Indonesia Negara Gagal?
The Fund for Peace menyatakan baru-baru ini bahwa Indonesia adalah negara gagal. Pernyataan seperti ini bukan suatu hal baru.
Pada 16 Agustus 2007, Boni Hargens sudah menulis bahwa Indonesia, ketika memasuki usia ke-62, masih gagal ”menjadi Indonesia”. Sejak 1970-an, abad lalu, saya sudah memprediksikan hal ini dan saya katakan langsung ke Presiden Soeharto 6 Januari 1982. Melalui tulisan di media massa, saya ingatkan setiap pemerintahan baru di era Reformasi supaya berusaha mencegah kegagalan pembentukan negara-bangsa kita, ketidaksuksesan pembangunan ekonomi mengindonesiakan Indonesia. Mereka semua tak menggubris. Mereka lupa, mereka dipilih tak melulu untuk memimpin, tetapi sambil mendengar dan membaca juga pendapat orang-orang yang berada di luar lingkungan terdekatnya. Presiden SBY menyanggah pernyataan Indonesia negara gagal. Dia bahkan sampai mengatakan penilaian tersebut berlebihan dan karenanya mempermainkan kebenaran. Sedangkan mempermainkan kebenaran itu, menurut dia, mempermainkan Tuhan.
Adalah logis Indonesia menjadi negara gagal karena sejak penyerahan kedaulatan nasional dari Belanda ke Indonesia tidak pernah ada usaha kolektif berupa pembangunan nasional yang sistematik, koheren, konsisten, terarah, dan kontinu. Yang selama ini dilakukan oleh penguasa negara silih berganti adalah pembangunan bidang ekonomi berdasarkan resep penalaran ekonomika, Bank Dunia, IMF, dan lembaga finansial internasional lainnya. Kedua usaha ini memang saling terkait, tetapi jelas berbeda secara fundamental dalam tujuan dan ukuran suksesnya. SBY dan para penasihat ekonomi serta mereka yang memagarinya perlu menyadari bahwa negara-bangsa Indonesia bukan lahir dari penalaran buku teks ekonomika, melainkan dari satu revolusi yang ditakdirkan Tuhan bernatur unik. Realitas historis ini adalah satu kebenaran dari mukjizat ilahiah. Akuilah, memang ada yang salah dengan visi pembangunan dari semua pemimpin pascarevolusi kita selama ini.
Horizontal dan vertikal
Bagaimana bisa disebut Indonesia negara berhasil kalau sampai sekarang, saat memasuki usia ke-67, masih ada saja daerah bagiannya yang ingin memisahkan diri, tidak betah lagi bergabung dalam NKRI, bosan menjadi bangsa Indonesia. Keindonesiaan kita terbukti gagal, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal tetap rapuh karena hubungan antarkelompok (etnis dan kedaerahan) belum terpadu secara integralistik. Secara vertikal tetap rawan berhubung sepak terjang para pemimpin politik dan kepartaian mereka tidak menggairahkan perkembangan spirit nasionalisme di kalangan warga negara. Kompas 2 Juli lalu memberitakan betapa konflik antarwarga atau dengan aparatur pemerintah ternyata masih menyala di Aceh, Lampung, dan Sulawesi Tenggara, yaitu daerah-daerah yang selama ini menjadi area konflik.
Dinamika masyarakat digerakkan oleh dua set keadaan, yang oleh sosiolog Robert Merton disebut ”laten” dan ”manifes”. Yang ”laten” adalah kekuatan-kekuatan yang tidak kita sadari atau samar-samar disadari atau di mana kesadaran mengenai hal itu memainkan peran yang tidak penting. Yang ”manifes” merupakan proses di mana kesadaran tentang proses itu sendiri—yaitu citra tentang natur dari masyarakat dan proses sosial dalam pikiran manusia—memainkan peran yang signifikan dalam menentukan perilaku manusia dan jalannya kejadian-kejadian sosial.
