Dua Dunia
Ismid bukan politikus. Dia memilih tidak terjun ke politik praktis, walau dia bagian dari eksponen angkatan 66. ‘’Nasib manusia ditentukan oleh gejolak politik. Jika tak tahu perkembangannya, kita akan jadi korban,’’ katanya. Dunia pemikiran dan penerbitan memikatnya. Ismid aktif di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia (IPMI).
Turut mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Ismid terpilih sebagai Kepala Biro Penerangan. Di Harian KAMI, tempat berkarya para intelektual muda yang tak sepaham dengan rezim Orde Lama, ia menjadi Wakil Pemimpin Redaksi. Dia lalu mendirikan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan menjadi Direktur Eksekutif.
Ismid menggagas majalah Prisma, jurnal tri wulanan yang sempat menjadi ajang pemikiran prestisius di Indonesia. Sewaktu di LP3ES itulah Ismid menyunting buku yang kelak banyak diperbincangkan; Catatan Harian Seorang Demonstran, Soe Hok Gie. Belakangan, Ismid banyak aktif di kegiatan lingkungan hidup. Di antaranya menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Penghargaan ‘Kalpataru’.
Namanya ada dalam delegasi Indonesia—dan masuk tim negoisasi—untuk isu pendanaan perubahan iklim di Poznan, Polandia. Di United Nations Development Programme dan Bank Dunia, Ismid pernah duduk sebagai konsultan senior untuk di bidang perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan Indonesia.
“Saat kecil saya tak punya keinginan jadi orang tertentu,” kata lelaki 72 tahun ini. Namun, ketika di SMP, lelaki yang gemar membaca kisah petualangan dan sejarah ini mendadak ingin tinggal di daerah terpencil, misalnya di sekitar hutan-hutan Sumatera. Impian itu agaknya tercapai sewaktu dia LP3ES. Ketika itu Ismid banyak terlibat dalam berbagai proyek pengembangan masyarakat dan berkeliling ke berbagai wilayah terpencil di Indonesia.
Aktivis Dulu, Baru Pemimpin
Rekan-rekan muda Indonesia,
Ketahuilah, bangsa Indonesia butuh Pemimpin. Bukan hanya 10-50 pemimpin yang baik, tapi ribuan bahkan jutaan pemimpin disemua bidang kehidupan masyarakat. Anda mau jadi Pemimpin? Bagus, dan saya dukung niat anda itu. Tapi ingat, pemimpin itu bukan jabatan. Apalagi jabatan formal seperti Bupati, Gubernur, Presiden ataupun Menteri, Anggota DPR dan DPRD. Jadi Pemimpin juga tidak haruspunya kekuasaan politik, atau kekuatan ekonomi. Karena pada hakekatnya, memimpin itu berarti mengabdi. Menjadi pemimpin berarti memilih suatu bentuk pengabdian. Pengabdian buat apa, kepada siapa? Pengabdian buat kepentingan umum, bukan kepentingan diri, keluarga, atau kelompok anda sendiri.
Pemimpin itu juga bukan suatu profesi, tapi lebih merupakan suatu panggilan. Rasa terpanggil untuk berbuat sesuatu, ketika melihat ada yang tidak beres disekitar kita. Panggilan untuk mencoba menolong sesama, untuk melakukan sesuatuyang bermanfaat buat orang banyak, untuk membantu mengatasi masalah dan menjawab tantangan yang dihadapi suatu kelompok masyarakat. Atau panggilan untuk menolak dan melawan ketidak-adilan yang terjadi didepan mata kita. Kalau anda tidak merasa terpanggil seperti itu, tidak terdorong untuk berbuat sesuatu diluar kepentingan anda atau kaum anda sendiri, mungkin anda bukanlah pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini.
Yang kurang disadari adalah bahwa Pemimpin itu berarti tanggungjawab. Bukan kekuasaan, bukan fasilitas, tapi justru orang yang harus menerima beban tanggungjawab dipundaknya. Tanggungjawab pokok seorang Pemimpin adalah bekerja dan mengabdi untuk kepentingan publik, yang jauh lebih besar dan lebih penting dari kepentingan pribadi, keluarga, partai, golongan ataupun suku daerahnya sendiri. Pemimpin yang sanggup berdiri, menegakkan prinsip umum diatas kepentingan semua pihak dan bertanggungjawab atas segala konsekuensinya,itulahciri-ciri pemimpin sejati yang dicari rakyat Indonesia dewasa ini.
