Bukan Penulis tapi Bukunya Laris
Suatu kali di kampung halamannya, Belitong, Andrea Hirata pernah berkata, “Saya bukanlah seorang penulis.” Dia merasa kemampuannya menulis karya sastra masih jauh dibanding novelis lain. Tapi siapa bisa menampik betapa, sebagai penulis, dia telah mengubah dunia perbukuan di negeri ini. Serial Laskar Pelangi-nya laku lebih dari sejuta eksemplar. Ini masih ditambah dengan film dan drama musikal, berdasarkan serial itu, yang pemutaran dan pementasannya selalu dijejali penonton.
Itu baru di Indonesia. Di luar negeri, novelnya diterjemahkan ke dalam 21 bahasa. Penerbit terkenal Farrar, Straus and Giroux (FSG) dari Amerika Serikat, yang selama ini menerbitkan karya-karya pemenang Nobel Sastra, bahkan ikut menerbitkan Laskar Pelangi dalam bahasa inggris. andrea, bagaimanapun, telah meletakkan standar baru bagi penulisan novel di Indonesia.
Dalam dunia novel Indonesia dia membuat tren ini: bercerita tentang kisah yang mengilhami orang banyak, novel semua umur, dan disampaikan dengan bahasa yang tidak terlalu rumit. Gabungan ketiga hal itulah yang membuat novel-novel Andrea Hirata mampu mencatat rekor yang sulit ditembus siapa pun.
Kunci keberhasilan Andrea adalah kemampuannya menerjemahkan kisah hidupnya yang sederhana ke dalam cerita penuh drama. Banyak orang yang mungkin memiliki kisah yang lebih dramatis dibanding Andrea, tapi sedikit yang bisa mengemasnya seperti yang dia lakukan.
Yang tak kalah pentingnya, pemilihan bahasa yang sederhana membuat kisah ini bisa dicerna siapa pun, bahkan anak tingkat sekolah dasar. Andrea tak lupa membubuhkan unsur-unsur kedaerahan, seperti cara bertutur Melayu-Belitong. Formula yang jitu dari seorang yang merasa bukan penulis.
Untuk Kawanku Pemimpi, Aku Rindu
Lihatlah betapa kita tak berjarak, seperti kita masih sekolah dulu. Kuingat waktu kau naik ke atas meja, berteriak-teriak lantang tentang pemerintah yang tak becus, tentang keadilan, tentang mahakarya yang akan kau cipta demi maslahat sebanyak-banyaknya umat, tentang orang-orang susah yang akan kau bela sampai titik darah penghabisan. Betapa aku kagum padamu saat itu. Yei, kawanku, bagiku kau masih seperti dulu, namun lihatlah dirimu sekarang, ke mana kata-katamu dulu? Ke mana taringmu itu? Membuatku bertanya-tanya: adakah semacam kabut tipis yang melayang-layang di kantor-kantor para petinggi pemerintah itu, yang membuat mereka lena, terhipnotis sehingga menjadi amat takut kehilangan apa yang tengah mereka miliki?
Kawanku pemimpin, tengoklah aku berdiri di sini, di pinggir jalan, mendekap buku sejarah dengan halaman-halaman yang kosong lantaran pena sejarah yang berada di tanganmu yang dengan penuh harapan kami amanahkan padamu, tak mampu menuliskan apapun. Tidakkah kau sadari? Bahwa kau selalu condong, bengkok berturut, ke mana pun angin bertiup. Kau terombang-ambing tak berdaya dalam arus besar kafilah para pemimpin yang berlomba secepat-cepatnya mencapai zona nyaman, bukan berlomba menyongsong tantangan demi tantangan. Kami perlu perubahan dan ibarat perubahan itu sebuah persamaan matematika sebagai formula yang hebat untuk memajukan bangsa ini, maka kau, kawanku pemimpin, harus hadir dalam formula sebagai gradien yang menjadi penentu ke mana bangsa ini akan mengarah.
Kawanku, dalam masa pancaroba macam gasing ini, jadikanlah rongga kalbumu sebagai mahkamah, integritasmu sebagai konstitusi dan hati nuranimu sebagai hukum tertinggi. Karena kami tak senang melihat kaummu, para pemimpin itu, tampak tak berbeda satu sama lain. Dan kami tak ingin melihat taringmu tumbuh lagi nanti setelah kau tak berkuasa. Jangan sampai sudah pensiun nanti baru jernih lagi pikiranmu, tegas lagi tindakanmu. Cukup sudah semua pemandangan itu! Kami memerlukanmu sekarang! Kami memerlukan dirimu yang dulu, seorang pemimpi dan pejuang sejati! Keadaan mendesak! Saat ini juga!
Karena, kawanku pemimpin, sikap koruptif bukan hanya kecenderungan untuk mengambil apa yang bukan hakmu, namun kealpaan dari tidak memberikan apa yang seharusnya kau berikan. Jika para pemimpin alpa, lambat laun kita akan terkucil nun di sana, di sudut peradaban. Ah, kawanku, sungguh aku rindu dirimu yang dulu.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Yayuk Basuki, Hal: 274-275.