Kemenangan Gerakan Lingkungan
Ini adalah kemenangan gerakan lingkungan, untuk teman-teman gerakan lingkungan. Malu saya sebenarnya, karena banyak orang lain yang bekerja lebih keras dari saya.”
Itulah reaksi Emmy Hafild (40), ketika ditanya tentang pilihan majalah Time terhadap dirinya sebagai pahlawan Bumi. Pada edisi 11 Januari 1999, Time menobatkan Emmy bersama empat pejuang lingkungan sebagai Heroes for The Planet. Empat yang lain, Russel Mittermeier dari Amerika Serikat, Dune Lankard dari Suku Indian Eyak di Alaska, Mark Plotkin dari AS, dan Wangari Mathaai dari Kenya.
Reaksi Emmy memang merupakan refleksi perjalanan panjangnya dalam gerakan lingkungan. Menyelesaikan pendidikan agrononimnya dari Institut Pertanian Bogor tahun 1982, Emmy lalu bergabung dengan Yayasan Indonesia Hijau, Sekretariat Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia (Skephi), dan kemudian Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 1985. Di sinilah ia memasuki gerakan advokasi lingkungan yang memang merupakan garis perjuangan Walhi.
Advokasi yang dilakukan Walhi pimpinan Emmy saat ini memang tidak main-main. Tahun 1994 Walhi mengajukan gugatan kepada Presiden Soeharto menyangkut penyaluran dana reboisasi sebesar 183 juta dollar AS untuk proyek pesawat terbang IPTN yang diketuai Menristek (ketika itu) BJ Habibie. Dua tahun kemudian, saat dana reboisasi sebesar 102 juta dollar AS dialihkan untuk pembangunan pabrik pulp dan kertas, Walhi kembali menggugat ke pengadilan.
Bukan cuma itu, Walhi juga menggugat praktik pertambangan Freeport-McMoRan Copper & Gold di Timika, Irian Jaya, yang dianggap merusak lingkungan dan mengabaikan hak adat orang-orang asli setempat. Begitu sengitnya perjuangan tersebut, sampai-sampai akhirnya Overseas Private Investment Corp, BUMN Amerika Serikat yang memberi asuransi politik untuk perusahaan AS yang beroperasi diluar AS, membatalkan asuransinya untuk Freeport.
“Saya sempat digambarkan sebagai radikal banget oleh majalah Forbes; disebut left wing,” tutur ibu dua anak ini.
Gara-gara pembatalan itu pula, Freeport menuntut kepada USAID untuk menghentikan bantuannya kepada Walhi. Alasannya, tidak sepatutnya Pemerintah AS membantu organisasi yang menyerang kepentingan perusahaan AS. Namun, Emmy berhasil menjelaskan semuanya, dan akhirnya bantuan tetap mengalir.
DIBESARKAN di Sungai Karang, sekitar 40 km dari Medan, halaman tempat bermain Emmy adalah kebun karet tua dibelakang rumahnya. Di sana ia biasa mengumpulkan biji dan getah karet, membuat bola dari getah karet yang dialirkannya di jalan kereta api perkebunan, bermain mencari ikan di sungai kecil di dekat kebun karet itu, atau bersepeda di perkebunan bersama ayahnya. Kebahagiaan itu musnah ketika pada tahun 1968 kebun karet tersebut ditebang dan diubah menjadi lapangan golf.
“Itu kemarahan pertama saya, tetapi namanya kemarahan anak kecil, saya tidak bisa apa-apa,” tutur Emmy, bungsu dari empat bersaudara putri pegawai BUMN perkebunan di Sumatera Utara ini, yang mengaku jiwa pemberontaknya tumbuh justru karena merasa terlalu dilindungi sebagai si bungsu.
Ketika masuk ke Institut Pertanian Bogor, ia masih sempat mengalami masa Dewan Mahasiswa sebelum akhirnya pemerintah memperkenalkan sistem Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Ketika beralih ke sistem NKK/BKK dan mahasiswa tidak lagi berpolitik, banyak mahasiswa termasuk Emmy memilih kegiatan sebagai pecinta alam. Di situ ia bebas, tidak dicurigai.