Pemimpin seperti itu tidak hadir seketika, tidak pula datang dengan sendirinya. Seringkali ia muncul karena keadaan, karena ada tuntutan obyektif yang mendesak untuk menerobos kebuntuan yang dihadapi. Ada dorongan akan upaya untuk merintis dan membuka pintu, menyingkirkan batu penghalang dan melebarkan jalan yang selama ini tertutup. Saya sendiri dan banyak rekan-rekan lain pernah menghadapi situasi obyektif seperti itu, selaku mahasiswa sekitar tahun 1965-1966, ketika kebebasan kampus dibelenggu danmedia pers, baik koran, majalah, radio dan televisi semuanya dibungkam, diberangus tak boleh menyiarkan tuntutan mahasiswa.Tak boleh menyalurkan suara rakyat dan hanya boleh menjadi corong suara penguasa saja. Ketika itulah saya terpanggil untuk ikut-serta gerakan Angkatan ’66 menegakkan keadilan dan kebenaran yang amat tertekan selama reziem Demokrasi Terpimpin dizaman Orde Lama.
Sebagai aktivis pers-mahasiswa saya bergabung dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang kemudian membentuk Biro Penerangan KAMI Pusat, menerbitkan surat-kabar Harian KAMI, merintis berbagai cara inovatif untukmengembangkan media-media alternatif seperti bulletin non-kampus, radio amatir, radio siaran Non-RRI, pameran keliling foto-foto perjuangan mahasiswa, untuk menerobos monopoli media publik oleh pemerintah denganmenyebar-luaskan informasi dan komunikasi langsung dengan masyarakat luas melalui media alternatif tsb diatas.
Ketikaperjuangan melalui aksi-aksi di jalanan itu berakhir karena reziem Orde Lama telah berhasil digantikan oleh Pemerintahan Orde Baru, banyak diantara rekan-rekan aktivis gerakan Angkatan ’66 itu yang kemudian memperoleh peluang emas untuk menjadi pemimpin dengan mengisi berbagai lowongan jabatan-jabatan formal di pentas politik nasional maupun daerah. Saya termasuk yang mendapat peluang itu, ketika kelompok mahasiswa memperoleh “jatah” untuk menjadi anggota DPRGR pada masa transisi sebelum diselenggarakan Pemilu. Akan tetapi ketika itu saya termasuk diantara wakil mahasiswa yang justru tidak bersedia menjadi anggota Parlemen, dan juga tidak mau masuk dalam jajaran birokrasi pemerintahan, sekalipun kesempatan untuk itu terbuka lebar. Mengapa?
Pada waktu itu saya berfikir dan melihat bahwa kebutuhan akan pemimpin yang bisa melayani kepentingan publik tidak hanya terbatas pada jabatan-jabatan negara dan di pemerintahan saja. Di luar sektor negara dan pemerintahan, ada sektor swasta, dan ada juga sektor masyarakat sipil, masyarakat madani yang juga memerlukan pengabdian dan pelayanan publik. Dan, di sektor non-pemerintah itulah saya merasa bisa berperan lebih baik, lebih berdaya guna. Pada zaman itu hingga kini, kekuatan negara, terutama sektor eksekutif masih sangat besar dan dominan, sementara sektor masyarakat masih sangat lemah dan hampir tak ada institusi-institusi sipil yang menunjangnya. Sedikit sekali rekanrekan pemuda dan mahasiswa yang punya perhatian apalagi minat untuk bekerja disektor tsb. Hal itu kian mendorong saya ke arah upaya penguatan civil society, pemberdayaan kelompok masyarakat madani, sebagai pilihan yang secara sadar saya lakukan dalam jalur karier, profesi maupun pengabdian– hampir sepanjang masa.
Dan, ternyata, bekerja dan menjadi pemimpin di sektor non-pemerintah itu banyak memberi kepuasan batin dan kebahagiaan yang tak ternilai harganya. Pengalaman selaku aktivis gerakan mahasiswa merintis kemunculan radio-radio amatir dan mendobrak monopoli siaran radio oleh Radio Republik Indonesia (RRI), kemudian berlanjut dengan upaya menjadikan media baru tsb sebagai media komunikasi yang profesional dan bermanfaat untuk masyarakat. Untuk itulah saya kemudian bersama rekanrekan aktivis radio lainnya berusaha mendirikan wadah organisasi dimana para pengasuh media-radio yang masih muda-muda tanpa ada keahlian dan pengalaman itu bisa saling belajar dan mengembangkan kemampuan bersama.
