Carik Desaku
Oleh: Edi Purwanto, Bogor, 26 April 2012
‘Saben bengi nyawang konang (Setiap malam kita bisa melihat kunang-kunang);
Yen memajang mung karo janur kuning (Berbagai hiasan cukup menggunakan janur kuning);
Kembang wae weton gunung (Berbagai bunga yang indah banyak tersedia di gunung);
Pacitan sarwi jenang (Makanan kecil di kala itu terbuat dari beras ketan/jenang/dodol);
Panas udan aling-aling Caping Gunung (Saat hujan dan panas bertopikan Caping Gunung, topi besar ala masyarakat pegunungan)
Nadyan wadon sarta lanang (Semua laki-laki dan perempuan);
Inumane banyu bening (Minumanya air bening dari Gunung).
Tembang pangkur yang merupakan bowo (intro) Langgam Caping Gunung karya Pak Gesang (pencipta Lagu Bengawan Solo), ini mendokumentasikan dengan sangat baik suasana lingkungan perdesaan di lereng pegunungan di Jawa pada tahun 40-an hingga awal tahun 60-an.
Di awal tahun 60-an, saat itu aku masih balita, tinggal bersama kakek yang menjabat sebagai ‘Carik’ (juru tulis desa yang kini dikenal dengan Sektretaris Desa) di lereng pegunungan kapur berhutan jati di Trenggalek, Jawa Timur. Saat itu Carik Desa merupakan jabatan pamong (perangkat) desa yang masih bisa diwariskan. Pamong desa saat itu umumnya masih keturunan langsung dari kakek moyang yang mbabat alas (membuka hutan) desa. Ayah kakek (buyutku) dulunya juga seorang Carik Desa di jaman Belanda dan Jepang, kemudian jabatan tersebut diwariskan ke kakekku.
Masih teringat betapa kajen (terhormat) dan kemegahan rumah kakek sebagai Carik Desa saat itu. Sebagai Carik Desa ia mengolah bengkok 15 bau (sekitar 12 ha). Ditambah dengan lahan milik kakek sendiri, total kakek mengolah tidak kurang dari 15 ha lahan sawah. Tak pelak kakek merupakan salah satu elit desa. Rumahnya joglo terbuat dari kayu jati. Salah satu penciri orang berkecukupan di masa itu adalah rumahnya ada tiga. Bagian depan berupa pendapo (balai-balai) tempat menerima tamu, kemudian rumah utama dan dapur. Masing-masing berukuran besar dan hampir bersesuaian ukuran luasnya, sehingga seakan rumah tiga yang disatukan. Seluruh perabotan rumah, seperti lemari, kursi, meja besar, meja makan, terbuat dari kayu jati kelas satu.
Kakek memiliki lima lumbung besar sebagai tempat penyimpan padi. Saat itu juga masih ada bekas kandang kuda (gedokan jaran). Buyutku dulu memiliki banyak kuda. Ada lima penciri seorang pria yang dianggap sukses di masa itu, yaitu bila telah memiliki wismo (rumah besar), kemudian garwo (istri yang cantik), putro (keturunan), turanggo (kuda, sebagaimana mobil mewah di masa kini) dan kukilo (burung, sebagaimana home teater masa kini). Sayangnya kuda dan burung tidak kutemukan lagi di masa kakeku. Kendaraan kakeku saat itu sepedah onthel bermerek Gaselle keluaran Belanda tahun 1948 yang ada tromol presnelengnya, saat dipakai terdengar suara tik . tik.. tik .. tik.
Keluargaku tidak lama tinggal di desa kelahiranku. Setelah pecah tragedi nasional tahun 1965, ayahku yang saat itu menjadi guru sekolah rakyat, memutuskan untuk pindah ke Kediri. Semenjak itu aku hanya sekali tempo berkunjung menengok desaku.
Di penghujung tahun 60-an saat aku telah duduk di sekolah dasar. Kakek memiliki hajat besar, menikahkan adik terkecil ayahku. Karena bertepatan dengan libur sekolah, aku bisa mengikuti acara tersebut sampai usai. Masih teringat, hiruk-pikuk masyarakat desa saat hajatan berlangsung. Sekitar dua minggu sebelum hari H. puluhan perempuan tua, muda bergotong royong menumbuk padi. Banyak sobat kakeku dari luar desa yang mengirim jenang (dodol), kue yang terbuat dari beras ketan dan gula. Ada pula yang mengirimi beras ketan, gula, ayam dan kambing. Laki-laki dan perempuan bekerja berhari-hari, siang-malam dengan tulus. Walau kurang tidur tetapi nampak terus ceria dan penuh canda.
