Indeks SRI-Kehati
Indeks SRI-Kehati, Upaya Menyadarkan Pelaku Bursa Tentang Pentingnya Isu Sustainability
Tiga tahun lalu BEI bekerja sama dengan Yayasan Kehati meluncurkan indeks saham lembaga-lembaga prolingkungan bernama Indeks SRI-Kehati. Apa tujuan kehadirannya dan bagaimana seleksinya? Mengapa masih cukup banyak pelaku bursa yang belum menjadikannya sebagai patokan untuk berinvestasi?
Siapa bilang perhatian terhadap lingkungan tidak berpengaruh terhadap daya tarik saham di bursa. Sebab, bila lembaga anda tak memperhatikan aspek lingkungan, jangan harap bisa masuk dalam Indeks SRI-Kehati.
Buat kalangan awam, dan juga sebagian investor dan pelaku bursa, nama Indeks SRI-Kehati memang belum sepopuler Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagai indeks komposit, maupun indeks khusus lainnya semacam LQ45 (indeks 45 saham yang paling likuid) ataupun Jakarta Islamic Index yang merupakan indeks saham syariah.
Indeks SRI-Kehati dibuat atas kerja sama Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati), yayasan pengelola endowment fund dibidang pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati. Indeks yang berisi 25 saham di BEI ini pertama kali diluncurkan pada 8 juni 2009. Nama SRI-Kehati mengacu pada tata cara pengelolaan lembaga yang bersifat Sustainable and Responsible Investment (SRI).
Menurut M.S Sembiring, Direktur Eksekutif Kehati, sebenarnya Kehati sudah merancang instrumen investasi saham dari emiten yang peduli lingkungan ini pada 2008. Tujuannya adalah mendukung usaha yang menjaga kesinambungan kekayaan alam lewat jalur pasar modal. Indeks ini, diakatakan Sembiring, merupakan panduan masyarakat yang ingin membeli saham emiten yang prolingkungan.
Ketika indek ini digagas dan akhirnya diluncurkan pada 2009, kebetulan Sembiring masih menjadi salah seorang direktur di BEI. “Dari 440 organisasi yang tercatat di BEI, disaringlah 25 organisasi untuk masuk kedalam ke dalam indeks SRI-Kehati,” ujarnya. Angka 25 organisasi ini masih dipertahankan sampai sekarang. Tentu saja, seperti indeks lainnya, dalam perjalanan sekitar tiga tahun ini, ada yang berganti. Namun, menurut Sembiring, yang berganti (keluar atau masuk) dalam tiap periode ini relatif tidak banyak, masih di bawah lima organisasi. Memang, evaluasi terhadap emiten yang masuk dalam daftar Indeks SRI-Kehati secara periode dilakukan dua kali dalam setahun, yakni setiap Februari dan Agustus.
Sembiring menjelaskan, emiten yang ingin masuk dalam Indeks SRI-Kehati bisa dengan mendaftarkan diri (aktif) atau karena diundang. Namun, setelah itu, ada seleksinya. Penyaringan tahap pertama adalah negative screening. Di sini usaha rokok, usaha yang menonjolkan pornografi, dan yang jelas-jelas merusak lingkungan, bagaimanapun baik kinerjanya, langsung dikeluarkan.
Selanjutnya, karena indeks ini diharapkan menjadi instrumen investasi, lembaganya tidak boleh terlalu kecil, sehingga muncullah pembatasan asetnya minimal Rp 1 triliun (berdasarkan laporan keuangan tahunan yang diaudit), dengan price to earning ratio (PER) positif, dan free float ratio (porsi kepemilikan saham publik) minimal 10%.
Kemudian, masuklah para emiten ini ke dalam seleksi berdasarkan indikator dari enam kriteria yang telah dipatok oleh Kehati (lihat Boks). Menurut Sembiring, indikator-indikator dari enam faktor/ kriteria tersebut dibuat oleh konsultan independen asal Inggris yang berkantor di Singapura bernama OWW. Adapun yang menilai adalah sebuah komite independen.
