Eksploitasi Air Bawah Tanah
Jakarta merupakan kota metropolitan tempat berpusatnya akifitas pemerintahan, ekonomi, bahkan hiburan di Indonesia. Padat penduduk identik dengan Kota Jakarta. Setiap tahun, populasi di Jakarta makin meningkat dan mendorong peningkatan daerah terbangun. Pada tahun 2006, dikutip melalui BPS Jakarta (2007) melalui Abidin et al (2009), densitas penduduk di Jakarta mencapai 13500 orang/km2 dan mengangkat Jakarta menjadi kota terpadat penduduk di Indonesia. Pada tahun 2006 tersebut pula, tercatat telah terdapat 306 hotel, 1955 pabrik, dan 62 mall. Sedangkan pada tahun 2013, jumlah mall telah meningkat mencapai 173 mall. Terlihat bahwa jumlah bangunan komersial telah meningkat jumlahnya dengan pesat.
Padat penduduk dan terdapat bangunan, pasti akan lekat akan kebutuhan air bersih. Kebutuhan air bersih dapat saja di suplai oleh PDAM di Jakarta, namun adanya perbedaan tarif yang cukup jauh antara untuk kebutuhan air bersih perumahan dan komersial, mendorong pemilik bangunan komersil (perkantoran, hotel, mall, maupun pabrik) lebih memilih untuk membuat sumur air tanah sendiri. Pilihan ini dianggap lebih menguntungkan daripada harus membeli air dari PDAM. Dimana tarif air untuk perumahan adalah Rp 1.050,- per m3 sampai dengan Rp 6.825,- per m3 dan untuk kebutuhan komersil adalah Rp 6.825,- per m3 sampai dengan Rp 14.650,- per m3 (Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2007 Tanggal 15 Januari 2007). Cukup dengan investasi awal untuk membor sumur dan membeli pompa, maka mereka telah dapat mengakses air bersih. Air tanah merupakan sumber air tawar yang terjamin kualitasnya (terutama air tanah dalam) namun kuantitasnya terbatas. Untuk dapat membangun sumur, pemilik bangunan harus menyatakan jumlah sumur yang akan dibuat dan memenuhi syarat-syarat yang tidak mudah. Saat ini, tahun 2014 telah terdaftar 4008 sumur air tanah yang resmi.
Kondisi yang disayangkan adalah sekitar 50% atau lebih sumur air tanah baik dangkal maupun sumur air tanah dalam yang dibuat merupakan sumur illegal dan tidak terdaftar. Penggunaan sumur air tanah yang illegal ini yang menyebabkan pengambilan air tanah melebihi batas dan diluar perhitungan dari pemberi izin. Oleh karena itu, diperlukan penegakan hukum dan inspeksi sumur illegal di Jakarta untuk memerangi pencurian air tanah.
Intrusi Air Laut
Menurut Notodarmojo (2005), intrusi air laut merupakan proses masuknya air laut menggantikan air tawar di dalam air tanah. Pengambilan air tanah yang berlebihan terutama pada daerah pantai menybabkan permukaan air turun, sehingga tekanannya pun menurun. Air laut kemudian akan masuk ke dalam akifer (lapisan air tanah) yang semula berisi air tanah yang bersifat tawar. Intrusi air laut ini menyebabkan air tanah menjadi turun kualitasnya sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi oleh masyarakat karena memerlukan upaya pembersihan dan dekontaminasi yang biayanya cukup mahal. Pada tahun 2010, telah dilaporkan bahwa wilayah DKI Jakarta terkena intrusi air laut mencapai 10 kilometer dari pantai, diidentifikasi dari air sumur warga yang memang berwarna bening namun rasanya payau. Menurut peneliti utama dari Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof. Dr. Otto SR Ongkosongo (2010) melalui Wisnubrata (2010), kedalaman intrusi air laut di Jakarta berkisar 100 – 200 meter di bawah permukaan tanah, dan intrusi ini bersifat permanen.
Land Subsidence
Land subsidence atau amblesan tanah merupakan proses penurunan muka tanah terhadap datum tertentu. Penyebab utama amblesan tanah ini dikutip dari Suripin (2003) adalah pengambilan air tanah yang berlebihan. Fenomena ini sering terjadi di kota-kota besar yang juga didukung oleh adanya tekanan dari bangunan-bangunan. Hal ini mengakibatkan beberapa bagian kota berada di bawah muka air laut. Kerugian ini akan menimbulkan dampak lain seperti terganggunya sistem drainase dan meningkatnya genangan banjir. Hal ini yang juga memperparah genangan banjir di Kota Jakarta 3 tahun terakhir.
Land subsidence merupakan fenomena yang nyata di Jakarta seperti yang telah dilaporkan oleh Dinas Pertambangan Jakarta. Amblesan tanah telah terjadi di berbagai wilayah terutama di Jakarta Pusat sejak tahun 1993. Disebutkan bahwa ketinggian Jakarta Pusat terhadap muka air laut adalah 3,42 meter pada tahun 1993, namun anjok sampai pada angka 102 sentimeter di atas muka laut.
Sumber: Kompasiana, Sabtu 19 April 2014.