Fasilitasi Lokakarya Membangun Kemitraan antara Perusahaan dan LSM dalam Program CSR untuk Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 25 Maret 2015
UU No. 40 thn 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Pasal 74 menjelaskan kewajiban bagi PT yang mengelola sumber daya alam untuk melakukan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang disebut tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL).
Peraturan lain yang mewajibkan CSR adalah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007, tentang penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri, maupun penanaman modal asing. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban malaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara BUMN No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan BUMN Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan juga sebetulnya mengatur mengenai kewajiban untuk memanfaatkan dana dari sebagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pengembangan masyarakat. Namun, Pemerintahan baru saat ini telah membuat kebijakan dana CSR BUMN digunakan untuk pembiayaan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS).
Untuk berbagi pengalaman, HCPI mengadakan Lokakarya pada 25 Maret 2015 yang bertemakan Membangun Kemitraan antara Perusahaan dan LSM dalam Program CSR untuk Kesehatan Masyarakat, yang dihadiri oleh Team Leader HCPI dan lembaga-lembaga lain.
Simon Field team leader HCPI memberikan kata sambutan, beliau berharap lembaga-lembaga yang menjadi mitra HCPI dapat mandiri tanpa harus selalu bergantung kepada lembaga donor dan program dari masing-masing lembaga dapat berjalan dan berkelanjutan untuk kedepannya.
Pengembangan unit usaha produk dan jasa untuk keberlanjutan organisasi dan pengembangan masyarakat, merupakan materi sesi pertama yang dibawakan oleh Putu Oka Sukanta, salah satu seniman sastra, wartawan dan aktif dalam masalah penanggulangan HIV/AIDS mengelola Taman Sringanis, sebuah gerakan kebudayaan dalam bidang kesehatan yang berlokasi di Cipaku Bogor. Taman sringanis mempunyai program perawatan, dukungan dan pengobatan komprehensif untuk HIV/AIDS, ini merupakan bentuk dukungan untuk orang terinfeksi HIV dan tidak hanya sekedar pengadaan obat tetapi juga bagaimana mengembangan pola hidup sehat, dukungan keluarga dan lingkungannya untuk tetap sehat dan produktif. Dalam pengelolaanya Taman Sringanis lebih bersifat non-profit atau tidak mencari keuntungan, dengan menjual produk-produk herbal warisan dari leluhur kepada masyarakat ekonomi menengah kebawah.
Tentu saja dengan harga jual yang relatif murah dan sangat terjangkau. Dan Putu Oka Sukanta berkata bahwa Taman Sringanis ini dikelola dengan sangat nyata, transparan dan diatur sendiri oleh beliau. Bentuk dari Taman Sringanis bukanlah yayasan dan itu bukanlah hal yang penting ujar beliau. Dengan melakukan pendampingan khusus kepada warga binaan ODHA (Orang dengan HIV) memberikan dampak yang sangat positif karena mereka diberikan pelatihan dasar tentang tanaman obat dan kesehatan lingkungan. Tidak hanya itu saja Taman Sringanis juga menyediakan klinik layanan kesehatan tradisional untuk masyarakat dilingkungan sekitar.
Peluang dan tantangan melaksanakan program HIV/AIDS ditempat kerja, materi kedua yang dibawakan oleh Dokter Adi Sasonko, Direktur dari Yayasan Kusuma Buana. Beliau menjelaskan bahwa lebih dari 80% HIV/AIDS menjangkau usia kerja (20–49 thn), untuk itu diperlukan penanggulangan HIV/AIDS ditempat kerja. Yayasan yang didirikan pada tahun 1980 sudah banyak memberikan penyuluhan kesehatan terutama kesehatan reproduksi. Dan sudah banyak bekerja sama dengan perusahaan swasta di Indonesia. Untuk bisa bekerjasama dengan perusahaan swasta memang diperlukan dedikasi dan komitmen bersama apalagi dengan perusahaan yang mempunyai program CSR.
Kompetensi dari lembaga sangatlah penting dan memerlukan perubahan mind set karena dunia usaha merupaka sektor formal yang karakteristiknya berbeda dengan populasi kunci. Profit orientation vs Social orientation, ketertutupan dunia usaha, merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh lembaga seperti LSM untuk bekerjasama dengan kalangan dunia usaha. Lalu bagaimana LSM mendekati dunia usaha? Dengan kontak langsung, melalui jejaring social bahkan hubungan personal (pribadi) bisa menjadi salah satu pintu masuk untuk bisa menjalin kerjasama.
Memanfaatkan payung kebijakan ‘Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 13/SE/M /2012 tentang Program Penanggulangan HIV dan AIDS pada Sektor Konstruksi di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum. Untuk mensosialisasikan kepada dunia usaha pentinganya kesehatan dan pola kerjasama bisa dibangun dengan menyediakan jasa layanan kesehatan dilingkungan tempat bekerja. Bekerjasama dengan dunia usaha membuka peluang bagi organisasi untuk tetap terus berkelanjutan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS.
Strategi menangkap peluang kemitraan dengan sektor swasta, sesi materi terakhir yang dibawakan oleh Eko Komara, Direktur Yayasan Penabulu Alliance. Dalam kesempatan ini beliau menjelaskan tentang riset yang telah dilakukan oleh Yayasan Penabulu pada tahun 2013 silam. Dan hasil riset tersebut mengatakan bahwa setiap tahun dana CSR terus meningkatkan, data didapatkan dari Annual Report dan Sustainable Report situs resmi perusahaan yang ada di Indonesia. Dan mengapa dana CSR tiap tahun terus meningkatkan? peningkatan pendapatan perusahan, peraturan dari pemerintah, kecenderungan isu-isu baru serta iklim kompetisi diantara perusahaan merupakan bagian dari peningkatan dana CSR tiap tahunnya.
Eko Komara juga menjelaskan bagaiamana membuat strategi kemitraan dengan perusahaan atau dunia usaha. Pemetaan peluang, pengembangan produk dan komunikasi dalam pemasaran juga diperlukan untuk terus mendorong lembaga seperti LSM dapat berkembang dan mempunyai reputasi yang baik. Dengan membaca kebutuhan dari dalam dan dari luar, membangun jejaring baru, serta saling berkolaborasi dapat membuka peluang setiap lembaga untuk bisa bekerjsama dengan perusahaan dalam program CSR.