Kemandirian untuk Pedesaan
Menurut Tjondronegoro (1977), tingkat organisasi (kelompok) yang bisa membangkitkan partisipasi anggota adalah perdukuhan dengan anggota beberapa puluh kepala keluarga, yang melepaskan diri dari kaitan gugus kepamongan. Kelompok, yang penulis sebut KSM atau kelompok mandiri, berorientasi kepada upaya memenuhi kebutuhan tertentu dengan melibatkan anggotanya dan berpegang pada norma-norma dan pengawasan sosial. Dengan kata lain, dalam dimensi lebih modern KSM berorientasi pada upaya meningkatkan pendapatan (income generating), bekerja secara demokratis, dengan partisipasi penuh dari anggota, dan mandiri.
Menurut pengalaman Bina Swadaya, pengembangan KSM dapat melalui tahapan sebagai berikut: pertama, tahap penggalian atau penggugahan minat (motivasi) dan proses penyadaran kelompok. Kedua, tahap pembentukan organisasi dan pemahaman atas prinsip-prinsip kemandirian dan kerjasama. Ketiga, tahap konsolidasi dan stabilisasi organisasi. Pada tahap ini diajarkan penerapan prinsip manajemen organisasi untuk memantapkan kepemimpinan, administrasi (dan) pembukuan keuangan, serta peraturan-peraturan lainnya. Keempat, tahap pengembangan usaha produksi dan pemasaran, yakni peningkatan ketrampilan berusaha dan wiraswasta. Kelima tahap mandiri.
Tahap mandiri memiliki beberapa kondisi, yaitu: a). mampu menjaga kontinyuitas kehidupan kelompok (dengan kader); b). mampu membiayai pelayanan-pelayanan pendidikan pengembangan kelompok; c). mampu berpartisipasi dalam usaha-usaha pengembangan yang lebih luas, baik di desa maupun di luar desa.
Proses perkembangan kelompok itu bisa diperlancar dengan kehadiran para pendamping dan LSM yang akan mengkatalisir hubungan antar individu dalam kelompok dan hubungan antar kelompok dalam wilayah tertentu. Pendampingan semacam ini bisa mengintensifkan komunikasi dalam proses saling belajar atau memberi masukan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 64-65.