Artian ”laten” tadi meliputi nyaris keseluruhan proses kehidupan makhluk hewan, tetapi tidak lagi bagi makhluk manusia. Sedangkan kesadaran sudah masuk ke dalam sistem sosial human sejak dini, tidak hanya kesadaran diri (self-awareness), tetapi lama-kelamaan juga tentang keseluruhan sistem di mana manusia itu berakar. Kita tidak bisa mengatakan apa yang akan dilakukan oleh sistem kecuali bila kita ketahui apa yang dipikirkan oleh para anggotanya mengenai sistem yang bersangkutan sebab apa-apa yang mereka pikirkan memengaruhi perilaku mereka dan perilaku ini memengaruhi sistem.
Jadi citra tentang dunia dalam pikiran manusia menjadi unsur esensial dalam proses kejadian dunia itu sendiri. Ideologi merupakan bagian dari citra yang dianggap manusia sangat bernilai bagi identitas dan citra dirinya sendiri dan, karena itu, dia siap sedia untuk mengembangkan dan mempertahankan. Suatu citra dunia menjadi ideologi bila ia menciptakan dalam pikiran manusia yang menghayatinya suatu peran bagi dirinya sendiri yang dinilainya sangat tinggi. Persiapan yang cukup lama, konsisten, dan kontinu dari kelahiran negara-bangsa Indonesia, mentransformasi ideologi etnis/kedaerahan menjadi ideologi kebangsaan.
Maka, karakteristik esensial pertama dari ideologi adalah suatu interpretasi historis yang cukup dramatis dan meyakinkan sehingga individu merasa mengidentikkan dirinya dengan sejarah itu dan pada gilirannya dapat memberikan kepada individu sebuah peran dalam drama yang digambarkan dan dicetuskan oleh sejarah tadi. Ideologi kemerdekaan nasional menggambarkan sejarah sebagai suatu drama besar pembebasan manusia melalui perang revolusioner mengusir penjajah. Dengan menjadi ”rakyat Indonesia” dan tidak sekadar ”orang daerah” (Aceh, Papua, dan lain-lain), individu mengidentikkan dirinya dengan drama ini dan menerima sebuah peran di situ. Kemenangan perang revolusioner akan mengakhiri penindasan, menegakkan keadilan dan kemerdekaan nasional, serta merehabilitasi harkat dan martabat manusia bagi seluruh warga negara Indonesia.
Namun, para pemimpin dan politikus kita, termasuk SBY, kiranya tak menyadari, pengertian ”bangsa” bukanlah deskriptif. Suatu bangsa bukanlah satu fakta. Ia abadi karena berupa status nascendi yang permanen, dari naturnya ia selalu in potentia, tidak pernah in actu. Jadi istilah ”bangsa” bukan mengatakan keadaan, melainkan suatu gerakan, suatu kemauan, suatu usaha bersama karena mau hidup bersama.
Maka, ketika ”negara” selaku manifestasi dari ”bangsa yang terorganisir” lalai mengadakan gerakan pembangunan nasional berupa usaha kolektif sistematik, koheren, konsisten, terarah, dan kontinu, satu per satu individu, suku, atau daerah yang merasa peran yang dibayangkannya dalam dunia Indonesia yang merdeka jadi semakin tidak pasti, jauh dari memuaskan atau dilecehkan oleh pihak lain atau diingkari oleh penguasa, mulai memikirkan ideologi lain yang lebih menjanjikan.
Kita memang harus memberantas separatisme demi keutuhan NKRI, tetapi kita berkewajiban memahami sebab musabab timbulnya gerakan separatis tersebut. Coba renungkan! Sambil mengibarkan bendera yang lain daripada Sang Saka Merah Putih, menembakkan peluru dan melayangkan anak panah, para separatis berteriak, bukan minta kenaikan produk nasional bruto, melainkan menuntut agar ”diwongke” dan sebagai manusia bermartabat diajak berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Mereka sadar benar mereka sudah eksis dan relatif mumpuni jauh sebelum kelahiran Indonesia.
