Fasilitator itu Seharusnya Memudahkan
Fasilitasi itu dari kata “facilitation”, berasal kata dari bahasa perancis yaitu “facile” artinya easy atau mudah. Pada dasarnya fasilitasi adalah membuat sesuatu menjadi mudah. Melalui fasilitasi, seorang fasilitator membantu partisipan (sekelompok orang) mengeluarkan pengetahuan (dari pengalaman mereka) dalam sebuah proses untuk menghasilkan sesuatu (kapasitas/pengetahuan meningkat, risalah perencanaan, evaluasi hasil dsb).
Oleh karenanya seorang fasilitator sering disebut pelancar proses, krena seharusnya fasilitator membuat proses lebih mudah jika dibanding proses konvensional seperti pada rapat-rapat umum, diskusi terbuka, dll.
Yang disebut kerja fasilitasi itu sebenarnya sebatas memandu, mengelola dan mendorong sebuah proses diskusi sedemikian rupa sehingga lebih nyaman dan mudah mencapai tujuan. Karenanya yang ditangani fasilitator adalah kombinasi dari komunikasi dan psikologi proses diskusi. Fasilitator beda dengan edukator atawa trainer. Trainer mengemban misi “mendidik” atau “memberi pesan” tertentu sebagai “tujuan utama”. Tapi proses fasilitasi menghasilkan “akibat” makna edukasi dalam diskusi. Maka diskusi yang terfasilitasi sering disebut sebagai pembelajaran bersama atau social learning. Teorinya begitu.
Hanya saja yang banyak dipelajari oleh fasilitator pada umumnya adalah “teknik-teknik fasilitasi” yang kadang malah melupakan prinsip-prinsip fasilitasi. Teknik fasilitasi memberikan titik tekan lebih pada teknik komunikasi dalam memandu diskusi, misalnya : encouraging, brainstorming, balancing, framing, sequencing, making space, reflective listening dan sebagainya. Padahal, sekali lagi, semua itu cuma cara, bukan esensinya.
Esensinya apa? Saya percaya pada pendekatan 4 tipologi situasi dalam fasilitasi, yaitu:
1. aku tahu, kamu tahu = fasilitator sekaligus sebagai moderator
2. aku tahu, kamu tak tahu = fasilitator sekaligus sebagai narasumber
3. aku tak tahu, kamu tahu = fasilitator sekaligus sebagai motivator
4. aku tak tahu, kamu tak tahu = fasilitator sekaligus sebagai mediator
Nah, masalah dilematis yang kadang muncul adalah pada poin nomor 2, di mana fasilitator sebagai narasumber, dalam tipologi aku tahu kamu tidak tahu. Fasilitator adalah manusia biasa, dia punya tendensi pada pengetahuan atau ideologi tertentu. Sengaja tidak sengaja dia melakukan “framing” terhadap ide yang disaring dari partisipan, bahkan balancing untuk ide yang tidak selaras dengan “pengetahuan atau ideologi” sang fasilitator. Inilah “kuasa” dari fasilitator, dia bisa menentukan arah dan hasil dalam lindungan statusnya.
Jika pada tipologi lainnya, ketika fasilitator membawa pesan maka akan pasti tersandung dalam proses. Kalau pun dianggap berhasil (lewat framing dalam diskusi) maka hasilnya tidak akan diakui sepenuhnya sebagai produk bersama, pasti karena ada keterpaksaan baik karena dominasi atau tekanan waktu (waktu habis).
Tujuan sebuah forum akan menjadi penentu, misalnya pelatihan, perencanaan, evaluasi. Forum-forum multistakeholder seringkali banyak ditandai dengan keberagaman partisipan dan tentu saja juga keberagaman ekspektasi, kapasitas dan motivasi dari masing-masing pihak. Pada prakteknya kemudian cenderung terjadi dominasi satu pihak terhadap lainnya.
Dalam situasi itu kadang fasilitator keluar ‘nafsu manusiawi’nya, untuk memotong jalur kerumitan dengan framing atau balancing, apalagi kalau waktunya terbatas. Tapi secara prinsip “pesan” sebenarnya sudah ada di dalam diskusi, dan fasilitator hanya akan memperkuatnya saja, dengan menimbang psikologi proses, komposisi ide dan peta kekuatan pengetahuan partisipan yang diselaraskan dengan tujuannya.