Kemandirian: Suatu Refleksi
Kemandirian (self-reliance) adalah suatu konsep yang sering dihubungkan dengan pembangunan. Dalam konsep ini program-program pembangunan dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan, juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang.
Mengapa persepsi ini muncul? Penjajahan yang berlangsung lama, yang dengan efektif menggunakan kekuasaan feodal pribumi, telah meninggalkan warisan berupa tatanan ekonomi sosial serta mentalitas masyarakat yang tidak siap mengemban kemerdekaan yang telah diraih. Dalam kondisi semacam inilah negara-negara sedang berkembang bergaul dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju secara ekonomi. Tidak bisa lain, untuk mengejar ketertinggalannya di bidang ekonomi, negara-negara tersebut harus melakukan berbagai program pembangunan.
Sayangnya, pembangunan yang mereka laksanakan seringkali terfokus hanya pada bidang ekonomi, dengan sasaran utama meningkatkan produksi dan pendapatan, dan jarang memperhatikan faktor manusia sebagai subyek. Dalam praktik sering kita jumpai martabat manusia merosot hingga sekedar menjadi alat utuk mencapai tujuan ekonomi.
Lebih ironis lagi, pembangunan di bidang ekonomi ini tidak menjamin terwujudnya perbaikan ekonomi masyarakat secara merata. Dua hal yang menjadi penyebabnya adalah: pertama, pembangunan ekonomi itu hanya mengutamakan pertumbuhan. Kedua, tidak efisiennya sistem birokrasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Ketidakefisienan ini telah menimbulkan kesenjangan dalam kepemilikan akses atas pembangunan. Dengan kata lain hanya individu-individu atau kelompok masyarakat tertentu yang menikmati hasil pembangunan tersebut. Golongan yang diuntungkan ini adalah mereka yang dekat dengan elit kekuasaan, atau mereka yang secara sosial ekonomi memang mampu meraih kesempatan yang ada.
Tentu saja golongan yang diuntungkan ini merupakan golongan kecil dari masyarakat. Sebagian besar masyarakat, karena berada dalam tingkat sosial ekonomi yang memprihatinkan, tidak mampu mengambil manfaat atas hasil-hasil pembangunan. Golongan terakhir ini hidup di perkampungan-perkampungan kumuh di perkotaan dan di perdesaan. Karena tekanan struktur kekuasaan, sosial, ekonomi, maupun politik begitu besar, mereka tertinggal jauh dari kemajuan ekonomi yang semakin menyulitkan kehidupan sehari-hari.
Karena itulah, satu-satunya tujuan hidup bagi golongan miskin hanyalah menyelamatkan diri dari tekanan hidup dengan jalan sangat selfish. Bila kemiskinan yang mereka tanggungkan sudah demikian parah, seperti kasus kemiskinan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, sebagaimana dilaporkan oleh tim peneliti Universitas Satya Wacana, Salatiga (1980), mereka bahkan juga kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Para petani di daerah itu menolak menerima uluran bantuan berupa ternak kambing.
Melihat uraian sekilas di atas, tampak konsep kemandirian menjadi faktor sangat penting dalam pembangunan. Konsep ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri (self-sufficiency) di bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur penemuan diri (self-discovery) berdasarkan kepercayaan diri (self-confidence). Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan.
Dalam pengertian sosial atau pergaulan antarmanusia (kelompok, komunitas), kemandirian juga bermakna sebagai organisasi diri (self-or-ganization) atau manajemen diri (self-management). Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi dan melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan. Pada aras ini, pencarian pola yang tepat, agar interaksi antarunsur selalu mencapai keseimbangan, menjadi sangat penting. Setiap keseimbangan yang dicapai akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya. Proses kemandirian adalah proses yang berjalan tanpa ujung.
Dalam konteks pembangunan, sikap mandiri harus dijadikan tolok ukur keberhasilan, yakni apakah rakyat atau masyarakat menjadi lebih mandiri (baca: bebas) atau malah semakin bergantung. Misalnya, apakah petani kita lebih bebas atau malah semakin bergantung pada hasil industri (seperti pupuk), apakah industri kita lebih bebas atau malah semakin bergantung pada bahan baku impor, atau apakah negara kita lebih mampu memupuk modal atau malah semakin bergantung pada utang luar negeri.
Sebagai implikasi dari saling berkaitnya unsur-unsur dalam kemandirian, proyek-proyek di bidang ekonomi bagi golongan miskin harus dirancang secara tepat, sesuai dengan tingkat keseimbangan yang ada pada mereka. Kemiskinan yang mereka tanggungkan tidak boleh kita lihat semata sebagai masalah fisik, melainkan juga harus dilihat sebagai tantangan atau dorongan bagi hadirnya harapan baru atau kondisi yang lebih baik. Proyek yang dibangun, dengan demikian, harus dapat dijangkau oleh kemampuan yang ada pada mereka. Dengan kata lain, proyek itu harus memungkinkan golongan miskin ikut berpartisipasi, baik pada tingkat implementasi maupun tingkat pengambilan keputusan, sehingga mereka memiliki landasan bagi terbentuknya proses self-management.
Agar interaksi unsur-unsur dalam kemandirian menjadi efektif, dan perkembangan ke arah selfish bisa dihindari, perkembangan pribadi individu yang positif bisa dibangun lewat KSM yang dibentuk dan diselenggarakan secara wajar dan bertahap. Dalam kelompok semacam inilah proses belajar-mengajar akan berlangsung, di mana kesenjangan penerima pelajaran dan pengajar yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang sosial-ekonomi, bisa dihindari. Dengan demikian, kecenderungan ke arah selfish akan terkikis dan diganti oleh empati yang akan menumbuhkan rasa kebersamaan. Bila kemampuan individu yang telah berkembang ini dipadukan secara bersama-sama, maka akan muncul peningkatan kinerja kelompok, sehingga secara lebih luas golongan miskin berpartisipasi dalam pembangunan.
Proses perkembangan kelompok semacam ini bisa dibantu dengan menyertakan pendamping dan lembaga pengembangan yang memfasilitasi individu-individu di dalam kelompok atau antarkelompok di satu wilayah tertentu. Keikutsertaan pendamping ini bertujuan untuk mengintensifkan komunikasi dalam proses belajar atau memberi masukan yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anggota kelompok. Tetapi harus diingat, pendamping tidak bekerja sebagai guru, apalagi pemimpin, melainkan sebagai teman, dan bahkan sering pula mereka bertindak sebagai murid dari proses perkembangan golongan miskin. Proses ini menuntut komitmen, dedikasi, dan pandangan hidup yang baik dari pendamping. Artinya, mereka harus memperhatikan proses kemandirian yang terjadi dalam KSM seperti yang terjadi pada dirinya sendiri.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 40-44.