Contoh-contoh Kerjasama antara LSM dan Pemerintah
Berikut contoh-contoh kerjasama yang pernah dilakukan oleh pemerintah dan Bina Swadaya. Contoh-contoh ini dipaparkan untuk menunjukkan bahwa kerjasama antara LSM dan Pemerintah sangat mungkin dilakukan.
Program Pengembangan Transmigrasi
Untuk mendukung program transmigrasi yang dilakukan oleh Departemen Transmigrasi, LSM dapat berperanan KSM di kalangan transmigran. Arti penting dari pengembangan KSM ini, antara lain, pada fungsi artikulasi. Melalui KSM, berbagai aspirasi yang berkembang di kalangan transmigran akan lebih mudah disalurkan ke tingkat penentu kebijakan.
Minimal, ada lima peran yang dapat dijalankan oleh LSM dalam mengembangkan KSM pada program transmigrasi ini, yakni:
Pertama, sebagai pendamping. LSM mengangkat mereka yang berkemauan dan berkemampuan untuk melakukan upaya-upaya pendampingan kelompok menjadi pendamping. Pendamping ini diberi khusus sebelum bekerja, dan kemudian ditempatkan di lokasi yang bedekatan dengan kelompok-kelompok transmigran agar terjalin interaksi yang positif di antara mereka. Seorang pendamping bertugas membantu mengartikulasikan permasalahan kelompok, mendorong dinamika kelompok, dan menyalurkan informasi yang dibutuhkan oleh kelompok.
Kedua, menyelenggarakan berbagai program pelatihan bagi anggota dan pengurus kelompok. Pelatihan ini menyangkut soal peningkatan mutu penyelenggaraan kelompok, peningkatan ketrampilan teknis atau pengelolaan usaha.
Ketiga, mendorong kelompok meningkatkan pemupukan modal bersama. Walaupun anggota kelompok terdiri dari orang-orang yang miskin, tetapi prinsip kemandirian menuntut agar pemupukan modal dilakukan dengan mulai dari dan mengutamakan pada kemampuan sendiri.
Keempat, menyelenggarakan proyek-proyek perangsang yang bertujuan untuk memberi bobot ekonomi dan membuka jalur ekonomi yang lebih luas.
Kelima, menghubungkan kelompok transmigrasi dengan lembaga-lembaga pelayanan, baik pemerintah maupun non-pemerintah.
Kerjasama antara Bina Swadaya dengan Departemen Transmigrasi dimulai pada 1982 di satu unit pemukiman di Rasau Jaya, Kalimantan Barat. Kerjasama ini diberi nama “Proyek Pengembangan Swadaya Masyarakat Transmigrasi”. Proyek percontohan ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa peningkatan taraf hidup transmigrasi dapat dilakukan melalui pengembangan sumber daya lingkungan. Dalam kerjasama ini, Bina Swadaya melatih tenaga-tenaga lapangan, menyusun bahan-bahan latihan untuk transmigran, melakukan studi kelayakan, memonitor kegiatan proyek, dan menyediakan pelatih untuk latihan di lapangan.
Kerjasama juga dilakukan di unit pemukiman Bomberay, Kabupaten Fakfak, Irian Jaya, sejak tahun anggaran 1996/1997, dengan tujuan memperbaiki kondisi lingkungan demi meningkatkan kesuburan dan hasil pertanian. Kegiatan yang dilakukan adalah memberi pemahaman dan kesadaran kepada transmigran tentang bagaimana cara bertani yang menguntungkan serta aman bagi lingkungan. Guna mencapai tujuan tersebut, pemanfaat proyek yang tergabung dalam KSM (disebut KST atau Kelompok Swadaya Transmigran), diberi input berupa pelatihan dan pendampingan, baik di bidang kelembagaan maupun teknis pertanian dan lingkungan, serta bibit tanaman dan ternak yang dikelola secara revolving.