Dari sana, menurut Sembiring, sebenarnya muncul 140 organisasi. Namun, karena yang diinginkan adalah indeks untuk instrumen investasi, dilakukan uji statistik untuk mencari berapa emiten yang bisa mewakili pergerakan saham 140 organisasi ini. Dari sini muncullah angka 25 emiten. Sebagai perbandingan, rata-rata satu instrumen reksa dana mencakup 15-20 emiten dalam portofolionya.
Ismid Hadad, Ketua Dewan Pembina Kehati, menambahkan bahwa maksud pembuatan indeks ini adalah mendorong organisasi agar ramah lingkungan (environmental friendly). Dasarnya adalah konsep 3P (people-planet-profit) yang merupakan basis pembangunan berkelanjutan. Secara global, dikatakan Ismid, sebenarnya sudah ada kriteria hingga indikator dan metriknya yang dibuat oleh lembaga independen Global Reporting Initiatives (GRI) yang berpusat di London. “Mungkin kalau kita ikuti semua secara rigid, usaha di Indonesia tidak ada yang lolos,” kata Ismid. Karena itulah, ketika indeks SRI-Kehati ini didesain, indikatornya dibuat lebih longgar. “Ada unsur edukatifnya, agar peserta terdorong untuk mengikuti kriterianya,” katanya lagi. Menurutnya pula, selama ini indikator untuk sustainability index ini umumnya diterapkan di negara-negara maju seperti di (bursa) London, New York dan Tokyo.
Bagaimana respons pasar setelah Indeks SRI-Kehati berjalan tiga tahun? Sembiring mengklaim respons publik cukup baik. “Jika kita membandingkan Indeks SRI-Kehati dengan LQ45 ataupun Jakarta Islamic Index, Indeks SRI-Kehati rata-rata berkinerja 10% lebih baik,” ujarnya. Maksudnya, publik memberikan apresiasi lebih tinggi 10% dibandingkan lembaga-lembaga yang tidak masuk ke Indeks SRI-Kehati.
Menurut perhitungan Agus B. Yanuar, Presdir Samual Assets Management (SAM), organisasifund management, daftar 25 saham yang masuk dalam Indeks SRI-Kehati telah mencerminkan 53% dari total bobot IHSG, 78% dari bobot Indeks LQ45 dan 79% dari bobot Jakarta Islamic Index. Kebetulan, tambah Agus,SAM juga mengelola produk-produk investasi Syariah, sehingga pilihan di dalam portofolionya secara tidak langsung juga ada emiten-emiten SRI-Kehati, kecuali emiten perbankannya. Dari sisi imbal hasil pun, dari Juni 2009 hingga Mei 2012, menurut pengamatan Agus, Indeks Kehati naik sekitar 75% tidak jauh dari IHSG yang naik 90%.
Agus menuturkan, dalam proses pengambilan keputusan investasi selaku flund manager, selain ukuran-ukuran kuantitatif (seperti PER, pertumbuhan laba emiten, dividen, potensi capital gain, dan likuiditas transaksi sahamnya di bursa), pihaknya juga mempertimbangkan faktor kualitatif emiten tersebut, antara lain sektor dan jenis usaha emiten, pemegang saham, kualitas manajemen, tata kelola lembaga, dan sikap lembaga terhadap lingkungan. “Jadi, meskipun bukan pertimbangan utama, sikap emiten yang ramah lingkungan juga menentukan layak-tidaknya emiten tersebut menjadi portofolio investasi. Bila ada dua emiten yang secara kuantitatif sama, kami memilih yang ukuran kualitatifnya lebih baik,” Agus menegaskan.