Maka berdirilah ORARI, Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia, sebagai wadah bagi para pengelola radio-radio amatir seluruh Indonesia, dan kemudian PRSSNI, Persatuan Radio Swasta Siaran Niaga Indonesia, sebagai wadah nasional bagi para pengelola radio-radio siaran Non-RRI yang kini menjadi radio siaran swasta niaga yang ada tersebar disemua propinsi, kabupaten dan kota. Bayangkan, andaikata saya waktu itu jadi anggota DPR-GR, pasti saya tidak akan punya kebanggaan seperti sekarang menyaksikan adanya ratusan ribu, bahkan jutaan pemuda-pemudi yang secara kreatif bekerja, menyalurkan bakat dan kariernya dibidang radio-amatir dan radio-siaran swasta niaga itu di seluruh tanah-air.
Jadi bagi para kawula muda, yang baru lepas dari bangku sekolah, cara mudah dan cepat menjadi seorang pemimpin yang berdaya-guna, adalah dengan terjun menjadi aktivis pada organisasi mahasiswa/ pemuda, organisasi sosial-kemasyarakatan atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pada organisasi-organisasi nirlaba (non-profit) tsb, anda beraktivitas tanpa mengharap dapat gaji, keuntungan, ataupun jabatan dan pangkat. Motivasi utamanya hanya mau belajar, mencari pengalaman, dan ber-eksperimen terhadap hal-hal baru sambil membantu kegiatan masyarakat. Dalam hal ini, bekal pengalaman saya sebagai aktivis gerakan mahasiswa, sangat membantu ketikasaya kemudian tertarik dan akhirnya terjun dalam gerakan LSM lingkungan di Indonesia.
Mengapa gerakan lingkungan? Karena Indonesia terkenal kaya akan sumberdaya alam, tapi kekayaan alami dan lingkungan hidup negeri ini juga terus dibiarkan rusak dan terdegradasi oleh keserakahan manusia dan kebijakan publik yang salah arah. Ini tantangan besar yang tak mungkin bisa diatasi oleh negara dan aparat pemerintah saja, sementara sektor swasta seringkali menjadi salah satu faktor perusak lingkungan itu. Maka harapan akan kelestarian lingkungan, harus bertumpu pada kesadaran dan keterlibatan masyarakat madani untuk berperan-serta mencegah dan mengendalikan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan yang kian parah itu. Prof. Emil Salim, Menteri Lingkungan Hidup RI yang pertama dan terlama (1978-1988) itu juga mengakui kenyataan yang menyedihkan ini. Karenanya beliau ikut membidani berdirinya LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai mitra kerja pemerintah mengatasi masalah2 lingkungan, dan ketika tidak lagi menjabat sebagai Menteri, Pak Emil justru mengajak atau diajak oleh rekan-rekannya aktivis lingkungan diluar pemerintahan, untuk mendirikanLembaga2 Swadaya Masyarakat (LSM) terkemuka seperti Dana Mitra Lingkungan (DML), Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Yayasan Pembangunan Berkelanjutan (YPB), Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), dsb yang semuanya bergerak mengurusi berbagai tantangan lingkungan yang mendera bangsa kita dewasa ini.
Banyak para aktivis yang bergabung dan mengembangkan kariernya di LSM lingkungan tsb maupun di LSM-LSM dilain bidang sperti hukum & HAM, sosial-ekonomi, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dsb yang kemudian mampu tampil sebagai pemimpin bangsa diberbagai segi kehidupan masyarakat, termasuk menduduki jabatan tinggi ditingkat pemerintahan. Saya sendiri, karena aktivitas di KEHATI, YPB dan LEI, juga mendapat kepercayaan pemerintah selama lebih dari 10 tahun menjadi anggota dan hingga kini Ketua Dewan Pertimbangan Kalpataru, suatu penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Presiden RI setiap tahun bagi para pengabdi & pelestari lingkungan hidup.
Jadi, jika anda sejak dini mau aktif dalam organisasi kemasiswaan, di lembaga swadaya masyarakat, sebenarnya itu tiket masuk untuk menjadi pemimpin yang teruji guna menghadapi tantangan Indonesia di masa depan.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Ismid Hadad, Hal: 149-152.