Dahsyatnya Gerakan Komunitas
Oleh: Try Harijono
Mengeluh sehebat apa pun saat berada di lorong gelap tidak lantas membuat lorong jadi terang-benderang. Dari pada mengeluh, lebih baik menyalakan lilin. Sekecil apa pun nyala lilin, akan membuat lorong menjadi bercahaya. Apalagi jika banyak lilin yang dinyalakan, lorong akan jadi terang-benderang.
Begitulah kira-kira perumpamaan gerakan komunitas berbentuk kewirausahaan sosial yang kini bermunculan di banyak daerah. Melihat banyak masalah di masyarakat, inisiator gerakan komunitas tak pernah mengeluh apalagi mengharap bantuan pemerintah. Mereka langsung ”menyalakan lilin”, berbuat dengan langkah kecil, tetapi sangat bermakna bagi masyarakat sekitar.
Di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, misalnya, ada Endahing Noor Suryanti (47) yang menggerakkan potensi masyarakat dengan memanfaatkan limbah kain perca. Potongan-potongan kecil kain sisa industri garmen dia manfaatkan menjadi kain lap, keset, tas, taplak meja, hingga pelapis tempat tidur (bad cover). Dia tidak bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi juga mengajak masyarakat sekitar, terutama ibu-ibu rumah tangga.
Hasilnya, ibu-ibu rumah tangga yang asalnya menganggur kini memiliki keterampilan menjahit. Bahkan, ekonomi keluarga mereka juga ikut membaik karena hasil kerajinan dari kain perca tersebut dijual ke banyak daerah. Tas dari kain perca, misalnya, dijual mulai Rp 150.000, sedangkan bad cover dijual mulai dari Rp 600.000 tergantung motif dan tingkat kesulitannya.
Tak sampai di situ, Noor Suryanti juga membentuk Koperasi ”Pelangi Nusantara” yang anggotanya kini sudah sekitar 150 ibu rumah tangga. Selain membeli produk komunitas, koperasi juga memberikan penyadaran kepada ibu-ibu tentang pentingnya pendidikan serta manfaat menunda perkawinan hingga usia matang. Maklum, di lingkungan sekitarnya, anak-anak usia sekitar 14 tahun yang baru lulus sekolah dasar, banyak yang dinikahkan orangtua mereka.
”Pembentukan koperasi hanya salah satu jalan saja. Tujuan besarnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencegah pernikahan usia muda,” kata Noor Suryanti.
Masyarakat pesisir
Bukan hanya Suryanti yang berbuat untuk komunitasnya. Di Jailolo, ibu kota Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, ada Martin Kreshna Anggara Asda (30). Meskipun masih berusia muda, lulusan Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini mampu menggerakkan komunitasnya dengan memanfaatkan potensi yang ada di daerahnya.
Ketika pertama kali datang ke Halmahera Barat, lima tahun lalu, Martin melihat potensi kelapa yang sangat melimpah. Setiap warga sedikitnya memiliki dua hektar kebun kelapa, bahkan banyak yang lebih luas lagi. Meski demikian, banyak warga dililit kemiskinan.
Kondisi ini mendorong Martin untuk belajar memanfaatkan kelapa ke sejumlah perguruan tinggi dan lembaga penelitian di Jawa dan Bali. Sekembalinya ke Jailolo, ilmu yang ia peroleh kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar. Kini, setidaknya 250 ibu-ibu yang tersebar di 29 desa sudah terampil membuat minyak kelapa murni kelas premium yang laku dijual Rp 11.000 per liter, jauh lebih mahal daripada kopra untuk minyak yang harganya sekitar Rp 2.800 per kilogram.
Martin juga merintis pemanfaatan kayu kelapa untuk berbagai kerajinan serta memanfaatkan sabut kelapa untuk bahan kursi berkualitas tinggi. ”Jika masyarakat ada yang menggerakkan, potensinya sangat luar biasa. Gerakan komunitas, sangat dahsyat!” kata Martin.
Di Bandung, ada juga M Bijaksana Junerosano (31). Lulusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini sangat prihatin melihat penggunaan kantong plastik yang sangat melimpah di masyarakat. Hampir semua warung kecil hingga pusat perbelanjaan besar, memberikan kantong plastik secara gratis untuk tempat belanjaan. Padahal, kantong plastik sangat sulit—lebih dari 100 tahun—untuk bisa terurai di alam.
Namun, Sano tak sekadar mengeluh. Inisiator Greeneration Indonesia (GI) ini membuat kantong praktis berbahan kain nilon yang bisa dilipat hingga ukuran 5 x 5 sentimeter, tetapi bisa digunakan hingga 1.000 kali. Produksi kantong BaGoes yang kini melibatkan 28 penjahit kecil di Soreang, Kabupaten Bandung, ini disertai dengan kampanye diet kantong plastik ke berbagai kalangan.
Ia, misalnya, bersama teman- temannya membuat film animasi tentang lingkungan, air, dan energi yang kemudian diputar di sejumlah sekolah dasar.
Gerakan global
Masih banyak lagi pelaku kewirausahaan sosial yang tersebar di seluruh Nusantara. Ketika British Council Indonesia mengadakan kompetisi Community Entrepreneurs Challenge 2012, sekitar 600 kelompok yang mendaftar. Tahun-tahun sebelumnya, peminatnya juga tak jauh dari itu dengan aktivitas yang beragam di tengah masyarakat.
Khusus pemenang kompetisi 2012, diajak untuk melakukan studi lapangan ke London, Inggris, selama sepekan. Ternyata, di Inggris, kewirausahaan sosial juga berkembang pesat dan banyak peminat serta merambah ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Kelompok Spitalfields City Farm (SCF), misalnya, memanfaatkan lahan tidur di sekitar London untuk berkebun sayuran, bunga-bungaan, hingga beternak bebek, ayam, dan domba. ”Siapa pun bisa berkebun di sini, termasuk anak- anak, agar mereka semakin menghargai lingkungan,” kata Joanne Doyle, Manajer Pertanian SCF.
Ada pula kewirausahaan sosial yang memanfaatkan minyak goreng bekas restoran untuk biodiesel taksi di London, koperasi perumahan, hingga kelompok kewirausahaan sosial yang memanfaatkan bangunan-bangunan tua untuk perkantoran. ”Di sini, kerja sama antarkelompok entrepeneur sosial sudah berjalan relatif baik. Kami saling bertukar informasi dan pengalaman,” kata Tommy Hutchinson, pendiri dan pemimpin i-Genius yang memfasilitasi kelompok-kelompok kewirausahaan sosial di London.
Pelajaran seperti itulah yang diharapkan dari pelaku kewirausahaan sosial di Indonesia saat mengunjungi London.
”Mereka kami undang untuk melihat dan belajar bahwa gerakan kewirausahaan sosial merupakan tren global yang di lakukan di banyak negara, termasuk negara maju,” kata Ari Sutanti, Program Manajer British Council Indonesia.
Selain itu, dengan kunjungan itu, diharapkan terbentuk jaringan global untuk meningkatkan peran kewirausahaan sosial dalam membangun komunitas.
Seusai studi lapangan tersebut, pelaku kewirausahaan sosial mengaku memiliki wawasan dan pengalaman baru. Bahkan, bagi Sano, kunjungan itu memberikan inspirasi baru. ”Alangkah bagusnya jika banyak perumahan di Indonesia yang dibangun koperasi,” katanya.
Adapun bagi Martin, memperluas jaringan dan berbagai pengalaman lapangan ini jauh lebih berharga dibanding hadiah uang. Berapa pun nilainya….
Sumber: KOMPAS, Senin, 20 Mei 2013.