Mereka yang datang ke hajatan banyak yang membawa ember besar berisi beras dan aneka sembako. Pulangnya, ember-ember besar tersebut kemudian penuh dengan nasi putih dan aneka lauk dan kue yang dibungkus dengan daun jati. Puncak pesta dilaksanakan selama dua malam berturut-turut. Malam pertama ada pertunjukan Wayang Kulit, sedangkan malam kedua dimeriahkan dengan Ketoprak, teater rakyat yang sangat populer di kala itu. Seluruh penduduk desa nampak bersuka ria dan merasakan berpesta. Setiap lentera yang ada di jalan desa dan rumah-rumah, saat puncak keramaian dinyalakan semua. Desa yang saat itu belum ada listrik nampak terang benderang.
Pada pertengahan tahun 70-an, jabatan Carik kakek diwariskan ke Pakde, kakak tertua ayahku. Kemudian aku sendiri setelah lulus Sekolah Dasar di Kediri, kemudian ikut pamanku di Bogor, sehingga aku semakin jarang menengok desaku.
Alkisah pada pertengahan tahun 80-an, saat aku telah jadi mahasiwa IPB, sempat berkunjung ke Pakde yang saat itu telah menjadi Carik Desa selama delapan tahun.
Aku begitu tertegun melihat suasana rumah kakek yang telah banyak berubah. Tidak lagi nampak aura kemegahan di rumah kakek yang kini lahannya ditempati oleh keluarga Pakde. Pohon Sawo Kecik yang besar dan rindang depan pendopo tempat aku bermain pasaran telah ditebang. Di tempat itu kini berdiri rumah Pakde yang terbuat dari bata dan kayu kelapa. Sedangkan rumah kayu besar berjumlah tiga itu kini sudah tidak ada lagi. Rumah tersebut telah diwaris, dibeli oleh orang dan telah dipindah ke Jakarta.
Bengkok Pakde sebagai Carik Desa telah menyusut, ia kini hanya mengolah sawah tiga ha. Dengan bengkok sebesar itu, ditambah beban membiayai anak kuliah di berbagai kota, hidup Pakde sebagai Carik Desa nampak pas-pasan. Barang yang terhitung mahal hanya sebuah Honda bebek dan beberapa perabot tua dari kayu jati peninggalan kakek.
Beberapa tahun lalu, untuk yang kesekian kalinya aku bersama keluarga berkunjung ke desaku. Suasana desaku sudah semakin jauh berubah lagi. Jalan-jalan desa yang dulu berupa tanah dengan pengerasan batu, kini sudah beraspal mulus. Penduduk desa yang dulu banyak bersepeda kini menggunakan motor dan mobil. Rumah-rumah joglo di desa sudah hampir tidak ada lagi. Banyak berganti menjadi rumah beton minimalis. Mereka yang tergolong kaya di desaku kini tidak mengandalkan dari sumber pertanian lagi, melainkan menjadi tenaga kerja migrant di Malaysia, Arab Saudi dan Taiwan. Mereka itu kini yang rumahnya bagus-bagus, jauh lebih bagus dari rumahku di Bogor.
Jabatan Carik Desa atau Sekretaris Desa, telah berpindah ke tangan generasi berikutnya. Kebetulan masih anak Pakde-ku sendiri. Namun tidak berasal dari proses pewarisan jabatan, melainkan melalui ujian. Sejak tahun 2007 kemarin telah menjadi PNS Golongan II A sehingga sudah tidak mengolah bengkok lagi. Namun sepupuku nampak lebih senang menjadi PNS, karena bertani padi kini semakin tidak menarik. Biaya sarana produksi dan pengolahan lahan semakin mahal. Sedangkan menjadi PNS berarti ada harapan untuk mendapat pensiun.
Terlepas dari suka cita sepupuku sebagai Carik PNS. Aku merasakan ada sebuah nilai penting yang hilang di desaku. Yaitu hilangnya figur kepimpinan Desa.
Peran Carik Desa sebagai sesepuh yang menjadi suh (pengikat) keguyuban dan semangat membangun desa telah hilang. Figur Carik Desa yang dulu dituakan, dihormati, banyak dikunjungi di waktu malam, menjadi tempat mengadu dan menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, kini tidak lebih dari pegawai negeri sipil biasa yang menggantungkan gaji pemerintah. Carik Desa tidak dimiliki lagi oleh masyarakat desa. Mereka tidak lagi bekerja 24 jam sebagai pamong desa, melainkan sebagai aparat kantor desa yang bekerja secara terjadwal, masuk jam 8 pagi pulang jam 2 sore .