Kesalahan Umum Soal CSR #12: Menganggap Bahwa CSR Sepenuhnya Voluntari atau Sukarela
Artikel ini merupakan penggalan dari artikel yang berjudul: Dari “CSR” Menuju CSR, Berbagai Kesalahan Umum tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran untuk Meluruskannya, Penulis: Jalal (A+ CSR Indonesia), Tom Malik (Indonesia Business Link).
Apakah konsep tanggung jawab itu adalah sebuah konsep yang benar-benar bisa dilaksanakan dengan sukarela? Tampaknya menyatakan bahwa tanggung jawab itu sukarela adalah contradictio in terminis atau keduanya merupakan istilah yang bertentangan. Yang “benar”, tanggung jawab itu wajib dilaksanakan. Namun demikian, harus diakui bahwa di antara kubu pendirian bahwa CSR itu mandatori atau voluntari, kini lebih cenderung pada kemenangan kubu voluntari. Salah satu alasannya adalah bahwa perusahaan-perusahaan memang menginginkan kondisi yang demikian.
Tapi voluntari dalam pemahaman yang dipromosikan oleh perusahaan-perusahaan yang berkomitmen CSR tinggi—dan para pakar yang sependapat—bukanlah berarti perusahaan bisa semaunya saja memilih untuk menjalankan atau tidak menjalankan tanggung jawabnya atau selektif terhadap tanggung jawab itu. Yang dimaksud dengan voluntari adalah perusahaan menjalankan tanggung jawab yang tidak diatur oleh regulasi atau beyond regulation.
Jadi, jelas pula bahwa apa yang sudah diatur oleh pemerintah haruslah dipatuhi dahulu sepenuhnya, kemudian perusahaan menambahkan lagi hal-hal positif yang belum diatur. Semakin banyak hal positif yang dilakukan perusahaan, padahal hal itu tidak diharuskan oleh pemerintah, maka kinerja CSR perusahaan itu dianggap semakin tinggi.
Pengertian voluntari yang demikian ditentang oleh mereka yang tidak percaya bahwa perusahaan memang akan melakukan hal-hal positif apabila tidak diregulasi. Sebetulnya pendirian ini dapat dengan mudah disangkal: ada banyak hal positif yang dilakukan perusahaan walau tidak diatur oleh pemerintah. Tapi, memang sebagian besar perusahaan—apalagi yang beroperasi di Indonesia—memang tidaklah pernah mau melakukan hal positif di luar apa yang sudah diatur regulasi. Bahkan, banyak penelitian yang membuktikan bahwa perusahaan memang punya kecenderungan untuk melanggar regulasi apabila konsekuensinya lebih ringan daripada keuntungan yang diperoleh bila peraturan tertentu dilanggar. Joel
Bakan menjadi terkenal karena bisa membuktikan hal tersebut pada banyak perusahaan raksasa di Amerika Serikat lewat bukunya The Corporation. Dengan pemahaman yang demikian, maka banyak pihak yang mendesak agar seluruh tanggung jawab perusahaan diatur dengan ketat—bahkan keras—dalam regulasi pemerintah. Pihak-pihak ini juga mengusulkan penggantian istilah tanggung jawab (responsibility) menjadi tanggung gugat (accountability).
Di luar dua pendirian itu—yang pertama dikenal dengan self regulation dan yang kedua disebut government regulation—sebetulnya ada pendirian yang kurang popular, yaitu apa yang disebut Jem Bendell sebagai civic regulation. Kalau kedua pendekatan menyerahkan pengaturan CSR pada perusahaan sendiri dan pemerintah, pendekatan ketiga ini mendukung pembuatan standar-standar CSR oleh organisasi masyarakat sipil. Untuk bisa melakukannya, diandaikan organisasi masyarakat sipil cukup memiliki kapasitas untuk mengawal perusahaan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Namun, kualitas terpenting yang ada di mereka adalah tidak adanya konflik kepentingan dengan perusahaan (yang hendak diatur) maupun pemerintah (yang akan mengawasi jalannya aturan).
Pada kenyataannya, berbagai regulasi yang mengatur kinerja sosial dan lingkungan perusahaan adalah berasal dari perusahaan (atau kumpulan perusahaan) sendiri, pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan juga organisasi multilateral. Jadi, memisahkan ketiga pendekatan sebetulnya juga tidak berbasis realitas. Mendebatkan CSR itu wajib atau sukarela juga perlu penjelasan yang lebih detail tentang apa yang dimaksud dengan CSR, dan dari sudut pandang mana.
Artikel selengkapnya dapat didownload pada halaman Unduh kategori Literasi.