Pengalaman SAM sendiri, dilihat dari fact sheet reksa dananya per akhir Mei 2012 Top 5 bahkan Top 10 portofolionya merupakan saham-saham yang masuk ke dalam Indeks SRI-Kehati. “Jadi, boleh dikatakan kami sangat sering bersinggungan dalam memilih saham-saham tersebut. Dan sebagaimana terlihat dari imbal hasil historisnya, reksa dana yang kami kelola tersebut termasuk yang terbaik di kelas masing-masing,” kata Agus mengklaim.
Namun tampaknya masih cukup banyak pelaku bursa yang belum mengetahui atau memahami kehadiran Indeks SRI-Kehati. “Saya sendiri belum tahu apa fungsinya dan bagaimana kriteria untuk masuk Indeks SRI-Kehati,” ujar Lanang Trihardian, analis PT Syailendra Securities, dengan terus terang. Ia mengakui, kehadiran Indeks SRI-Kehati yang berbasis pada sustainable development memang bagus. Namun, menurut pengamatannya, cukup banyak pelaku pasar modal yang tidak terlalu aware dengan indeks ini. “Investor sebenarnya sudah sadar pentingnya sustainable development, tetapi bukan karena Indeks SRI itu,” katanya beropini. “Sebagai orang lapangan, saya sih terus terang belum merasakan pengaruh dari Indeks SRI-Kehati.”
Secara pribadi, Lanang mengaku tidak suka dengan organisasi yang memperoleh untung besar tetapi merusak lingkungan dan menekan buruh. “Sebab, usaha seperti itu tidak akan sustain,” ujarnya. Menurutnya, lembaganya juga mengelola investasi bukan untuk jangka pendek melainkan pada emiten yang memikirkan keberlanjutan bisnisnya. “Tetapi saya belum melihat investor memandang indeks SRI-Kehati itu sebagai patokan,” katanya. Menurutnya, ini agak berbeda dengan Jakarta Islamic Index yang punya fungsi jelas, yakni sebagai patokan mereka yang ingin berinvestasi di bisnis berbaris syariah. “Mungkin karena belum ada promosi yang cukup kuat untuk indeks SRI-Kehati ini,” katanya memperkirakan.
Pihak pengelola Yayasan Kehati tampaknya menyadari kekurangan seperti ini. Menurut Sembiring, tantangannya pihaknya adalah bagaimana memberikan informasi dan kesadaran bahwa organisasi-organisasi yang masuk indeks SRI-Kehati dinilai 10% lebih tinggi dibandingkan yang tidak. “Ini suatu apresiasi, tetapi masalahnya publik tahu tidak,” ujar Sembiring mengakui.
Menurut Sembiring, tantangan pihaknya adalah bagaiman membuat Indeks SRI-Kehati bisa dikenal lebih luas oleh publik. “Bagaimanapun, lembaga-lembaga (yang masuk indeks SRI-Kehati) ini bisa jadi model dan bisa ditiru lembaga lainnya.”
Agus B. Yanuar sepakat. “Seperti halnya Samual Assets Management, nasabah yang kami layani pun banyak yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan sosial, sehingga kami bisa bersinergi memilih emiten yang peduli sosial dan lingkungan,” ujarnya. Menurut Agus, emiten pun akan untung bila mereka go green, karena prospek usahanya tidak akan terhambat dari sisi masalah lingkungkan dan dari sisi investor.
“Saya rasa adanya indeks SRI-Kehati ini harus terus disosialisasi kepada kalangan emiten dan para pengambil keputusan investasi,” Agus menyarankan. Salah satu manfaatnya, bila daftar sahamnya bertambah, akan lebih banyak pilihan bagi para investor. Disisi lain, Agus juga menyarankan agar pemerintah ataupun otoritas bursa memberikan lebih banyak insentif buat emiten yang prolingkungan, misalnya berupa tambahan insentif pajak dari pemerintah ataupun pengurangan biaya listing tahunan dari pihak pengelola BEI.
“Itu yang memang perlu dibantu,” Sembiring menegaskan.
Oleh: Joko Sugiarsono
Sumber: Majalah SWA, Halaman:64-67.