Kesalahan Umum Soal CSR #8: CSR untuk Diri Sendiri, Bukan Sepanjang Supply Chain
Artikel ini merupakan penggalan dari artikel yang berjudul: Dari “CSR” Menuju CSR, Berbagai Kesalahan Umum tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran untuk Meluruskannya, Penulis: Jalal (A+ CSR Indonesia), Tom Malik (Indonesia Business Link).
Kalau sebuah perusahaan beroperasi dalam sebuah rantai produksi yang sangat panjang, apakah layak ia membatasi diri untuk melakukan CSR dalam lingkup perusahaannya saja? Pembatasan ini banyak sekali dilakukan oleh perusahaan. Kilahnya adalah bahwa mereka tidak berhak untuk mencampuri kinerja CSR perusahaan lain. Logika ini jelas tak dapat diterima, karena itu berarti bahwa produknya tidaklah bisa dibuktikan berasal dari seluruh operasi yang berkinerja CSR baik.
Mungkin contoh termudah dapat dilihat dalam industri furnitur. Seandainya sebuah perusahaan yang membuat furnitur telah melakukan minimisasi seluruh dampak negatifnya dan juga telah berbuat banyak hal lain untuk mengoptimumkan dampak positifnya operasinya saja, apakah produknya itu sudah bisa dianggap produk dengan kinerja sosial dan lingkungan yang tinggi? Belum tentu. Karena bagaimana kayu yang dipergunakannya itu diperoleh juga sangat menentukan apakah kinerja itu adalah kinerja yang solid atau hanya semu. Bayangkan apabila ternyata kayu yang dipergunakannya ternyata dipasok oleh perusahaan kehutanan yang melakukan pembalakan haram. Tentu kita tidak bisa bilang bahwa kinerja CSRnya memadai. Seandainya kayu itu diperoleh dari sumber yang legal sekalipun, apabila belum dapat membuktikan keberlanjutan hutan dari mana kayu berasal, kinerja CSRnya pun harus diragukan.
Banyak literatur yang menyatakan bahwa CSR yang solid memang berlaku sepanjang rantai pasokan. Ini bukan berarti kalau sebuah perusahaan saja yang mengerjakan “PR” CSRnya kemudian menjadi tidak berarti. Perusahaan yang telah sadar CSR itu harus dengan sungguhsungguh membujuk dan mendampingi perusahaan lain dalam rantai produksinya untuk menegakkan standar yang sama. Banyak audit CSR yang mengikuti logika chain of custody—dalam industri hasil kehutanan dikenal sebagai lacak balak—untuk memastikan bahwa standar CSR sepanjang rantai pasokan memang konsisten. Karenanya, perusahaanperusahaan yang sadar CSR harus mempersiapkan diri dan mitra bisnisnya.
Artikel selengkapnya dapat didownload pada halaman Unduh kategori Literasi.