Blak-blakan Membongkar Tabu
Banyak orang terkejut ketika, pada 1998, Ayu Utami menerbitkan novel berjudul Saman. Selain temanya berkaitan dengan kehidupan budaya dan pergerakan demokrasi di era Orde Baru yang baru saja berakhir, Ayu dengan berani mengisahkan hubungan seks tokoh-tokoh di dalamnya. ini hal ihwal yang masih tabu dan belum jamak dilakukan saat itu.
Ayu tak pernah menganggap masalah seks sebagai dinding kukuh yang tak boleh diruntuhkan, sebab seks merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Karena itulah keberaniannya menuliskan hal-hal seperti itu, membongkar tabu, sebenarnya tak mengejutkan orang yang telah mengenalnya. Ia adalah aktivis demokrasi yang menginginkan kebebasan menyampaikan pendapat tak lagi dihalang-halangi. Bagi dia, alasan ketimuran dan etika agama hanyalah bentuk lain pengekangan yang seharusnya sudah tak ada.
Sebelum meluncurkan Saman, Ayu telah malang melintang di dunia jurnalistik. Selama 1991 ia menulis kolom mingguan sketsa di harian Berita Buana. Ia pernah bergabung dengan media-media pro-demokrasi, seperti D&R dan Forum Keadilan. Ayu juga menggagas dan ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994, setelah terjadi pembredelan terhadap Tempo, Editor, dan Detik.
Keberanian Ayu terbuka soal seks dalam karya sastranya kemudian diikuti sejumlah pengarang perempuan lain, seperti Djenar Maesa Ayu. Ayu dan Djenar, bersama dewi Lestari, kemudian menjadi pelopor gelombang pengarang perempuan Indonesia yang menjadi primadona di awal 2000-an.
Ayu cukup produktif. Setelah Saman, berturut-turut ia menerbitkan Larung (2001), Si Parasit Lajang (kumpulan esai, 2003), Bilangan Fu (2008), Majali dan Cakrabirawa (2010), Cerita Cinta Enrico, dan Lalita (2012). seperti sudah dimulainya sejak awal, hingga novel terakhirnya Ayu mempertahankan gayanya yang blak-blakan.
Memimpi dan Memimpin
Kupikir, seorang pemimpin harus juga seorang pemimpi ia bermimpi tentang sesuatu yang lebih baik dari hari ini. Lalu, ia kembali pada hari ini, melihat-lihat apa yang tersedia, dan mencoba mewujudkan mimpinya dari sana.
Seperti pemimpi dan pemimpin, ada dua ujung, ada dua arah, yang berbeda namun membentuk satu garis. Ah, tidakkah begitu: sebuah garis lurus selalu memiliki dua seberang?
Dan kita hanya bisa berada di salah satu seberang pada satu waktu. Kita tidak bisa berada di keduanya sekaligus. Kita harus memilih.
Maka, ketika kau sudah membuat pilihan, ingatlah bahwa kau punya seberang. Kau membutuhkan “lawan” untuk membuat satu garis. Jadi, jangan benci lawanmu. Jangan benci yang berbeda dari kamu.
Orang tidak bisa hanya terus-terusan bertindak. Ia pun perlu tidur dan menemui mimpi.
Dan, apa artinya pemimpin? Ingatlah, bahwa ia hanya bisa berada di satu seberang, tidak di keduanya. Justru itu ia harus bisa membayangkan dan menghargai yang di seberang sana.
Orang toh harus memilih. Jika kau pilih mengurusi hal-hal besar, ingatlah bahwa kau perlu orang lain untuk mengurusi hal-hal kecil. Yang besar tidak lebih penting dari yang kecil. Jika kau memilih memimpin yang di atas, ingatlah kau perlu orang lain untuk memimpin di bagian bawah. Yang di atas tidak lebih benar dari yang di bawah. Jika kau memilih menguasai yang di luar, kau memerlukan orang lain untuk menguasai yang di dalam. Jika kau memilih untuk melayani masyarakat luas, yang tak kau kenal, kau perlu orang lain untuk merawat yang kau kenal, makhluk-makhluk di sekitarmu.
Maka itu, jadilah pemimpin. Di titik yang kau pilih. Biarkanlah orang lain memimpin, di titik yang mereka pilih.
(Saya sendiri memilih untuk merawat mimpi dan visi, melalui karya sastra)
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Ayu Utami, Hal: 276-279.