Kasus Kelompok Swadaya Sidajaya, Subang, Jawa Barat
Sidajaya adalah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Pegaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Desa ini terletak sekitar 15 km dari ibukota Kabupaten Subang, dengan luas 906,244 hektar atau sekitar 0,45 persen dari seluruh wilayah kabupaten. Letak Sidajaya agak terpencil dari desa-desa lainnya. Hubungan dengan pusat-pusat kemajuan agak sulit, karena sarana angkutan umum belum masuk. Jumlah penduduk desa, menurut catatan tahun 1983, adalah 4.891 jiwa, dengan rata-rata kepadatan penduduk 604 jiwa per km². Rata-rata ini lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten Subang, yaitu 519 jiwa per km².
Mata pencaharian pokok penduduk desa adalah bertani, dengan luas tanah pertanian 896,244 hektar, terdiri dari sawah 304,004 hektar, tanah darat (tegalan dan pekarangan) 342,004 hektar, dan tanah perkebunan 250 hektar. Sawah di desa ini pada umumnya hanya dapat ditanami padi sekali dalam setahun. Setelah itu, selama dua musim tanam, sawah dibiarkan terbengkalai. Saat itulah para petani dan buruh tani menganggur. Karena didorong untuk mempertahankan hidup, mereka kemudian pergi ke Jakarta. Pada 1982, desa ini mengalami rawan pangan akibat musim kemarau yang panjang.
Dilihat dari aspek kepemilikan lahan, setiap kepala keluarga rata-rata memiliki 0,68 hektar. Jumlah petani yang memiliki lahan seluruhnya 418 kepala keluarga, sedangkan jumlah buruh tani (petani tanpa sawah atau tunakisma) sebanyak 382 kepala keluarga.
Melihat keadaan yang dialami oleh Desa Sidajaya itu, Bina Swadaya bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Subang dan masyarakat setempat, pada 1983 merumuskan langkah-langkah pemecahannya. Potensi fisik yang dimiliki desa itu adalah dua sungai, Cipunegara dan Cilamatan, yang mempunyai debit air sangat tinggi dan belum pernah mengalami kekeringan di musim kemarau. Selama ini potensi air kedua sungai itu tidak dapat dimanfaatkan, karena letak sawah lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan sungai.
Melihat potensi tersebut, pemecahan yang ditawarkan adalah proyek pompanisasi dan pengembangan sumber daya manusia melalui pembentukan KSM. Keanggotaan kelompok meliputi petani pemilik tanah dan buruh tani. Jumlah petani yang kemudian terlibat dalam proyek itu berjumlah 178 orang, 66 orang petani pemilik dan 112 buruh tani. Sawah tadah hujan yang dapat dicakup seluas 150 hektar, yang dilayani oleh empat unit pompa berkekuatan antara 90-200 liter air per detik.
Sesudah diselenggarakan proyek pompanisasi, tampak ada perubahan dalam hal penciptaan lapangan kerja dan usaha. Hal ini dimungkinkan karena masa tanam padi meningkat, dari satu kali menjadi dua kali setahun. Masa tanam ketiga dimanfaatkan untuk palawija. Pada masa tanam pertama (rendengan), lahan diolah seperti biasa oleh pemilik tanah, sementara buruh tani dan petani kecil tetap berkedudukan dan berfungsi sebagai buruh tani. Pada masa tanam kedua (gaduh), buruh tani dan petani kecil diberi kesempatan untuk menggarap lahan para pemilik tanah melalui sistem bagi hasil, sebagaimana biasa dilakukan. Pada masa tanam ketiga (palawija), lahan sepenuhnya diserahkan kepada buruh tani untuk dikelola dan dinikmati hasilnya tanpa sewa. Sementara itu, sektor-sektor usaha lainnya yang juga berkembang, misalnya, pembuatan bata/genteng, pertukangan, pewarungan. pengangkutan. dan penggilingan padi.
Catatan Penutup
Dari uraian di atas terlihat bahwa usaha menciptakan lapangan kerja di perdesaan bukanlah sesuatu yang mustahil. Tetapi, usaha itu hendaknya tidak dengan sekedar memperbesar anggaran pembangunan bagi perdesaan dalam setiap APBN. Juga, suntikan modal ke perdesaan melalui berbagai program perkreditan tidak akan menghasilkan efek sebagaimana yang diharapkan bila masyarakat perdesaan sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menyerapnya.
Pendekatan yang lebih tepat adalah dengan memperhitungkan berbagai potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat perdesaan secara realistis. Untuk itu masyarakat perdesaan perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan-kebijakan pembangunan perdesaan.
Pada konteks ini, dari keseluruhan proses, peranan LSM menjadi penting karena mampu menjangkau masyarakat maupun pengambil keputusan di pemerintahan. Dengan kata lain, LSM dapat menjadi alat yang efektif untuk membantu menggerakkan pembangunan dari bawah dan dari atas. LSM mampu menerjemahkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat bawah, sekaligus mampu menjadi penyalur sarana-sarana pembangunan yang dialokasikan dari atas.
Implikasi dari peran-peran LSM tersebut adalah: pertama, pemerintah perlu memberi peluang dan dukungan yang lebih besar bagi pekerjaan dan pola pendekatan yang dilakukan oleh LSM. Kedua, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya terobosan dalam berbagai bidang pelayanan pengembangan kemandirian masyarakat, antara lain di bidang perkreditan. Dalam bidang perkreditan ini, lembaga-lembaga perbankan pemerintah seyogianya lebih mempertimbangkan aspek efektivitas kerja LSM ketimbang aspek legalitasnya.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 55-58.