan mendorong terjadinya konflik.
Keanekaragaman Anggota, makin heterogen anggota, makin kecil kemungkinan mereka bekerja dengan tenang dan bersama-sama. Telah ditemukan bahwa ketaksamaan para individu, seperti latar belakang, nilai-nilai, pendidikan, umur, dan pola-pola sosial akan lebih mengurangi kemungkinan hubungan antar pribadi antara wakil-wakil unit dan pada gilirannya akan mengurangi jumlah kerja sama antara masing-masing unit.
Ketaksesuaian Status membuat konflik terstimulasi jika terjadi ketaksesuaian dalam penilaian status atau karena adanya perubahan dalam hierarki status. Misalnya, peningkatan konflik ditemukan jika tingkat di mana status pribadi, atau bagaimana orang melihat pribadinya sendiri, dan tingkat dari perwakilan dari departemen berbeda dalam urutan tingkatan dimensi status.
Ketakpuasan Peran. Yang dekat dengan ketaksesuaian status adalah ketakpuasan peran. Ketakpuasan peran dapat berasal dari sejumlah sumber, salah satu di antaranya adalah ketakpuasan status. Jika seseorang merasa bahwa ia berhak mendapatkan promosi untuk mencerminkan rekor keberhasilannya, maka ia menderita ketakpuasan peran maupun ketaksesuaian status yang dipersepsikan.
Distorsi Komunikasi, salah satu sumber konflik yang sering dikemukakan adalah kesukaran dalam komunikasi. Kasus yang lebih jelas adalah komunikasi vertikal. Jika diteruskan di atas dan ke bawah di dalam hierarki itu, komunikasi itu peka terhadap kedwiartian dan distorsi. Tetapi distorsi juga terjadi pada tingkat horisontal.
Pandangan interactionist mengakui bahwa konflik setiap saat dapat terlalu rendah maupun terlalu tinggi. Jika konflik terlalu rendah, manajer harus menstimulasi oposisi – untuk menciptakan konflik yang fungsional. Jika kekuatan konflik terlalu besar, kita katakan bahwa itu merupakan penyelewengan dari fungsi (dysfunctional). Kekuatan itu jadi mempunyai dampak negatif terhadap keefektifan organisasi. Sesuatu harus dilakukan oleh karenanya untuk menurunkan tingkat konflik tersebut sampai pada tingkat yang dapat diterima.
Sayangnya, dilihat dari sudut teoritis, kita lebih banyak mengetahui tentang cara memecahkan konflik secara efektif daripada cara menstimulasi konflik. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hal ini adalah hasil dari fakta bahwa gagasan untuk mendorong terjadinya konflik merupakan sebuah ide yang relatif baru dan baru saja mulai mendapat perhatian dari para peneliti organisasi.
Disarikan dari buku: Teori Organisasi Struktur, Desain & Aplikasi, penulis: Stephen P. Robbins, halaman: 449-465.