Kebutuhan Sistem Pengelolaan SDM pada LSM
Bagi sebagian besar LSM, staf/personil merupakan sumber daya dan aset yang paling berharga. Namun, hingga kini sebagian besar LSM belum memiliki Sistem Pengelolaan SDM yang memadai. Kebijakan pengelolaan SDM LSM biasanya baru tertuang dalam dokumen kebijakan yang cukup sederhana. Hal ini terutama disebabkan karena belum ada model pengelolaan SDM yang tepat sesuai dengan karakteristik khusus LSM. LSM secara umum merupakan bentuk organisasi yang independen dan bersifat nirlaba.
Karakteristik khusus LSM yang mendasar terletak pada cara organisasi nirlaba memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya. Sumber daya LSM berasal dari iuran anggota ataupun sumbangan pihak lain; yang kedua sumber tersebut tidak mengharapkan pembayaran kembali atau manfaat ekonomi yang dapat dibandingkan dengan jumlah sumber daya yang telah diberikan.
Pada LSM, tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam organisasi nirlaba tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya organisasi. LSM tidak berorientasi pada laba/profit. LSM secara umum memberikan jasa tanpa bertujuan memupuk laba, dan kalaupun suatu organisasi menghasilkan laba, maka jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas tersebut.
Lantas apa kaitan karakteristik khusus tersebut dengan sistem pengelolaan SDM pada LSM?
Kaitannya adalah bahwa dengan karakteristiknya yang nirlaba, maka LSM tidak memiliki alat ukur sesederhana yang organisasi bisnis punyai, yaitu ‘laba’. LSM sudah seharusnya memiliki alat ukur keberhasilan yang lebih kualitatif dan bersifat multi dimensional.
Saat sebuah LSM tidak mampu mendefinisikan ukuran-ukuran keberhasilan organisasinya, maka pada saat yang sama dia akan ‘kehilangan alat ukur’ dalam pengelolaan SDM organisasi. Ataupun jika sebuah LSM telah mampu menyepakati alat ukur keberhasilan organisasinya, maka tantangan yang cukup berat kemudian adalah bagaimana menurunkan alat ukur keberhasilan organisasi yang lebih bersifat kualitatif tersebut menjadi bahan dasar bagi metode pengukuran kinerja para personilnya yang pasti cenderung akan bersifat kuantitatif.
Siklus pengelolaan SDM dalam pendekatan yang integratif dapat diformulasikan sebagai berikut (Yankee Group, 2005):
Sesuai dengan tahapan umum siklus pengelolaan SDM di atas, jika diimplementasikan dalam konteks LSM, maka tanggapan atas beberapa contoh pertanyaan berikut akan sangat tergantung pada ‘alat ukur apa yang akan digunakan’:
- Bagaimana menentukan syarat-syarat rekrutmen, termasuk di dalamnya bagaimana penetapan kualifikasi dan deskripsi kerja akan dilakukan? (Kualifikasi seperti apa yang dibutuhkan jika misalnya kebutuhan utamanya adalah fasilitasi resolusi konflik di lapangan? Apakah pengalaman kerja menjadi syarat utama? Dan latar pendidikan tidak menjadi penting?)
- Bagaimana kontrak kerja akan dibangun?
Bagaimana menetapkan angka remunerasi? (Ketika hampir seluruh dana yang dimiliki organisasi adalah hasil kesepakatan dengan lembaga donor? Periode kontrak personil biasanya selalu disesuaikan periode kontrak organisasi dengan lembaga donor yang bersangkutan. Donor A dan donor B bisa saja menetapkan angka anggaran yang beda bagi satu fungsi dan jabatan yang sama bebannya. Belum lagi soal sekian persen dari honor/upah yang disepakati bersama untuk didonasikan ke organisasi.)
Bagaimana menetapkan jam kerja? (Saat para personil tak jarang harus bekerja secara responsif dalam menghadapi dinamika situasi yang terjadi di lapangan?)
- Apa metode yang digunakan dalam mengukur kinerja personil? Dokumentasi apa yang bisa digunakan bagi organisasi untuk mengukur kinerja personil? (Laporan proses fasilitasikah? Atau tingkat keberhasilan konflik yang dapat ter-resolusi? Padahal hasil kerja di lapangan akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan? Indikator proses atau indikator output yang akan digunakan?)
- Bagaimana mendorong peningkatan kapasitas masing-masing personil? Bagaimana mendorong mereka menjadi manusia pembelajar? Bagaimana mendorong terbangunnya ‘learning organization’ di LSM? Dll.
Pengelolaan SDM di LSM saat ini masih sebatas pada ‘pengelolaan administrasi’ SDM, dimana peran tersebut masih dirasakan kurang memadai dalam mendorong tumbuh kembangnya organisasi. Pengelolaan SDM harus dilakukan secara ‘paripurna’ agar dapat menciptakan iklim organisasi yang kondusif sebagai media berkembangnya motivasi personil dalam memberikan kinerja optimal bagi organisasi.
Dengan segenap pemahaman atas karakteristik khusus LSM baik yang berbentuk Yayasan, Perkumpulan, atau bentuk organisasi lainnya, tampaknya sudah waktunya LSM membutuhkan sistem pengelolaan SDM yang mampu menjawab kebutuhan perkembangan organisasi saat ini dan masa datang, dengan tetap menjaga konsistensi implementasi peraturan umum organisasi serta aturan turunan yang menyertainya.
Dalam pelaksanaannya, juga dibutuhkan adanya pemahaman secara menyeluruh bagi para pengelola SDM di LSM, agar mampu menjalankan sekaligus mengadministrasikan pengelolaan SDM sesuai dengan kaidah baku pengelolaan SDM.
Bagi LSM, staf/personil merupakan sumber daya dan aset yang paling berharga. Maka pengelolaan SDM yang baik akan menjadi pilar utama LSM dalam mencapai tujuan organisasinya.