Era Pengetahuan Membutuhkan Organisasi Baru
Buku ini ditulis dengan diilhami oleh adanya suatu kenyataan bahwa mayoritas perusahaan bisnis yang ada di dunia memiliki umur yang pendek. Penelitian Peter Senge (1990) menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan kelas dunia (world class) dan masuk dalam Fortune 500, memiliki umur rata-rata antara 40 – 50 tahun, artinya secara rata-rata hanya berumur sampai dua generasi. Selanjutnya, Arie de Geus (1997) melakukan penelitian pada perusahaan-perusahaan yang berumur di atas 200 tahun, ia menemukan karakteristik umum penyebab pendeknya umur perusahaan, terutama karena perusahaan tersebut tidak mampu belajar atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan zaman, sehingga mengecewakan konsumen, dan pada akhirnya “mati” karena kehilangan pasar atau tutup karena ditolak oleh masyarakat dan lingkungannya.
Dengan alasan yang sama namun dalam konteks yang berbeda yaitu konteks dunia bisnis nasional, peristiwa bangkrutnya perusahaan secara masal juga terjadi di lndonesia terutama pada periode 1998-1999, yaitu periode dimana kondisi ekonomi nasional mengalami over heating, sehingga nilai rupiah jatuh dari sekitar $1= Rp 2.500,-, menjadi tinggal 1/6-nya, yaitu sekitar $1= Rp 15.000,-. Pada periode yang relatif singkat tersebut, ratusan bahkan mungkin ribuan perusahaan bisnis nasional dari kelas konglomerat sampai perusahaan kecil mengalami kebangkrutan atau “mati suri” secara masal, karena mereka tidak mampu belajar dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan. Kebanyakan perusahaan-perusahaan di lndonesia sampai buku ini ditulis (2006) masih belum mampu belajar dari kesalahan masa lalu, sehingga belum mampu berubah mengikuti tuntutan zaman.
Saat ini kita berada pada zaman globalisasi – artinya zaman menuntut seluruh perusahaan di dunia untuk mampu menerima muatan-muatan global untuk diserap ke dalam organisasinya, dan sekaligus mampu mengglobalkan muatan-muatan lokal, sehingga dapat diterima oleh masyarakat di seluruh dunia. Saat ini, kita dituntut untuk mampu menciptakan kesejahteraan secara global, bukan hanya kesejahteraan lokal saja.
Untuk menciptakan kesejahteraan global, kita membutuhkan tatanan-tatanan organisasi yang mampu memelihara nilai maupun prinsip-prinsip yang universal (global) sebagai landasan untuk membangun dunia yang aman dan sejahtera bagi semua mahluk bumi. Ini berarti, masyarakat dunia dituntut untuk menjadikan organisasinya agar mau dan mampu menerima dan menyesuaikan nilai-nilai organisasinya untuk menjalankan prinsip-prinsip universal.
Jika kita belajar dari apa yang menjadi kenyataan sampai saat ini, tampak bahwa sebagian besar organisasi bisnis, pemerintahan dan bahkan organisasi sosial yang ada di Indonesia sekarang cenderung mengucilkan diri dan bahkan cenderung “menolak” prinsip-prinsip nasional, apalagi prinsip-prinsip dunia. Dengan digulirkannya konsep otonomi daerah, telah menciptakan gerakan yang kontradiktif dengan arah globalisasi. Otonomi daerah telah menyeret organisasi pemerintah, sosial atau bisnis yang ada di daerah, untuk lebih menonjolkan semangat dan kepentingan daerah yang cenderung sempit, cenderung menutup dan/atau mengucilkan diri dari tatanan nasional, dan cenderung mengabaikan kehadiran tatanan global. Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa bangsa kita belum siap untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman. Sikap introvert ini sebenarnya merupakan suatu kemunduran, karena hal ini bertentangan dengan makna Sumpah Pemuda dengan motto “Bhineka Tunggal Ika“, yang berarti bahwa sejak kemerdekaan, Bangsa Indonesia memiliki kesadaran akan pentingnya keanekaragaman, dan untuk itu kita harus peduli akan pentingnya memperhatikan tatanan nasional maupun global, dan kita harus yakin bahwa Bangsa Indonesia hanya akan maju dan berkembang jika mampu mempertahankan keanekaragaman ini.
Mengapa keanekaragaman itu penting? Mari kita belajar dari contoh kehidupan yang ada di alam – misalnya hutan. Hutan yang baik adalah hutan yang memiliki keanekaragaman, yang dihuni oleh berbagai jenis pohon bersama binatang maupun seluruh organisme hidup sebagai penghuninya, dimana antara satu dan lainnya memiliki peran tersendiri dan bekerjasama dengan harmonis membentuk ekosistem yang seimbang – sehingga jika ada penyakit yang menyerang pada salah satu pohon atau binatang yang ada di hutan tersebut, maka pohon atau binatang lainnya akan selamat dari kepunahan dan dalam jangka panjang akan saling menyelamatkan untuk menjamin kelestarian dari hutan tersebut.
Sebaliknya jika hutan itu seragam, hanya ada satu jenis pohon atau hanya dihuni oleh satu jenis binatang, maka jika ada penyakit yang menyerang pohon atau binatang tersebut, otomatis pohon dan binatang tersebut akan punah bersama hutannya. Dengan analogi ini, pertumbuhan suatu organisasi atau bahkan suatu masyarakat akan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk menciptakan kebhinekaan dan memelihara keanekaragaman dalam suatu kesatuan. Setiap manusia memiliki perbedaan, dan tentunya memiliki kelebihan serta kekurangan. Organisasi atau masyarakat yang baik adalah mereka yang mampu mensinerjikan berbagai perbedaan yang ada dalam anggotanya, sehingga dapat dicapai nilai maksimal dari adanya kelebihan masing-masing dan sekaligus meminimasi dampak dari berbagai kelemahan para anggotanya.
Sumber: Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajaran, Penulis: Jann Hidayat Tjakraatmadja, Donald Crestofel Lantu, Hal: 9-11.