Kembalikan Keadaban Publik
Apa yang akan terjadi jika semangat pragmatisme, komersialisasi, dan korupsi yang mewabah juga ikut menggerogoti dunia pendidikan sebagai wahana penting pencetak warga negara dalam upaya wewujudkan suatu keadaban bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Apa yang terjadi jika lembaga pendidikan bermain mata dengan kekuasaan? Ketika secara kolektif sebagai bangsa kita terus mengalami pendangkalan, kehilangan seluruh nalar reflektif, kemampuan berpikir abstrak, dan hasrat bertindak? Ketika tujuan pendidikan dikuasai nalar korporasi dan direduksi sekadar untuk penuhi tuntutan pasar?
Dunia pendidikan kita tengah menghadapi persoalan besarnya sendiri. Akibatnya, sulit berharap lembaga pendidikan bisa menjadi elemen penggerak masyarakat sipil dalam upaya mengimbangi kepentingan bisnis dan kepentingan kekuasaan politik. Yang terjadi, dunia akademik justru cenderung menjadi pelayan kekuasaan bisnis dan politik.
Dalam relasi kekuasaan politis, sulit membayangkan masyarakat akademik menjadi penyeimbang kekuasaan ketika pemerintah, melalui berbagai peraturan, ikut menata statuta perguruan tinggi, proses belajar-mengajar, perekrutan serta pemindahan dosen dan peneliti. Bagaimana bisa berharap dosen/akademisi/peneliti bersikap kritis terhadap kekuasaan jika pemerintah punya otoritas langsung untuk memindahkan dia dari jabatannya? Dalam relasi kekuasaan pasar, sulit berharap sikap kritis muncul jika kurikulum dan arah penelitian ada di bawah cara pikir kepentingan dunia bisnis dan industri.
Pragmatisme tengah menjangkiti penyelenggaraan dunia pendidikan kita, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Tujuan pendidikan yang menurut Pembukaan UUD 1945 mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengalami pendangkalan, digantikan jargon-jargon populer seperti ”memproduksi manusia unggul, berdaya saing global, dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan pasar”.
Semua itu penting, tetapi jadi persoalan besar ketika kemudian indikator yang sangat instrumental ini mengambil alih arah dan tujuan penyelenggaraan pendidikan di negara ini. Keberhasilan pendidikan semestinya tak hanya diukur dari kompetensi anak didik, tetapi juga kebiasaan dalam sikap dan tindakan serta ketajaman intuisi dan nurani sebagai wujud transformasi utuh manusia di dalam keadaban bersama.
Ketika motif dagang memasuki kawasan pendidikan, yang terjadi adalah kolonisasi homo economicus. Alih-alih menerapkan kriteria pendidikan, para birokrat pendidikan kita justru lebih sibuk menerapkan nalar industri dan memburu ISO. Mutu tata kelola pendidikan pun didefinisikan berdasarkan kepuasan pelanggan. Pasar menjadi kata penentu dalam setiap keputusan. Momok terbesar perguruan tinggi sekarang ini adalah jika lulusannya tak laku di pasar.
Berkuasanya nalar ekonomi membuat nalar praktis dan epistemik tenggelam di bawah nalar instrumental. Orang diajarkan jadi ”tukang nalar” yang tahu mencapai tujuan tetapi tak mampu menimbang baik-buruk tujuan. Cita-cita mendidik warga negara dialihkan jadi mendidik konsumen yang tentu saja tak diajarkan bersikap kritis, rasional, abstrak- imajinatif-kreatif demi kebaikan hidup bersama. Sebaliknya, mereka dididik hasratnya untuk menyerap segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar.
Lembaga pendidikan yang mempertahankan cita-cita ideal pendidikan dianggap ketinggalan zaman. Dihadapkan pada anggaran terbatas, mereka lebih mengutamakan penelitian dan pengembangan bidang-bidang ilmu yang bisa memberi manfaat segera atau memenuhi tuntutan pasar. Kurikulum pun dirombak untuk bisa menopang tujuan itu.