Program Perusahan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-BLI1V)
Dalam program ini, LSM berperan sebagai alat perekat yang berfungsi sebagai motivator, fasilitator, dan katalisator terhadap inti dan plasma agar bisa bekerjasama dan saling menguntungkan. LSM dapat mengubah cara pandang perkebunan besar, sebagai inti, agar tidak melulu berorientasi pada bisnis, tetapi juga berorientasi sosial demi meningkatkan kemampuan ekonomi-sosial petani di sekitar, sebagai plasma. Di pihak lain, LSM dapat meningkatkam motivasi, rasa percaya diri dan ketrampilan petani, serta memperkuat kelembagaan dan kemampuan manajerial mereka sehingga mampu menyelenggarakan pemupukan modal swadaya dan mengelola usaha-usaha yang produktif. Bina Swadaya menjadi mitra kerja Direktorat Jendral Perkebunan dalam proyek PIR-BUN OPHIR di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat (1982-1990). Tujuan kerjasama ini adalah untuk mengembangkan suatu model pembinaan plasma yang mandiri agar mereka mampu meningkatkan taraf hidup dan mengembalikan kredit mereka. Dalam rangka kerjasama ini, pada 1983 dan 1985 telah dilatih di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bina Swadaya sebanyak 20 orang penyuluh lapangan dan administrasi proyek. Hasilnya, 63 KSM dengan berbagai kegiatan yang mengarah pada usaha produktif terbentuk (uraian lebih jauh lihat tulisan PIR-BUN Perlu “Roda Gila” dalam Bab II).
Program Perhutanan Sosial
Sekitar 6.000 desa yang ada di Pulau Jawa merupakan desa yang berbatasan dengan hutan. Karena tingkat sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan masih rendah akibat terbatasnya lahan pertanian yang mereka miliki, terbatasnya lapangan kerja, dan terbatasnya ketrampilan, maka hutan menjadi salah satu tumpuan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Intervensi masyarakat ke dalam hutan seringkali menimbulkan konflik dengan pihak pengelola hutan, yakni Perum Perhutani. Konflik timbul karena adanya perbedaan kepentingan. Perum Perhutani berkepentingan menjaga kelestarian fungsi produksi, hidrologis, maupun ekologis dari hutan. Sementara itu, masyarakat sebagai pemanfaat hasil hutan jarang memperhatikan aspek-aspek tersebut. Mereka sering melakukan pencurian kayu, perambahan hutan, perladangan liar, dan pengembalaan liar.
Untuk menyelesaikan konflik kepentingan di atas, bekerjasama dengan Bina Swadaya, Institut Pertanian Bogor, dan The Ford Foundation, pada 1986 Perum Perhutani mengembangkan Program Perhutanan Sosial (PS) di Jawa. Program ini bertujuan membangun, memelihara, dan mengamankan hutan dengan mengikutsertakan masyarakat di sekitar hutan, sekaligus demi meningkatkan kesejahteraan mereka.
Dalam Program PS, masyarakat diorganisasikan dalam wadah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang dikelola berdasarkan asas “dari, oleh, ithai untuk” anggota. KTH merupakan pengembangan dari tiga pendekatan pembangunan, yakni pendekatan yang berpusat pada manusia, berfokus pada daerah setempat, dan berdasar pada sumber daya yang ada.
Dalam program ini, masyarakat diberi hak untuk menerapkan agroforestry (tumpangsari tanaman pertanian dengan kehutanan) di lahan hutan. Mereka diberi hak menanam dan mengelola tanaman semusim serta buah-buahan di lahan hutan milik Perum Perhutani. Perum Perhutani berkewajiban untuk menyediakan bibit tanaman kehutanan, bibit tanaman buah, dan lokasi lahan garapan. Seluruh hasil tanaman semusim dan buah-buahan tersebut menjadi milik petani penggarap. Sebagai imbalan atas hak garap tersebut, masyarakat diwajibkan untuk menanam dan merawat tanaman kehutanan sesuai aturan yang telah ditetapkan.