Lulus dari IPB, Emmy sempat bimbang harus memilih bekerja di mana. Sebagai anak eksekutif BUMN, Emmy merasa tidak punya pikiran berbisnis yang berorientasi keuntungan. Pegawai negeri juga dirasa tidak cocok dengan jiwanya yang pemberontak. Akhirnya, ia memilih masuk ke Yayasan Indonesia Hijau.
Perkenalannya dengan dunia advokasi lingkungan dimulai ketika ia memprotes Bank Dunia, yang memberikan dana besar-besaran untuk program transmigrasi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat lokal. Protesnya mendapat perhatian dan Emmy diminta bersaksi di depan Senat AS. Ia termasuk orang asing pertama yang bersaksi di Senat untuk urusan dana bantuan luar negeri dan lingkungan. Bank Dunia menghentikan bantuan besar-besaran itu tahun 1987. Buat Emmy pribadi, kejadian itu membawa dampak tak enak sebab dihubung-hubungkan dengan mertuanya, almarhum Letjen TNI (Purn) HR. Dharsono yang ketika itu baru masuk penjara.
Advokasi lingkungan yang kemudian membuahkan penghargaan dari majalah Time adalah ketika ia melawan raksasa Freeport MacMoRan yang melakukan penambangan di Timika, Irian Jaya. Perjuangan itu diakui Emmy memang berat. Walhi yang bukan apa-apa dalam skala internasional melawan perusahaan multinasional yang bisnisnya mendunia. Begitu sengitnya pihak lawan, sampai mereka membaurkan antara Walhi dan Emmy sebagai pribadi. Emmy juga dituduh berada di belakang perlawanan masyarakat Amungme.
“Padahal mereka sudah memprotes kehadiran Freeport sejak puluhan tahun lalu, karena gunung yang ditambang oleh Freeport itu buat mereka adalah kepala ibu. Jadi suci sekali” kata Emmy.
Bukan Cuma sampai disitu. Tahun 1996, saat terjadi kekacauan dan penculikan di konsesi pertambangan Freeport, Walhi dituduh berada di belakang aksi penculikan tersebut. Emmy saat itu sempat merasa akan dimasukkan ke penjara. Untung, ia berhasil menunjukkan kekurangakuratan data intelijen, sehingga akhirnya tuduhan itu tidak berlanjut.
Menghadapi berbagai masalah tersebut, Emmy mengaku stres berat. “Saya stres berat. Saya mengatasinya dengan tidur dan saya bisa jatuh tertidur, karena seharian sudah sangat capai. Ada juga sih malam-malam terbangun,” kata Emmy.
DENGAN perjuangannya yang seperti itu, tak heran bila Emmy sempat mendapat pertanyaan, tidakkah gerakannya antipembangunan? “Itu terlalu menyederhanakan persoalan. Yang perlu dilihat adalah inti persoalan. Ada ketimpangan di Jawa dan luar Jawa, ada ketimpangan antara pemilik modal dan yang tidak punya modal. Yang diperlukan, menyebarkan gula-gula ke luar Jawa. Kami tidak antipembangunan, tetapi yang kami inginkan pembangunan yang tidak merugikan rakyat kecil, masyarakat lokal, dan lingkungan, “tandasnya.
“Kalau mau membuat perkebunan, mengapa tidak dibangun di lahan yang dipenuhi alang-alang, jangan di hutan yang masih bagus. Kami tidak menentang logging, tetapi kami tentang karena tak menghargai hak adat rakyat setempat. Pertambangan seperti Freeport, yang membuang ratusan ribu ton tailing ke sungai, bila dilakukan di negeri asalnya di Amerika, pelakunya bisa masuk penjara. Mengapa hal itu boleh dilakukan di negara lain?” kata Emmy.
Dengan terjadinya perubahan besar di Indonesia, di mana masyarakat menuntut reformasi, Emmy melihat peran LSM menjadi makin penting ke depan. “Di tengah euphoria politik di mana banyak partai politik bermunculan, LSM memegang peran sebagai penjaga reformasi yang memikirkan public interest. LSM terus membawakan berbagai isu secara murni tanpa dipengaruhi kepentingan politik,” tandasnya.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Kemenangan Gerakan Lingkungan), Penerbit: Kompas, Halaman: 125-129.