Kepentingan Stakeholders dalam Pelaksanaan CSR
Mulyadi dalam tulisan yang berjudul Pengelolaan Program Corporate Social Responbility: Pendekatan, Keberpihakan dan keberlanjutannya (2003:5) membagi stakeholders berdasarkan kepentingannya.
Perusahaan | Pemerintah Daerah | LSM | Masyarakat |
Keamanan Fasilitas Produksi | Mendukung pembangunan daerah | Mengontrol | Penerima program yang diberdayakan |
Kewajiban kontrak | Menjadi mitra kerja perusahaan |
Sumber: Mulyadi (2003:5)
Dalam konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dan perusahaan, pemerintah daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu menyelesaikan permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, masalah pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah lingkungan yang dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukan bahwa perusahaan dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan regional yang diimplementasikannya. Pemerintah yang menjadi penanggungjawab utama dalam mensejahterakan masyarakat dan melestarikan lingkungan tidak akan menanggung bebean tersebut jika dilakukan sendiri, melainkan membutuhkan partisipasi, salah satunya yang paling potensial adalah dari perusahaan, agar akselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
Setiap perusahaan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap CSR, dan cara pandang inilah yang bisa dijadikan indikator kesungguhan perusahaan tersebut dalam melaksanakan CSR atau hanya sekedar membuat pencitraan di masyarakat. Setidaknya terdapat tiga kategori paradigma perusahaan dalam menerapkan program CSR menurut Wibisono (2007;73), diantaranya:
Pertama, Sekedar basa basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih karena faktor eksternal, baik karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya pemenuhan tanggungjawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada kesukarelaan. Berikutnya adalah mengendalikan reputasi (reputation driven), yaitu motivasi pelaksanaan CSR untuk mendongkrak citra perusahaan. Banyak korporasi yang sengaja berupaya mendongkrak citra dengan memanfaatkan peristiwa bencana alam seperti memberi bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya, yang kemudian perusahaan berlomba menginformasikan kontribusinya melalui media massa. Tujuannya adalah untuk mengangkat reputasi.
Kedua, Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya. Misalnya karena ada kendali dalam aspek pasar (market driven). Kesadaran tentang pentingnya mengimpelementasikan CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial. Selain market driven, driven yang sanggup memaksa perusahaan untuk mempraktekkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional maupun global, Padma (Pandu Daya masyarakat) yang digelar oleh Depsos, dan Proper (Program Perangkat Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian Lingkungan Hidup.
Ketiga, Bukan sekedar kewajiban (compliance), tapi lebih dari sekedar kewajiban (beyond compliance) atau (compliance plus). Diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan telah menyadari bahwa tanggungjawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggungjawab sosial dan lingkungan. Dasar pemikirannya menggantungkan semata-mata pada kesehatan finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Hal terpenting dari cara pandang perusahaan sehingga melaksanakan CSR adalah upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). Kewajiban bisa bersumber dari aturan pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan, baik yang ditetapkan melalui Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan mentri, hingga peraturan daerah, ataupun peraturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan antar perusahaan maupun lembaga yang melakukan standarisasi produk. Kepatuhan terhadap hukum menjadi penting karena dimensi dibuatnya aturan bertujuan agar perusahaan tidak memberikan kontribusi positif bagi pembangunan. Implementasi CSR pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor (Wibisono, 2007). Pertama, terkait dengan komitmen pemimpinnya. Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah sosial, jangan harap mempedulikan masalah sosial. Kedua, menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Ketiga, regulasi dan sistem perpajalan yang diatur pemerintah. Semakin kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Sumber: Best Practice Kemitraan CSR Antara Pemerintah, Perusahaan dan LSM, Pengarang: Rahmatullah & Syukur S. Apriwiyanto, Hal: 8-10.