Ekonomi Hijau: dari Egosentris ke Ekosentris
Produk ramah lingkungan menjadi pembicaraan serius dalam pertemuan tingkat menteri APEC di Vladivostok yang baru saja berlalu (Kompas, 7/9).
Topik jelas terkait dengan pertumbuhan hijau (green growth) dan juga konsep ekonomi hijau (green economy). Konsep ekonomi hijau inilah yang ramai didiskusikan lima tahun terakhir, terutama sejak Program Lingkungan PBB (UNEP) memunculkannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun membahas hal ini dalam pertemuan Rio+20 Juni lalu.
Munculnya konsep ekonomi hijau tak lepas dari kegagapan dunia menghadapi dampak buruk sistem ekonomi: kerusakan lingkungan, pemanasan global, dan ketidakadilan sosial. Semakin disadari bahwa konsep ekonomi zaman ini adalah ekonomi yang serakah. Inilah konsep ekonomi egosentris.
Konsep ekonomi memang akan selalu dalam tegangan dua wajah. Wajah yang satu egosentris, sedangkan yang lain ekosentris. Kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial menjadi bukti bahwa manusia gagal mencari titik tengah. Dalam konteks ini, apakah konsep ekonomi hijau sudah ada di titik tengah?
Dua wajah ekonomi
Seperti telah disebut, wajah pertama adalah wajah egosentris. Di sini ekonomi hanya dipahami sebagai transaksi dalam skema untung-rugi. Ekonomi ini bertolak dari kenyataan bahwa manusia itu egosentris.
Homo economicus yang mendasari dinamika ekonomi adalah manusia yang cenderung berpusat pada dirinya. Tanpa sifat dasar ini, manusia tidak akan terdorong mencari untung. Dinamika ekonomi tidak akan terjadi. Dengan itu dapat dikatakan bahwa secara naluriah ekonomi memang bersifat egosentris.
Wajah kedua ekonomi adalah wajah ekosentris, yang notabene lama terbenam. Ini wajah klasik karena bertolak dari tradisi lama bahwa ekonomi pada dasarnya adalah aplikasi dari ekologi. Etimologinya menyiratkan hal itu. Ekonomi (Yunani: oikos berarti rumah dan nomos berarti aturan, hukum) adalah pengaturan rumah (tangga), yang tidak bisa dilepaskan dari ekologi (pengetahuan—logos atas oikos).
Wajah ekosentris ekonomi jelas tampak dalam pemahaman bahwa yang termasuk dalam rumah-tangga dunia bukan hanya manusia, melainkan seisi dunia, termasuk tanah, air, dan udara. Ekonomi adalah penataan dan pengelolaan oleh manusia agar ekosistem di bumi tetap terjaga (John B Cobb Jr 1992, Andrew Dobson 1998).
Ekonomi hijau
Konsep ekonomi hijau yang digelindingkan UNEP dipahami sebagai upaya ekonomi yang menjamin hidup manusia dan keadilan sosial sekaligus meminimalkan dampak buruk ekologis serta kelangkaan sumber daya alam. Target yang mau disasar adalah sistem ekonomi dengan emisi karbon rendah, efisiensi sumber daya alam, dan terjaminnya kehidupan sosial.
Ekonomi hijau diharapkan bisa menjembatani dua wajah tadi. Dengan demikian, ke depan, dampak buruk sistem ekonomi yang ada sekarang tidak lagi terjadi atau setidaknya minimal. Konsep ini memunculkan lagi wajah ekonomi yang ekosentris.
Sejauh mana ekosentris? Inilah pertanyaan besarnya. Juliet Schor (dalam bukunya Plenitude: The New Economics of True Wealth. 2010) secara tidak langsung menjawab pertanyaan ini. Ia menyebutkan, ekonomi hijau masih dalam kategori business as usual (BAU), tidak ada perubahan.
Pertama, ekonomi hijau masih mengejar keuntungan dalam ukuran klasik, yaitu lebih bersifat finansial. Kedua, ekonomi hijau masih dilihat dalam sistem ekonomi makro. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa ekonomi hijau belum jauh beranjak dari egosentrisme. Ekosentrisme masih sebatas cakrawala, belum menjadi fokus dan prioritas.
Schor, yang menulis dalam (dan sebenarnya juga ”untuk”) konteks masyarakat Amerika Serikat memberi usulan yang lebih radikal dan aplikatif. Usulannya didasarkan pada dua pengandaian dasar.
Pertama, dinamika ekonomi yang ekologis harus melibatkan setiap pribadi. Gaya dan pola hidup pribadi juga perlu diubah. Dengan dasar ini, ia mengusulkan dua prinsip penting, yaitu merevisi alokasi waktu dan lebih menghargai karya sendiri.
Perbesar waktu luang
Menurut Schor, perlu mengurangi jam kerja dan menambah waktu luang setiap orang agar punya waktu juga untuk membenahi alam dan kohesi sosial. Dengan kedua prinsip ini, ketergantungan orang pada dinamika pasar akan berkurang sehingga pola produksi dan konsumsi juga berubah.
Kedua, kekayaan hidup yang dikejar oleh ekonomi bukan hanya harta materi dan perbaikan finansial, melainkan juga waktu luang, lingkungan yang baik, dan relasi sosial yang juga baik. Itulah ”true wealth” yang dimaksudnya.
Pengandaian ini mendasari dua prinsip berikutnya, yaitu menumbuhkan sikap materialisme yang ”utuh” serta memperbaiki dan memperluas makna investasi. Materialisme utuh berarti secara penuh menghargai semua materi yang ada. Investasi juga memasukkan pentingnya modal sosial. Hal ini lama terlupakan dalam pendekatan ekonomis, padahal memegang peran penting dalam dinamika sosial.
Gagasan Schor di atas memang tidak langsung mengkritik konsep ekonomi hijau, tetapi cukup jelas bahwa lebih radikal. Dari kacamata ekologis, kepedulian dan prinsip-prinsip yang diusulkan memang tampak lebih ekosentris. Dengan kegiatan ekonomis baru itu, manusia diajak menjadi dirinya dalam relasinya dengan yang lain secara lebih utuh. Pun, gagasan Schor menjadi tampak lebih radikal karena ia mencoba merumuskan langkah baru dengan pendekatan dan pengandaian baru.
Meski lahir dari konteks Amerika, gagasannya tetap layak dipertimbangkan untuk Indonesia, khususnya masyarakat perkotaan. Gagasannya bisa mendorong agar ekonomi hijau tidak hanya dijadikan cita-cita dan slogan, tetapi bisa diterapkan. Hanya dengan langkah nyata dan terobosan-terobosan baru ekonomi hijau bisa makin ekosentris dan sungguh menyejahterakan.
Oleh: Al Andang L Binawan Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Sumber: KOMPAS, Selasa, 18 September 2012, Halaman: 7.