Pada awalnya, pelaksanaan program berjalan PS tidak mulus, karena masyarakat di sekitar hutan dan Perum Perhutani adalah dua ekosistem yang berbeda. Perbedaan itu menyangkut skala usaha, bentuk manajemen (tradisional dan modern), serta orientasi (subsisten dan pasar). Tetapi, setelah berjalan beberapa lama, program ini dapat berlangsung dengan baik. Peran Bina Swadaya (sejak 1986) untuk mengatasi perbedaan ini adalah: a). memberdayakan KTH melalui pendampingan teknis, menempatkan pembina KTH, dan meperkuat kelembagaan KTH melalui pelatihan-pelatihan; b). mengembangkan SDM Perum Perhutani dengan melakukan upaya penyadaran diri dan peningkatan ketrampilan manajerial dalam program PS; c). mengupayakan adanya dialog kebijakan melalui rapat komite manajemen PS, mendampingi Perum Perhutani di tingkat Direksi dan Unit, memantau pelaksanan program, serta mengadakan seminar-seminar.
Dengan demikian, pendampingan Bina Swadya kepada Perum Perhutani diarahkan untuk mensosialisasikan konsep pengembangan masyarakat dan pengembangan institusi agar Perum Perhutani dapat menyelenggarakan program PS dengan lancar. Termasuk dalam pengembangan institusi ini adalah perumusan peraturan yang lebih memperhatikan masyarakat, pengembangan kebijakan penganggaran, dan pengembangan SDM. Hasil nyata dari kegiatan ini adalah dengan dibentuknya bagian khusus di tubuh Perum Perhutani yang menangani program PS, serta diterapkannya peraturan tentang pelaksanaan program PS. Di tingkat lapangan, dengan didasari oleh prinsip kemitraan, hubungan antara petugas Perum Perhutani dengan masyarakat juga berubah menjadi lebih harmonis,
Program Penanggulangan Kemiskinan (Program IDT)
Peran Bina Swadaya dalam program ini dalam bidang pelatihan. Pada 1994 Bina Swadaya diminta oleh Pemerintah Pusat untuk membantu melatih 2.000 Sarjana Pendamping Purna Waktu (SP2W) yang akan ditempatkan di daerah-daerah desa tertinggal. Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, Bina Swadaya juga melatih SP2W di Lahat (Sumatera Selatan), Pematang Siantar (Sumatera Utara), Ambon, dan Irian Jaya. Bahkan pada 1997, Bina Swadaya diminta untuk memberikan pelatihan bagi Kasi PMD se-Propinsi Irian Jaya.
Pada 1996, bekerjasama dengan Direktorat Jendral PMD, Bina Swadaya menyusun enam paket Buku Modul Pelatihan KSM (Pokmas). Enam paket itu terdiri dari Pegangan Pokmas IDT, Pegangan Pendamping Pokmas IDT, Teknis Bidang Usaha Pokmas IDT, Petunjuk Penyelenggaran Pelatihan Pokmas IDT, dan Panduan Fasilitator Pelatihan Pokmas IDT.
Selain itu, Bina Swadaya juga membuat “laboratorium sosial” sendiri dengan mendampingi 12 Pokmas IDT di Desa Gunung Sari dan Tajur, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kegiatan ini, dengan bantuan dana dari Belanda, kemudian dikembangkan di Kota Gajah (Lampung), Indramayu (Jawa Barat), Boyolali (Jawa Tengah), Yogyakarta, Banyuwangi dan Lamongan (Jawa Timur), yang semuanya berjumlah sekitar 200 Pokmas IDT (untuk uraian tentang Program IDT, lihat juga tulisan Evaluasi Kritis atas Program-program Penanggulangan Kemiskinan dalam Bab II).
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 26-32.
Mohon pencerahan apa ada draf proposal kemitraan Lsm dengan BPOM