Ekonomi Hijau untuk Bumi
Setelah Konferensi Pembangunan Berkelanjutan Rio+20 berakhir Juni lalu, apa yang kemudian bisa kita lakukan untuk mengubah perilaku manusianya?
Kenyataan menunjukkan, meski sudah lebih dari 40 tahun Hari Bumi diperingati dan 20 tahun pasca-pertemuan Rio yang melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, dunia masih menghadapi dua tantangan besar: bagaimana memenuhi kebutuhan kesejahteraan manusia sekaligus menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan yang menopang kehidupan.
Dengan jumlah manusia yang terus meningkat, Bumi mengalami tekanan berat sebagai dampak dari kegiatan ekonomi yang tidak memedulikan lingkungan. Ekonomi keserakahan selain menghasilkan krisis ekonomi dan finansial, juga telah menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan, pengurasan sumber daya alam, serta pencemaran air dan udara. Akhirnya memiskinkan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam dan lingkungan.
Kemajuan yang merusak
Meski produk domestik bruto dunia tahun 2011 sudah mencapai 77,2 triliun dollar AS, lebih dari 900 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Worldwatch Institute, PDB itu telah menimbulkan ”stres” pada ekosistem Bumi. Inilah yang disebut David Orr sebagai progress trap atau jebakan kemajuan, di mana tujuan untuk menyejahterakan manusia harus dibayar dengan mahalnya ongkos sosial dan lingkungan.
Jebakan ini pada akhirnya akan menafikan hasil yang dicapai dari kemajuan tersebut sehingga beberapa ilmuwan bahkan mengusulkan upaya perlambatan pertumbuhan (degrowth) dengan menekan konsumsi yang eksesif terhadap sumber daya alam dan lingkungan.
Dalam beberapa dekade persoalan ekonomi dan lingkungan seolah berjalan sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang perspektif lingkungan dianggap sebagai ”pengerem” pembangunan ekonomi. Pola ”growth first, clean up later” merupakan pola pikir yang sering muncul pada perencanaan kebijakan pembangunan, khususnya di daerah-daerah demi pendapatan asli daerah. Urusan ”cuci piring” kerusakan Bumi, urusan belakangan. Paradigma ini harus kita ubah.
Mencari jembatan
Ekonomi dan lingkungan bukan dua hal yang diametrikal. Yang diperlukan untuk menjembatani keduanya adalah mencari ”the right kind of growth”, yakni selain memenuhi pertumbuhan ekonomi, juga mampu memelihara lingkungan bahkan menciptakan pertumbuhan ekonomi baru dari sumber daya alam dan lingkungan tanpa merusaknya.
Inilah esensi dari ”ekonomi hijau” yang sebenarnya. Perubahan paradigma berpikir ini juga penting karena selain adanya krisis lingkungan Bumi, penggunaan kerangka ekonomi konvensional semata untuk mencapai kesejahteraan, telah terbukti gagal menjawab beberapa krisis ekonomi dan finansial yang terjadi. Pembelajaran atas kegagalan inilah yang menimbulkan ”pertobatan internasional” untuk berputar balik, u-turn, terhadap prinsip pembangunan ekonomi.
Di kalangan para pelaku bisnis sekali pun, perubahan pandangan ini telah terjadi karena menyadari keberlangsungan usahanya juga akan tergantung dari kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. David Brower, pelaku bisnis terkemukan di Amerika Serikat, pernah mengatakan, ”There is no business to be done on a dead planet.”
Belakangan hasil survei dari Price Water Cooper tahun 2008 menunjukkan bahwa permintaan terhadap green business akan meningkat 75 persen pada tahun-tahun mendatang. Peningkatan ini juga diikuti oleh respons dari pemerintah dan konsumen, masing-masing 57 dan 52 persen.
Maka, peran ekonomi hijau bagi Indonesia menjadi sungguh strategis. Mengapa?
Pembangunan dengan business as usual tanpa memperhatikan ”ongkos” lingkungan yang harus dibayar terbukti cukup mahal. Studi dari Bank Dunia (Leitmann et al, 2009) memperkirakan, ongkos lingkungan untuk Indonesia 0,5 miliar dollar AS-7,7 miliar dollar AS per tahun berupa kerugian ekonomi, mulai dari erosi lahan, polusi udara, pencemaran air, hingga perubahan iklim. Ongkos ini belum termasuk biaya-biaya sosial akibat kerentanan masyarakat terhadap konflik yang cenderung meningkat belakangan ini.
Ekonomi hijau juga penting untuk mewujudkan kebijakan 7/26 (7 persen pertumbuhan ekonomi dan 26 persen pengurangan emisi gas rumah kaca). Kebijakan tersebut mengindikasikan pentingnya pertimbangan lingkungan. Pengurangan emisi 26 persen dalam konteks ekonomi hijau bukan hambatan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi, sebaliknya bisa menjadi kesempatan baru untuk menciptakan pertumbuhan baru. Misalnya, dari pengembangan energi terbarukan (Shi Zhengron, orang terkaya di China, hidup dari bisnis panel sel surya) dan pemanfaatan instrumen ekonomi lingkungan sebagaimana diamanatkan UU No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup.
Implikasi bagi Indonesia
Demikian juga aset keanekaan hayati milik Indonesia yang sangat besar serta pemanfaatan jasa lingkungan bisa menjadi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi hijau baru bagi Indonesia.
Momentum pengembangan ekonomi hijau saat ini sebenarnya cukup mendukung karena selain ada pengarusutamaan ekonomi hijau di tingkat global, juga ada kesadaran akan lingkungan dan kerangka kebijakan nasional.
Namun, diperlukan political will yang kuat dari pengambil kebijakan, dukungan dari pelaku usaha, masyarakat, dan tentu saja dukungan politik di parlemen agar ekonomi hijau tidak menjadi slogan semata.
Oleh: Akhmad Fauzi Guru Besar Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan; Ketua Program Pascasarjana Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 7 Juli 2012, Halaman: 7.