Inpres Desa Tertinggal (3/3)
Monitoring, Evaluasi, dan Komunikasi
Untuk menjamin kelancaran dan keakuratan informasi tentang perkembangan program IDT, perlu disusun sistem Informasi Manajemen (SIM) yang sesuai. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diterapkan upaya pendokumentasian proses kegiatan yang dilaksanakan agar diperoleh gambaran mengenai penyelenggaraan program. Dengan pengalaman yang dimilikinya, LSM dapat terlibat dalam perancangan mekanisme ini.
Sementara itu, agar program IDT dapat menjadi gerakan masyarakat, kita dapat mencontoh sukses BKKBN dengan gerakan kependudukannya. Kunci dari keberhasilan tersebut adalah adanya manajemen komunikasi yang efektif. Kegiatan ini harus menjadi sasaran tersendiri dari gugus kendali Program IDT.
Organisasi Pelaksana
Untuk menjamin keberhasilan program IDT, hendaknya disusun organisasi pelaksanaan kerja operasional yang bersifat gerakan. Mengingat banyaknya program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh berbagai instansi sektoral, regional, dan masyarakat (termasuk LSM), maka organisasi pelaksana IDT perlu menampung unsur-unsur dari lembaga pemerintah dan masyarakat. Unsur-unsur tersebut berada di tingkat pusat, daerah tingkat I, dan daerah tingkat II. Di tingkat pusat diusulkan dibentuk Forum Pengendali IDT (FPI), tingkat I (untuk propinsi), dan tingkat II (untuk kabupaten). FPl terdiri dari berbagai unsur sektoral, regional, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan, dan LSM. Dalam FPI ditampung berbagai pemikiran dan masukan tentang upaya penanggulangan kemiskinan serta laporan tentang pelaksanaan pengendahan program.
Pada setiap tingkat dibentuk Gugus Kendali IDT (GKI), yaitu kelompok kerja kecil yang terdiri dari unsur-unsur dalam FPl dan bekerja penuh.
- GKIN (Nasional) berada di Tingkat Pusat, berkantor di kantor Bappenas, diketuai oleh Asisten Menteri PPN/Kepala Bappenas Bidang P2PK.
- GKI I berada dr tingkat propinsi, berkantor di kantor Bappeda tingkat I.
- GKI II berada di tingkat kabupaten, berkantor di kantor Bappeda Tingkat II.
Pada tingkat kecamatan dibentuk Koordinator Pelaksana IDT, terdiri dari seorang Pimpro yaitu Kasi PMD dibantu mantri statistik, dan para Pendamping.
Mengenai alur dana, kita dapat menggunakan jasa Bank BRI sebagai chanelling agent. Semua dana khusus IDT disimpan pada BRI pusat dan disalurkan ke BRI Unit Desa (di kecamatan) atas permintaan koordinator IDT sesuai kesiapan KSM. Selanjutnya, dana bantuan IDT disalurkan langsung kepada bendahara KSM yang segera membagikan dana tersebut kepada para anggota sebagai kredit tanpa bunga.
Peranan LSM
Karena pengalaman LSM dalam upaya menanggulangi kemiskinan lebih banyak berada dalam tataran mikro, maka secara kualitatif LSM dapat berperan serta dalam merancang program IDT, terutama yang menyangkut mekanisme kerja dalam kelompok pemanfaat.
LSM mempunyai pengalaman memotivasi dan mendorong berdirinya KSM, melatih pemimpin KSM serta menghubungkan KSM dengan pusat-pusat pelayanan setempat. Meski demikian, menyadari luasnya jangkauan program IDT, yang meliputi seluruh tanah air, dan keterbatasan LSM untuk dapat hadir di setiap kecamatan di Indonesia, maka LSM tidak mungkin melaksanakan fungsi fungsi tersebut. Selain itu, mengingat anggaran untuk mereka tidak ada, maka peran pendampingan pada KSM dapat diserahkan kepada petugas lapangan dari berbagai departemen dan badan non-departemen yang sudah berada di kecamatan.
LSM juga dapat berperan membantu menyusun strategi dan modul pelatihan, atau bersama-sama dengan tim dan Departemen Dalam Negeri dan instansi sektoral lainnya, membentuk Tim Pelatih dan melakukan pelatihan untuk pelatih. LSM juga dapat ikut serta dalam tim Gugus Kendali. IDT yang bertugas merumuskan sistem manajemen informasi dan sistem komunikasi kepada masyarakat serta penerapannya.
Apabila program IDT difokuskan untuk memperkuat aspek permodalan lewat bantuan modal kerja, maka upaya tersebut perlu diiringi dengan usaha-usaha penciptaan lapangan kerja, baik di bidang pertanian (intensifikasi dan diversifikasl), industri, jasa, perdagangan, pariwisata, dan lain-lain. Pada titik ini, LSM dapat diberi tugas menciptakan proyek-proyek stimulan untuk mewujudkan lapangan kerja tersebut.
Terakhir, pendampingan terhadap kelompok tidak dapat dilakukan secara terus-menerus. Para petugas lapangan dari departemen dan non-departemen, suatu saat harus meninggalkan mereka. Tidak bisa lain, agar upaya penanggulangan kemiskinan dapat terus berlanjut, KSM harus dihubungkan dengan bank setempat. LSM dapat berperan menjadi penghubung antara KSM dengan bank tersebut dalam suatu hubungan simbiosis mutualisme.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 79-82.