Paradigma baru
Berarti kita dituntut bukan untuk mencari arah baru guna mengatasi ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Selama ”pembangunan” direduksi dari ”pembangunan nasional” menjadi ”pembangunan ekonomi” tok dan pelaksanaannya didadarkan pada penalaran ekonomika pure and simple, selama itu pula pembangunan kita akan berjalan ke ”arah yang salah” karena penalaran ekonomika itu justru mengarahkannya ke sana. Kita dituntut menetapkan satu paradigma baru pembangunan secara nasional. Yang perlu kita perkaya adalah manusia, bukan ekonomi di tengah mana manusia itu hidup. Yang harus kita selamatkan, melalui paradigma baru tadi, adalah eksistensi negara-bangsa karena ia adalah gabus tempat kita semua mengapung.
Dengan kata lain, Bappenas bukan perlu menyiapkan satu ”Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia” (MP3EI), melainkan ”Masterplan Percepatan Pembangunan Negara-Bangsa”, sesuai panggilan lembaganya, yaitu ”Badan Perencanaan Pembangunan Nasional”, sesuai sebutan dengan isi. Konsep paradigma baru pembangunan mendatang itu harus memperhitungkan hal-hal yang selama ini diabaikan begitu saja.
Pertama, pembangunan adalah pembangunan nasional yang holistik, bukan pembangunan ekonomi yang sektoral. Kita jangan lagi berpikir dalam term ekonomi karena yang dipertaruhkan bukan lagi bidang ekonomi, melainkan eksistensi negara-bangsa. Ekonomika tetap dipakai, tetapi sebagai bagian dari pembangunan nasional, bukan sebaliknya. Penalaran ekonomika harus melayani kebutuhan pembangunan nasional, bukan sebaliknya. Berarti konsep pembangunan tak perlu lagi didikte ajaran dan pesan dari ”the economics of development”, tetapi harus didasarkan pada ide ”the cultural realisties” dari dinamika sosial bawaan revolusi-45 yang telah melahirkan Indonesia berupa sekaligus negara dan bangsa.
Kedua, hargai suku sebagai kelompok etnis dari orang-orang yang punya self-es- teem, bermartabat, turut disertakan dalam usaha kolektif terorganisir yang menentukan nasib bersama. Usaha mengindonesiakan Indonesia mengisyaratkan memanusiakan semua dan setiap warga negara Indonesia di mana pun berada.
Ketiga, dalam memanfaatkan kekayaan sumber daya alam (natural endowment), hendaknya kita punya ”etika masa depan”. Ini bukan etika yang dirumuskan sekarang guna ditetapkan di masa mendatang, melainkan yang digariskan sekarang untuk diterapkan sekarang juga demi eksistensi masa depan. Artinya, kita tak boleh serakah dan lupa daratan sehingga melupakan peluang serupa yang diperlukan bagi kehidupan anak cucu. Dengan kata lain, natural endowment yang kita ”kuasai” dewasa ini bukanlah ”warisan” nenek moyang, melainkan ”pinjaman” dari anak cucu yang harus bisa dikembalikan pada waktunya kepada mereka dalam kondisi bernilai sama, kalaupun tak bisa berpotensi lebih besar sebagai bunga pinjaman.
Keempat, pendidikan formal perlu diberi prioritas pertama dan utama. Indonesia adalah satu-satunya bangsa di dunia yang puluhan tahun sebelum merdeka, selagi masih dijajah asing, sudah mengadakan sistem pendidikan nasionalnya sendiri guna menyiapkan orang-orang yang berjiwa merdeka dan siap berjuang merebut kemerdekaan. Sesudah merdeka sekarang adalah wajar sekali bila kita membangun pendidikan yang sistemnya menyiapkan warga untuk berjiwa Indonesia dan mampu membangun negara-bangsa. Kelima, setiap langkah dan proyek pembangunan di mana pun merupakan penerapan Pancasila. Artinya, ia jelas mencerminkan pesan Pancasila tanpa ribut mengucapkannya sebagai lip-service politik semata. Politik bukan demi berpolitik, melainkan demi pembangunan nasional agar tidak menjadi negara gagal.
Oleh: Daoed JOESOEF Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne.
Sumber: KOMPAS, Kamis, 12 Juli 2012, Halaman: 6.