“Gerakan LSM” sebagai Fenomena Universal
Futurolog John Naisbit dalam bukunya yang terkenal, Mega Trend 2000, meramalkan abad ke-21 akan ditandai oleh maraknya peran LSM di berbagai aspek kehidupan. Ramalan tersebut, rasanya, bukan hanya mendorong kita untuk memahami LSM sebagai fenomena global. Tetapi juga menuntut kita untuk mencari faktor pendorong gejala kemunculan LSM secara lebih jauh dari sudut rekonstruksi realitas global yang kemudian mengalami banyak perubahan pesat yang mendorong perubahan pola dan fokus kegiatan advokasi gerakan LSM di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Terdapat dua aras yang perlu diperhitungkan sebagai faktor pendorong kemunculan gerakan LSM.
Di tingkat mikro yang bersifat mondial, terdapat beberapa realitas yang bersifat kontekstual, namun secara langsung berhubungan dengan fenomena kemunculan LSM di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.
Pertama, LSM sebenarnya merupakan terobosan inovatif dari kaum developmentalis, yang sekaligus bermakna sebagai otokritik terhadap teori-teori modemisasi, yang pada dekade 1960 hingga 1970-an memang sedang dihadapkan dengan kritik-kritik politik pembangunan yang berasal dari pemikiran neo-Marxist. Kelompok terakhir ini menggugat mazhab modernisasi ekonomi dan kapitalisme dunia sebagai sumber penyebab masalah-masalah sosial di negara berkembang.
Di bidang kerja sama ekonomi dan teknis antara Utara dan Selatan misalnya, dominasi peran negara dan pasar telah dikritik sebagai satu penyebab kemiskinan di negara-negara berkembang (Selatan). Ini mendorong negara-negara maju DAC-OECD berkewajiban menyalurkan bantuan pembangunan secara resmi (ODA) sebesar 0,7% dari GNP mereka guna mengatasi masalah-masalah sosial di negara-negara Selatan. Dalam kaitan ini khususnya dalam dekade pembangunan pertama, bantuan pembangunan tersebut didorong untuk disalurkan lewat lembaga-lembaga non-pemerintah, khususnya dengan fokus proyek pengentasan kemiskinan. Maka tidak mengherankan bila pada waktu itu yang muncul LSM developmentalis yang banyak berorientasi pada masalah pembangunan ekonomi masyarakat kecil. Sehubungan dengan ini, di negara-negara berkembang, kritik terhadap pendekatan pertumbuhan ekonomi mulai meluas dalam dekade yang relatif sama. Terdapat ide populis. Maka singkatnya, di negara maju fenomena LSM yang lahir pada dekade 1970-an karena semangat otokritik dari kaum modernis, sementara di negara berkembang seperti Indonesia, ia lebih merupakan intelectual reproduction dari pemikiran-pemikiran populis, yang memang semenjak dekade pertama secara tiba-tiba tergeser oleh peran dominan kaum teknokrat/ekonom, setelah selama pasca kolonialis dan tahap “nation building” menjadi pemain utama di panggung politik di hampir semua negara berkembang seperti di Indonesia.
Gejala universal kedua lebih merupakan resonansi bersifat tidak langsung dari perubahan sosial, khususnya di negara maju dengan gejala kemunculan new social movement berupa gerakan-gerakan berkarakter post modernist. Sejak tahun 1970-an, terdapat kecenderungan yang kuat munculnya sebuah bentuk perlawanan masyarakat, khususnya generasi muda terhadap (1) otoritas negara yang hierarkis dan super regulatif (penolakan terhadap ide omnipotent state) dan terhadap tatanan nilai budaya dan politik yang konservatif; (2) status-quo kelembagaan-kelembagaan sosial dan politik yang direkayasa dan dikooptasi oleh elit negara. Gerakan ini berkaitan dengan pencarian ‘the other world’ serta pemberian perhatian pada “the other voice” yang untuk waktu yang cukup lama memang telah dipaksa diam atau dibungkamkan. Dalam hal ini gerakan-gerakan feminis, enviromentalist, gerakan HAM serta pemberian ruang bagi kelompok-kelompok minoritas termasuk indegeneous people, gerakan solidaritas dunia ketiga, gerakan perdamaian dan antipeperangan adalah bentuk-bentuk gerakan new social movement di negara maju yang muncul lewat bentuk organisasi LSM.
Khusus di Indonesia, kurang lebih terdapat dua faktor internal penting pendorong yang membimbing ke arah kemunculan LSM, yang tentunya secara tidak langsung juga memiliki garis paralel dengan kecenderungan di tingkat universal tadi. Pertama, kemunculan LSM di Indonesia sangat dekat dengan bentuk reaksi perlawanan dari kelompok intelektual perkotaan terhadap konsep pembangunan pemerintah yang elitis serta dominasi dari birokrasi pemerintah sebagai ‘deuelopment setter’.
Kedua, kemunculan LSM juga sangat erat berkaitan pada pencarian bentuk partisipasi politik yang relatif terbebas dari kooptasi negara serta keinginan dari aktivis masyarakat dan kaum intelektual yang berada di luar sistem kekuasaan untuk mempromosikan ide-ide pembaruan, pemberantasan KKN, penguat kontrol sosial masyarakat, serta pengadaan kampanye perubahan-perubahan kualitas hak-hak sipil dan politik.
Dalam kaitan ini, pergeseran pusat perhatian internasional, yang juga tercermin di dalam paket bantuan pembangunan, dari yang bersifat sektoral ekonomis, yaitu pengentasan kemiskinan ke bidang-bidang yang lebih universal namun bersifat struktural. Masalah-masalah seperti perusakan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup, pelanggaran hak-hak azasi manusia di dalam proses pembangunan, alienasi, dan marjinalisasi kaum wanita dan masyarakat lokal (indigenous people) semakin terasa menjadi agenda pokok berikut sasaran aktivitas dan advokasi gerakan LSM di Indonesia sejak pertengahan tahun 1980-an. Dalam hal ini skenario di awal tahun 1970-an kembali muncul.
Sejak pertengahan 1980-an, sistem kapitalis memasuki babak relokasi industri secara regional besar-besaran, sehingga anjuran ‘Bring The State Back In’ sebagian dapat dipandang bertujuan mengamankan relokasi tersebut. Dalam konteks ini, penguatan kembali peran negara ini bersama sektor swasta juga ternyata dibarengi oleh desakan yang bersifat universal untuk mengakomodir kritik-kritik akibat biaya-biaya sosial dan politik dari ekonomi pasar kapitalistik berupa pelanggaran HAM, eksploitasi kaum pekerja dalam hubungan produksi serta perusakan lingkungan yang kemudian kita lihat melahirkan wawasan baru yaitu konsep “sustainable deuelopment”. Berkat kemajuan teknologi informasi, cara pandang one world perspectives semakin menguat dan memungkinkan masalah-masalah mikro dapat teradvokasi ke tingkat nasional dan bahkan ke panggung internasional oleh gerakan LSM yang mengandalkan pola organisasi yang berbasis pada jaringan kerja (networking).
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 86-89.