Bukan Atasi Masalah Kekerasan
Jakarta, Kompas – Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan yang kini dibahas di DPR dinilai bukan jawaban untuk mengatasi kekerasan yang kerap dilakukan aktivis ormas. Ini dinilai dalih keengganan penegak hukum untuk memproses pelaku kekerasan.
Ridaya Laodengkowe dari Koalisi untuk Kebebasan Berserikat, Selasa (31/7), di Jakarta, mengatakan, bila terjadi kekerasan, polisi seharusnya menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pelaku, orang yang menyuruh, sampai donatur harus bisa dijerat. ”Kami melihat, polisi enggan bertindak lalu melempar tanggung jawab dan RUU Ormas menjadi jalan pintas yang sangat tidak sesuai dengan kehidupan demokrasi Indonesia,” tuturnya.
Ketika pelaksanaan berserikat mengganggu hak orang lain, organisasi bisa dibubarkan. Namun, pembubaran bukan kewenangan pemerintah. Hal ini seharusnya diuji di peradilan, apalagi ada Undang-Undang Nomor 28/2004 tentang Yayasan dan pengaturan soal perkumpulan pada Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum.
Ridaya menganalogikan kewenangan kejaksaan melarang peredaran buku tertentu yang kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pelarangan buku harus diajukan ke peradilan. Demikian pula pembubaran organisasi, seharusnya diuji di pengadilan.
Karena itu, menurut Ridaya, pengaturan terkait ormas semestinya cukup menggunakan UU Yayasan dan aturan tentang perkumpulan. Karenanya, ormas perlu berbadan hukum.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, kemarin, menegaskan, RUU Ormas tidak hanya mengatur antisipasi ormas pelaku kekerasan. Justru, RUU menyangkut nomenklatur, asas, tujuan, peran, fungsi, penataan kehidupan yang sehat, dan keuangan. Kebebasan berserikat dan berkumpul dilindungi konstitusi juga perlu diatur. (INA)
Sumber: KOMPAS, Rabu, 1 Agustus 2012, Halaman: 5.