Kolaborasi Inovasi
Krisis energi dunia ibarat bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak ketika pasokan energi tak lagi mampu memenuhi permintaan energi yang terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk. Tanpa kerja sama dalam inovasi dan teknologi, ancaman krisis energi ada di depan mata.
Data PBB menyebutkan, penghuni bumi terus bertambah 200.000 penduduk per hari. Pada 2050, jumlahnya diprediksi mencapai 9 miliar jiwa atau bertambah 2 miliar jiwa dari kondisi saat ini, terutama pada populasi urban, khususnya Asia, dengan pertambahan jumlah penduduk 1,4 miliar orang.
Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk dunia mendorong peningkatan kebutuhan energi. Pertumbuhan konsumsi energi yang pesat terjadi di kawasan perkotaan dengan tingkat konsumsi sekitar 75 persen dari total energi dunia dan akan meningkat menjadi hampir 80 persen pada 2040. Secara global konsumsi energi diperkirakan tumbuh dua kali dalam kurun waktu 2000-2050.
Persoalannya adalah bagaimana kita dapat memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat itu, sementara cadangan dan produksi minyak yang selama ini diandalkan untuk memenuhi kebutuhan energi makin turun. Tanpa ada terobosan dalam kebijakan dan teknologi dalam mengembangkan sumber energi nonminyak, kondisi itu bakal melahirkan krisis energi dunia.
Wakil Presiden Eksekutif Pengembangan Gas Terintegrasi Royal Dutch Shell plc Maarten Wetselaar dan Ketua Dewan Petronas Tan Sri Sidek Hassan, dalam Shell Innovation Summit 2013, baru-baru ini, di Malaysia, menegaskan, inovasi berperan penting dalam pemerintahan dan industri menghadapi tantangan pertumbuhan ekonomi, ketahanan energi, dan lingkungan.
Menurut skenario energi Shell, sumber energi baru terbarukan dapat memasok lebih dari 30 persen kebutuhan energi dunia pada 2050 yang saat ini kontribusinya baru sekitar 13 persen. Adapun sumber energi fosil masih akan mendominasi pemenuhan kebutuhan energi, tetapi akan terjadi pergeseran dominasi pemakaian minyak ke gas.
Untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus meningkat, perlu tiga sasaran kebijakan, yaitu jaminan ketersediaan suplai energi, memastikan sumber energi itu kompetitif dan mudah diakses serta dapat memperbaiki kualitas lingkungan, dan hal itu bisa dicapai dengan memakai gas. Karena itu, permintaan gas dunia diprediksi tumbuh 60 persen pada 2010-2030.
Bagi negara-negara dengan cadangan gas domestik cukup besar, dampak pengembangan dan penambahan volume gas amat signifikan.
Di Indonesia terdapat cadangan gas dalam jumlah cukup besar di sejumlah wilayah kerja, termasuk Lapangan Abadi Blok Masela di lepas pantai Maluku dengan cadangan gas diperkirakan 9 triliun kaki kubik (TCF) dan Blok East Natuna yang berlokasi di laut dalam Kepulauan Natuna dengan cadangan gas diperkirakan 46 TCF.
Namun, lapangan gas dengan cadangan cukup besar itu kebanyakan berlokasi di laut dalam sehingga membutuhkan biaya investasi dan teknologi tinggi sehingga kontraktor umumnya membentuk konsorsium untuk berbagi risiko kegagalan eksplorasi, memperkuat pendanaan dan kemampuan teknologi. Karena itu, pada 2011, Inpex, selaku operator Blok Masela, menggandeng Shell Indonesia (30 persen) dan Energi Mega Persada (10 persen).
Dalam proyek gas Masela, konsorsium akan membangun kilang terapung gas alam cair (LNG) terintegrasi. Jadi, gas alam yang dihasilkan diproses menjadi LNG, disimpan, dan langsung dikapalkan dari fasilitas kapal terapung. Dengan konsep ini, tidak perlu lagi jaringan pipa sehingga bisa menekan biaya dan potensi pencemaran lingkungan. Ini merupakan contoh betapa kolaborasi dalam inovasi dan teknologi menjadi hal kunci untuk menjamin ketersediaan energi. (Evy Rachmawati)
Sumber: KOMPAS, Rabu, 9 Oktober 2013.