Defisit yang Sedikit Lebih Tinggi, Mengapa Tidak?
Seorang penulis Amerika Serikat yang sedih pernah menulis: kesempatan itu seperti matahari terbit, jika menunggu terlalu lama, ia akan hilang. Kalimat itu mengingatkan saya pada Indonesia hari ini. Betapa tidak, minggu lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 6,5 persen tahun 2011. Saya kira kita harus memberikan apresiasi terhadap prestasi ini. Namun, apakah 6,5 persen optimal?
Saya jadi ingat Anne Booth dengan bukunya, Indonesia: A History of Missed Opportunities. Saya kira Booth benar. Tengok saja sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia 2011. Cukup menggembirakan karena pertumbuhan secara imbang didorong oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Namun, kita melihat, kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) hanya 0,3 persen karena pengeluaran pemerintah hanya tumbuh 3,2 persen. Seandainya pertumbuhan pengeluaran pemerintah dapat mencapai lebih dari 7 persen saja, pertumbuhan ekonomi 2011 akan mencapai 7 persen. Jika bisa tumbuh 15 persen seperti tahun 2009, pertumbuhan ekonomi akan mendekati 8 persen! Jika itu dialokasikan pada infrastruktur, kapasitas sisi penawaran akan meningkat sehingga ekspansi kredit Bank Indonesia tidak akan mendorong inflasi atau memanasnya perekonomian (overheating). Saat ini, setiap pertumbuhan ekonomi berada di atas 6,5 persen, neraca transaksi berjalan kita akan defisit. Perekonomian tak mampu menampung pertumbuhan yang tinggi.
Itu sebabnya, pemerintah sebenarnya tidak perlu terlalu takut dengan defisit anggaran yang lebih besar jika dialokasikan untuk infrastruktur. Dengan rasio utang terhadap PDB yang berada di bawah 25 persen, ruang untuk ekspansi sebenarnya tersedia—tanpa risiko stabilitas makroekonomi. Dan kita tahu, toh, berdasarkan undang-undang, defisit anggaran tidak bisa lebih dari 3 persen. Dengan kondisi itu, sebenarnya situasi cukup aman karena defisit anggaran juga tidak bisa melompat terlalu besar sehingga meningkatkan rasio utang terhadap PDB dan membahayakan stabilitas perekonomian.
Namun, kita tahu, pemerintah punya persoalan dalam membelanjakan uang. Penyebabnya antara lain Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 54) yang menyulitkan proses lelang, desentralisasi, serta kekhawatiran soal korupsi dan penyesuaian dengan sistem kinerja anggaran (budget performance). Belum lagi, ruang fiskal yang amat terbatas. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bisa menjadi pendorong perekonomian?
Pertama, saya kira Perpres 54 perlu direvisi lagi. Revisi yang dilakukan baru-baru ini tidak banyak membantu. Proses lelang masih amat menyulitkan. Dalam merevisi perpres ini, lakukan simulasi dulu atau proyek percontohan untuk menguji apakah proses lelang menjadi lebih mudah atau tidak. Perpres tidak membutuhkan persetujuan parlemen. Jadi, ini sepenuhnya ada dalam wewenang pemerintah.
Kedua, saya bersimpati dan mengerti sepenuhnya masalah keterbatasan ruang fiskal yang dimiliki Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Oleh karena itu, tingkatkan ruang fiskal dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan alokasikan dananya untuk infrastruktur atau program kemiskinan. Agar efektif dan jumlah ruang fiskal yang bisa diperoleh lebih besar, gunakan pilihan kenaikan harga, bukan pembatasan subsidi BBM.
Ketiga, jika anggaran tetap tidak bisa diserap, apa yang bisa dilakukan secara cepat, efektif, dan efisien untuk meningkatkan defisit anggaran guna mendorong perekonomian? Jawabnya adalah berikan insentif pajak untuk pembangunan infrastruktur, terutama di Indonesia timur. Selain itu, juga turunkan tarif Pajak Penghasilan dan naikkan batas penghasilan tidak kena pajak. Kompensasinya bisa dilakukan dengan menaikkan jenis pajak lain.
Dalam kasus Indonesia, kebijakan stimulus fiskal dengan memberikan potongan pajak akan efektif karena tiga hal: Indonesia adalah negara dengan penduduk muda. Penduduk muda akan lebih fokus kepada pendapatan saat ini dan bukan pendapatan masa depan sehingga tambahan pendapatan dari potongan pajak akan mendorong konsumsi. Selain itu, juga ada kendala akses pada kredit perbankan sehingga tambahan pendapatan akan digunakan untuk belanja. Satu hal lagi: kecenderungan belanja (marginal propensity to consume) masyarakat Indonesia masih relatif rendah karena penduduk masih relatif miskin. Itu sebabnya, potongan pajak akan efektif mendorong pertumbuhan ekonomi.
Ingin bukti empiris? Salah satu alasan kebijakan yang membuat Indonesia selamat dari krisis keuangan global 2008 adalah stimulus fiskal. Tidak banyak yang menyadari bahwa 61 persen dari stimulus tahun itu diberikan dalam bentuk potongan pajak. Basri dan Rahardja (akan terbit) menunjukkan bagaimana efektifnya kebijakan itu dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kesempatan untuk tumbuh lebih tinggi amat terbuka. Belum lagi kebijakan membuka keran likuiditas di Eropa saat ini—guna mengantisipasi krisis Eropa—dalam jangka menengah akan mendorong modal mengalir kembali ke Indonesia.
Itu sebabnya, pertumbuhan di atas 8 persen atau 9 persen bukan hal yang mustahil. Tanpa itu, masuknya Indonesia dalam peringkat investasi tidak akan berarti banyak. Dan kesempatan ini hanya terbuka sampai tahun 2025 sebelum ia hilang karena menurunnya potensi pertumbuhan akibat persoalan usia lanjut.
Muhammad Chatib Basri Pendiri CReco Research Institute dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sumber: KOMPAS, Senin, 13 Februari 2011, Halaman 15.