Kesalahan Umum Soal CSR #11: CSR adalah Pemolesan Citra Perusahaan
Artikel ini merupakan penggalan dari artikel yang berjudul: Dari “CSR” Menuju CSR, Berbagai Kesalahan Umum tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran untuk Meluruskannya, Penulis: Jalal (A+ CSR Indonesia), Tom Malik (Indonesia Business Link).
Ketika inisiatif CSR digulirkan, banyak organisasi gerakan sosial yang langsung skeptis dengannya. Menurut mereka, CSR hanya akan menjadi cara baru untuk memoles citra perusahaan. Kalau citra ramah lingkungan yang diinginkan perusahaan—padahal kinerja lingkungannya tidak setinggi pencitraan yang dilakukan—hal itu disebuat sebagai greenwash. Belakangan juga muncul istilah bluewash untuk pemolesan citra sosial. Secara retoris, Craig Bennett dari Friends of The Earth International pernah menyatakan “For every company that sincerely implements its CSR policies, there are hundreds who greenwash, and for each of these there are hundreds more who don’t even bother with that.”
Apakah hal tersebut benar-benar terjadi? Sayangnya, jawaban “YA!” harus diberikan. Banyak sekali perusahaan yang melakukan “CSR” hanya untuk memoles citra dirinya. CSR Asia dalam pelatihan yang mereka berikan pernah mengingatkan “Don’t give $10m to charity and then spend $20m advertising that fact” karena memang ada kecenderungan perusahaan untuk melakukan hal itu. Kecenderungan di Indonesia pascabanjir besar Jakarta 2007 adalah banjir iklan “CSR” di televisi dan koran. Perusahaan beramai-ramai mencitrakan dirinya sebagai perusahaan yang peduli. Padahal, bantuan kepada para korban banjir itu—walaupun merupakan perbuatan yang mulia—belumlah tentu merupakan bagian dari CSR yang substansial (yaitu: apakah dalam praktik bisnis sehari-harinya mereka benar-benar telah mengelola dampak sosial dan lingkungannya secara optimum). Perusahaan-perusahaan yang mengiklankan kepeduliannya itu juga bisa dicurigai menghabiskan sumberdaya yang lebih besar untuk pemolesan citra dibandingkan dengan sumberdaya yang mereka gunakan untuk membantu korban, karena siapapun tahu membeli slot waktu televisi dan ruang di koran bukanlah hal yang murah.
Lalu, apakah CSR memang tidak boleh disebarluaskan? Apakah salah perusahaan berkehendak untuk menunjukkan citra dirinya? Sama sekali tidak. Hanya saja, citra yang ditampilkan haruslah didasarkan pada kinerja yang sesungguhnya. Menggunakan personifikasi, perusahaan boleh memasang foto dirinya yang setampan Tom Cruise atau secantik Monica Bellucci kalau memang benar-benar demikian, bukan hasil dari penggunaan topeng atau polesan program photoshop. Ini berarti dalam CSR perusahaan terutama harus benar-benar menata dirinya, meningkatkan kinerja sosial dan lingkungannya secara substansial, baru kemudian mengiklankan dirinya sebatas yang mereka telah capai. Kalau mau mengiklankan komitmen dan target, boleh juga, dengan keterangan yang sangat jelas bahwa hal tersebut barulah rencana ke depan. Yang harus diingat perusahaan adalah bahwa komitmen yang tidak ditepati akan dapat memukul balik. Semakin besar pemangku kepentingan yang mengetahui komitmen tersebut, semakin besar risiko yang harus ditanggung perusahaan bila kelak terbukti gagal dicapai.
Artikel selengkapnya dapat didownload pada halaman Unduh kategori Literasi.