Jendral di Zona Panas
Ia seperti selalu harus berada di titik panas: Aceh dan Papua. Tak ada proses yang mulus di kedua zona panas itu. Keengganannya berkomunikasi dengan media semakin membuatnya dikenal sebagai sosok kontroversial.
Sebagai Panglima Komando Operasi Militer di Aceh, pada 2002-2004, Bambang memimpin tentara memerangi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik berdarah TNI -GAM, yang berlangsung sejak 1976 dan menelan korban di kedua pihak, pekat diwarnai pelanggaran HAM.
Bambang berusaha meminimalisasi kekerasan. Misalnya, ketika masuk informasi intelijen akan ada demonstrasi besar-besaran di Lhok Seumawe, ia mengerahkan pasukannya menggelar kompetisi sepak bola dadakan. Belasan tim sepak bola beraksi di lapangan. Walhasil, demonstrasi urung.
Bambang juga mengharuskan setiap prajurit membawa dua lembar kain kafan di ransel. Saban kali menemukan atau menembak lawan (GAM), prajurit harus memberi hormat dengan cara mengkafani jenazah dan menguburkannya. Suatu ketika, Bambang terekam kamera televisi sedang menggampar anak buahnya yang kedapatan menyeret jenazah Anggota GAM.
Desember 2004, tsunami menyerbu Aceh. Bambang ditugaskan mengawal proses tanggap darurat. Dia berurusan dengan ratusan organisasi dari seluruh penjuru dunia. Tak kurang dari 4.500 tentara dikerahkan untuk proses tanggap darurat bencana. “Saat itu hampir semua instansi pemerintah loyo,” katanya.
Lalu lahirlah “Kesepakatan Damai Helsinki”. Perseteruan panjang, 29 tahun, berakhir pada 15 Agustus 2005. Bambang mengawal proses penyerahan senjata dan pembebasan tahanan politik. The Strait Times menggambarkan dia sebagai “Man of War To Man of Peace” .
Kini letnan jenderal purnawirawan itu bertugas di Papua, menjadi Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.
Bersama ini sekali lagi saya ingin menyampaikan salam hangat dari Papua kepada para pemimpin Indonesia masa depan disertai harapan teruslah berkarya bagi Indonesia yang lebih baik. Sejak awal Januari 2012 saya resmi memulai bakti kembali kepada Tanah Air tercinta Indonesia.
Sebuah negara bangsa yang secara geografis terbentang sangat luas dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, atau setidaknya membutuhkan waktu terbang 8 jam menggunakan jet komersial dari ujung barat sampai ujung timur. Sebuah negeri yang sangat luas dan lebih luas dari Eropa Barat. Di Tanah Papua, itulah sebutan akrab masyarakat Papua terhadap pulau di ujung timur Indonesia di mana saya mengabdi saat ini. Tanah Papua, itu pula sebutan pulau yang sangat menakjubkan apabila kita terbang di atasnya dan menikmatinya sebagai bagian dari masyarakat setempat. Manakjubkan, karena pulau ini sangat indah dengan rangkaian geografis yang memadukan semua keindahan alami yang ada di dunia. Menakjubkan, karena kekayaan alamnya yang luar biasa. Dan manakjubkan, karena dihuni lebih dari 252 suku Papua dengan aneka ragam budaya yang bermacam-macam. Sayang, semua yang menakjubkan ini ternyata paradoks dengan kondisi saat ini. Inilah setidaknya sekilas tempat di mana saya memulai bakti kembali ke Pertiwi. Paradoks !.
Pada 15 Januari 2005, The Strait Time, koran terbitan Singapura pernah menulis artikel dengan judul Man of War to Man of Peace, sebuah artikel yang menuliskan tentang diri saya. Entah kebetulan atau tidak artikel tersebut, yang pasti mulai pertengahan Mei 2005 saya mulai dilibatkan dalam sebuah proses perdamaian Aceh di Helsinky yang kemudian berlanjut hingga implementasinya yang gemilang sampai 15 Desember 2006. Aceh Damai telah mewujud dan dream come true kata seorang setengah baya dari Langsa. Maka ketika saya diberi lagi amanah untuk menjalankan tugas di Tanah Papua ini dan di awal Februari 2012 menginjakkan kaki pertama kali di Merauke, saya sempat meneteskan air mata di depan masyarakat. Kejadian ini ternyata mengingatkan saya pada sebuah lagu yang diajarkan ibu ketika saya masih kecil. Sekali lagi entah kebetulan atau tidak, kali ini ternyata mewujud dan saya benar-benar terlibat di dalamnya. Memimpin unit yang bertugas melaksanakan percepatan pembangunan di Papua dan Papua Barat, inilah amanah pengabdian baru yang sedang saya jalani.
Memimpin, sebuah kata yang harus dilaksanakan para pemimpin. Banyak orang rela kehilangan harta bendanya di negeri tercinta ini untuk menjadi pemimpin. Namun demikian tidak jarang pula yang menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Oleh karena itu tidak semua pemimpin yang telah terpilih benar-benar memimpin. Sebab kenyataannya hanya sedikit pemimpin di negeri ini yang memimpin, yang banyak justru pemimpin yang hanya memerintah. Rakyat tentu sangat merindukan hadirnya pemimpin yang memimpin bukan pemimpin yang hanya memerintah, karena rakyat sangat mengetahui bahwa pemimpin yang mampu membawa masyarakat mencapai cita-citanya hanya pemimpin yang memimpin. Sayangnya masyarakat juga sering dihadapkan pada kondisi di mana pili hannya terbatas yang tidak jarang dengan jargon yang berlebihan, sehingga patut direnungkan sebuah pepatah Jawa yang dalam bahasa Indonesia “Jangan sok merasa bisa tetapi bisalah merasa”.
Bagi saya yang selama ini bergulat dengan persoalan kepemimpinan, “Semakin tinggi kedudukan seorang pemimpin maka semakin besar pula derajat ketidakpastian yang akan dihadapi oleh pemimpin itu tetapi pemimpin itu harus memberikan kepastian kepada masyarakatnya, dan karena itu pula pemimpin tidak boleh membiarkan masyarakat larut dan terlibat penuh dalam ketidakpastian yang dihadapinya”. Hal lain yang justru sangat penting tetapi sangat sulit bagi orang Indonesia yang lekat dengan budaya paternalistik, yaitu mewujudkan pemimpin yang melayani. Justru persoalan inilah yang kita hadapi dan menjadi isu sentral yang harus digumuli oleh para pemimpin hari-hari ini. Andai kata banyak pemimpin yang melayani di negeri ini hiruk pikuk dinamika kehidupan bangsa ini tidak akan seperti yang kita alami saat ini.
Saudaraku para pemimpin masa depan, kali ini saya juga memulai lagi pergumulan ini. Satu hal telah saya tetapkan yaitu “Harus dan Pasti Bisa”. Mari kita memulainya sekarang untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Dengan niat yang tulus seraya memohon kekuatan dari Tuhan, saya sangat berkeyakinan bahwa berkat Tuhan akan melimpah kepada kita untuk niat ini. Amin.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Bambang Darmono, Hal: 180-182.