Tanpa strategi yang mengacu ke hakikat dan tujuan pendidikan, bukan mustahil para peneliti-dosen didikte oleh kepentingan bisnis dan kekuasaan. Peneliti dari bidang-bidang yang kering— seperti penelitian dasar—beralih ke penelitian yang lebih mendatangkan keuntungan ekonomi dan relasi dengan kekuasaan. Di bidang kesehatan, banyak penelitian biomedis bergeser dari upaya memahami penyebab penyakit ke produksi obat-obatan yang lebih membuahkan laba. Lebih mengkhawatirkan lagi ketika bukan hanya arah penelitian (otonomi akademik) yang didikte kepentingan industri, melainkan juga jawaban-jawabannya (integritas akademik).
Otonomi lembaga
Dihadapkan pada situasi seperti ini, otonomi lembaga pendidikan menjadi amat krusial, baik otonomi dalam tata kelola maupun otonomi akademik. Otonomi merupakan syarat mutlak agar lembaga pendidikan tinggi dapat memenuhi fungsi sesuai misinya. Hanya melalui kurikulum yang dirancang secara cermat pendidikan dapat menghidupkan kembali perannya dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kurikulum ini harus mampu menerjemahkan tujuan pendidikan ke dalam upaya menanamkan dasar-dasar keahlian (dalam bidang keilmuan/vokasi/rekayasa) sekaligus kebiasaan sikap dan tindakan yang dibutuhkan agar manusia yang sudah menjalani pendidikan mampu menggerakkan berbagai kelembagaan dalam masyarakat untuk mendukung cita-cita hidup bersama.
Konkretnya, mengembalikan pendidikan bukan hanya untuk menghasilkan profesional yang terciutkan menjadi ”tukang nalar” yang bekerja untuk memuaskan klien, kekuasaan, dan diri sendiri serta lingkungannya, melainkan profesional dalam bidang masing-masing, menjalankan tugas sesuai bidang keahlian, dan pada saat bersamaan menjadikan keahliannya berkontribusi bagi hidup bersama. Yang terjadi selama ini, nalar ekonomi telah menciutkan makna profesi dengan dampak mengerikan bagi hidup berbangsa dan bernegara.
Masalah lain yang memengaruhi situasi pendidikan kita adalah cuaca kultural yang kian ditandai dengan kesibukan di dunia maya. Orang tak lagi punya cukup waktu dan malas berpikir secara mendalam. Tanpa kemampuan berpikir mendalam, kita tak akan mampu mengembangkan kemampuan bercakap- cakap dengan batin sendiri. Akibatnya, korupsi kian mengganas, sementara warga masyarakat sipil kian tenggelam memburu kepentingan sendiri-sendiri, tercerai dari kepentingan berbangsa dan bernegara.
Untuk menghubungkan kembali pendidikan dengan cita-cita mengembangkan kecerdasan hidup berbangsa dan bernegara, pengembangan kemampuan berpikir abstrak dan pengembangan imajinasi menjadi hal mendesak untuk dilakukan. Sebuah bangsa yang warganya telah kehilangan kemampuan berpikir abstrak tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.
Gerakan masyarakat sipil
Gerakan masyarakat sipil diharapkan bukan sekadar penyeimbang kekuatan pemerintah (dan bisnis), melainkan gerakan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadaban publik. Kekuasaan pemerintah dan bisnis tanpa kontrol kritis dari masyarakat cenderung korup dan membuahkan ketidakadaban dalam kehidupan publik. Ketidakadaban tecermin dari menurunnya sikap dan tindakan yang merujuk ke konstitusi, UU, hukum, dan norma-norma kepentingan hidup bersama.
Ketidakmampuan pemerintah menegakkan konstitusi dan memberlakukan hukum secara adil bukan hanya menunjukkan lemahnya pemerintah dan aparatus negara, melainkan juga menurunnya atau bahkan tiadanya keadaban dalam penyelenggaraan negara. Negara ibarat rimba belantara yang tidak memiliki hukum dan setiap orang berebut apa saja yang bisa dijarah.
Sumber: KOMPAS, 26 Desember 2012, Halaman: 7.