Definisi Rancu, Ormas Bukan LSM
Jakarta, Kompas – Definisi organisasi kemasyarakatan dalam Rancangan Undang-Undang Ormas yang kini dibahas DPR dinilai rancu. Secara substansi, harus dibedakan antara ormas dan lembaga swadaya masyarakat agar kebebasan berserikat terjamin.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Prof M Zaidun, Jumat (3/8), di Surabaya, mengatakan, ormas berbasis massa, baik di bawah partai politik maupun independen. Adapun LSM berbasis kegiatan. Orientasinya pun lebih pada pemberdayaan masyarakat.
Namun, dalam naskah RUU Ormas, ormas adalah organisasi yang didirikan secara sukarela oleh warga negara Indonesia berdasarkan kesamaan tujuan, kepentingan, kegiatan. Sifatnya sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan tidak berafiliasi pada parpol. Lingkup kegiatan ormas pun tidak terbatas, baik bidang agama, hukum, sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan, sumber daya manusia, penguatan demokrasi Pancasila, pemberdayaan perempuan, lingkungan, kepemudaan, olahraga, profesi, hobi, dan/atau seni budaya.
Model pengaturan seperti ini, menurut Zaidun, menunjukkan kerancuan. LSM dan perkumpulan orang-orang dengan kesamaan tertentu jelas berbeda karakternya dan tidak perlu diatur dalam RUU Ormas. LSM cukup mengikuti UU No 28/2004 tentang Yayasan atau Staatsblad 1870-64 yang mengatur soal perkumpulan.
Pengaturan tentang ormas, menurut Zaidun, tetap diperlukan. Sebab, baik ormas independen maupun organisasi politik, berbasis massa yang mungkin meluas baik di pusat dan daerah. Massa bisa dimobilisasi dan menjadi masalah di kemudian hari apabila tidak ada penataan organisasi efektif dan penataan yang jelas.
Secara terpisah, Direktur Advokasi dan Monitoring Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri menilai pemerintah dan DPR bukan hanya rancu dengan definisi ormas, tetapi juga salah kaprah.
”Ormas/LSM/NGO/Ornop adaah istilah praktik sehingga bergantung pada siapa yang menafsirkannya. Rujukan yang tepat dan relevan berdasarkan kerangka hukum, yaitu yayasan dan perkumpulan,” tutur Ronald.
Perkumpulan dalam Staatsblad 1870-64 terdiri atas perkumpulan berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Namun, perincian aturan malah tidak dikerjakan. Semestinya, tambah Ronald, aturan tentang perkumpulan ini disempurnakan, bukan malah membuat aturan baru yang mengikuti Orde Baru. Risikonya, demokrasi dan kebebasan berserikat yang dijamin UUD 1945 bisa tercederai.
Risiko aturan mengarah pada sifat represi diakui Zaidun. Ketika pengertian salah kaprah, RUU Ormas mencakup semua paguyuban masyarakat, dinamika organisasi akan terganggu. Rezim represif seperti Orde Baru bisa terulang. (INA)