Gaya Manajemen Modern WVI
Kendati merupakan organisasi nirlaba, WVI dikelola secara profesional sebagaimana organisasi modern. Balanced Scorecard pun diterapkan. Apa yang Anda bayangkan begitu mendengar kata lembaga swadaya masyarakat (LSM)?
Maaf, masih banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa LSM atau non-governmental organization (NGO) adalah yayasan yang tidak well managed, tidak transparan, dikelola sekelompok orang radikal, antikemapanan, suka mengkritik pemerintah dengan berapi-api, menjadi corong kepentingan asing, merupakan sumber pendanaan asing, serta getol mengusung isu kemiskinan untuk menggalang dana. Namun, pendapat sinis itu tidak seratus persen benar.
Beberapa LSM berhasil membuktikan sepak terjangnya tidak melenceng dari visi dan misi yayasan nirlaba. Salah satunya, World Vision Indonesia (WVI). Walaupun belum ada aturan baku tentang good NGO governance, WVI berusaha mengelola internal lembaganya seperti modern corporation yang memperhatikan kepentingan stakeholder dan shareholder.
Potret kesuksesan WVI setidaknya tergambar dari besarnya dana kelolaan. Lihat saja, hingga tahun 2009 WVI mengelola dana US$ 23 juta. Sementara dana World Vision global terkumpul US$ 3 miliar. Lalu, dalam hal pemberian kompensasi ke karyawan, WVI dikenal standarnya lebih tinggi ketimbang LSM lain dan sudah menerapkan Balanced Scorecard (BSC) untuk mengukur kinerja karyawan.
Anda pasti bertanya-tanya bagaimana WVI mengelola organisasinya sehingga menuai hasil memuaskan. Nah, sebelum panjang lebar membahas best practise manajemen WVI, perlu diketahui sejarah keberadaan serta visi-misinya.
WVI adalah LSM jaringan World Vision asal Amerika Serikat yang didirikan oleh Dr. Robert Pierce tahun 1950. Sebagai pemimpin Kristen dan pembuat film, Pierce tergerak oleh dampak kemiskinan dan Perang Korea terhadap kehidupan anak-anak yang menderita.
Di Indonesia, pelayanan World Vision dimulai tahun 1960 saat membuka kantor perdananya di Batu, Malang, Jawa Timur. Beberapa sukarelawan berperan aktif dalam mengelola LSM tersebut di bawah pengawasan German Eddey yang dikenal sebagai direktur WVI pertama. Kala itu pelayanan difokuskan untuk penyediaan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak di sejumlah panti asuhan di Jawa.
Oleh : Eva Martha Rahayu
Sumber : Buletin SWA, Kamis, 7 Januari 2010