Bisnis Tak Mengenal Usia
Umur hanyalah sekedar angka. Ungkapan itu bisa menggambarkan Theodore Permadi Rachmat, mantan bos PT Astra International Tbk. Di usia 55 tahun, kala eksekutif lain pensiun atau menikmati hari tua, dia justru menekuni yang dilakukan anak muda: memulai usaha. “Saya bekerja terus karena saya senang,” kata dia.
Teddy memulai karier sebagai salesman alat-alat berat Allis Chalmers Astra — salah satu divisi PT Astra International Inc. Walau Astra dimiliki pamannya, William Soeryadjaya, Teddy tak memanfaatkan hubungan itu. Baru pada 1984 Teddy diberi kursi sebagai Presiden Direktur PT Astra International Tbk.
Di tangan Teddy, Astra menjelma menjadi konglomerasi dengan lebih dari 200 anak perusahaan. Padahal saat itu, sektor otomotif sedang lesu. Angka penjualan mobil yang diageninya — Toyota, Daihatsu, Peugeot dan Renault — sedang merosot. Tapi Teddy maju terus.
Teddy menggagas terbentuknya Astra Total Quality Control. Dia juga tak segan investasi puluhan pada pengembangan sumber daya manusia dengan mendirikan Astra Management Development Institute.
Selepas dari Astra, Teddy membentuk Triputra Group. Usahanya berkembang di berbagai bidang: manufaktur, perkebunan dan energi. Dalam beberapa tahun,omsetnya sudah melejit hingga puluhan triliun. Dia juga ikut membidani Grup Adaro dan Grup Adira.
Baginya, tak ada istilah terlalu tua untuk memulai sesuatu, karena manusia tak bisa berhenti bermimpi. “Mimpi saya, memerangi kemiskinan dan kebodohan,” kata dia. Harapannya, usahanya bisa lebih banyak menyerap tenaga kerja.
Kepada Sahabat-Sahabat Pemimpin Muda yang Saya Cintai
“Harimau mati meninggalkan belang; Gajah mati meninggalkan gading; Manusia mati meninggalkan karakter dan karya terbaiknya”. Begitulah ungkapan bijak yang lazim kita dengar, yang menunjukkan bahwa warisan terbesar dari kehidupan seorang manusia bukanlah terletak kepada kekuasaan dan kekayaannya, namun terutama kepada akhlak pribadi dan kontribusi yang diberikannya kepada sesama.
Surat ini saya tulis sebagai refleksi atas pembelajaran pribadi, yang diolah dari berbagai bacaan maupun pengalaman profesional saya sebagai karyawan, CEO, dan pemilik perusahaan, sejak tahun 1968 hingga saat ini, 2012. Lewat pembelajaran itulah, selama lebih dari 40 tahun, saya membangun karakter pribadi dan kontribusi publik, hingga pada akhirnya saya boleh mengatakan bahwa “saya meninggalkan dunia dalam keadaan yang lebih baik daripada ketika saya memasukinya”.
Ya.., semangat untuk “menghadirkan perbedaan” itulah yang mendorong langkah dan kiprah saya selama ini sebagai pemimpin di lingkungan bisnis. Semangat “creating difference” membuat saya tak hanya berpikir untuk kesuksesan dan kepentingan diri sendiri, namun juga keberhasilan dan kesejahteraan banyak orang. Seperti kata pakar kepemimpinan John Maxwell, “success is when we add value to ourselves; significance is when we add value to others”. Saya sungguh-sungguh mengajak para pemimpin muda agar bisa melepaskan diri dari egoisme individual/sektoral, yang meletakkan kepentingan pribadi dan kelompok sebagai prioritas perjuangan. Sebaliknya, kita harus melangkah melampaui batas egoisme tersebut dan berjuang untuk kepentingan yang lebih besar, baik itu kepentingan organisasi, masyarakat, bangsa dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan secara luas. Berbekal semangat itulah, saya membangun praktik profesionalism, meritocracy, fair-competition, good corporate governance dan juga corporate social responsibilities di lingkungan perusahaan yang saya pimpin.
Pengalaman saya mengajarkan, tak ada cita-cita yang bisa diraih secara instan dengan menempuh jalan shortcut. Kesuksesan dalam pengertian yang sejati adalah sebuah proses yang tak berujung, yang dibangun di atas kerja keras, ketekunan dan juga kesabaran. Ada “harga yang harus kita bayar” untuk sebuah pencapaian. Dalam pengamatan saya, era modern dengan segala kecanggihan teknologinya, telah melahirkan mentalitas pragmatisme di dalam benak para kaum muda. Kaum muda ingin meraih impiannya secepat kilat, layaknya seseorang yang langsung memetik buah dari pohon yang tidak ditanami dan disiraminya. Ini jelas sikap yang tidak benar, karena agama dan ajaran suci manapun mengajarkan manusia untuk bekerja dan bekerja, agar bisa mencukupi diri dan sekitarnya secara bermartabat. Oleh karenanya, di dalam organisasi bisnis yang saya pimpin pun, saya selalu menekankan pentingnya “proses” (process), bukannya “hasil” (result). Saya sangat percaya, selama proses bisnis sebuah perusahaan tertata dengan baik, maka akan mendatangkan hasil bisnis yang baik pula. Sebagai contoh, perusahaan manufaktur otomotif kelas dunia seperti Toyota Motor Corporation dapat menunjukkan kinerja bisnis yang unggul dan berkesinambungan, karena mereka memiliki manajemen proses yang tertata rapi, lengkap dan konsisten, yang kita kenal dengan nama Toyota Production System.
Para pemimpin muda yang saya cintai, saya percaya anda pasti memiliki cita-cita yang tinggi (ambisi) dan kecakapan yang hebat (kompetensi). Namun demikian, harus saya katakan bahwa perpaduan “ambisi dan kompetensi” bisa melahirkan pedang bermata-ganda. Pedang itu bisa tampil menjadi sebuah “blessing” (berkat/rahmat), atau sebaliknya menjadi suatu disaster (bencana). Ia akan menjadi sebuah blessing, jika hasil yang ditunjukkan mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bagi banyak orang. Sebaliknya ia akan berubah menjadi disaster, tatkala mendatangkan hasil yang justru merugikan banyak orang dan merusak hakikat kehidupan itu sendiri. Bagi saya, yang membedakan apakah hasil karya kita akan menjadi blessing atau disaster adalah values atau nilai-nilai yang mendasarinya. Pastikan bahwa kita melandasi setiap niat dan usaha kita dengan nilai-nilai kehidupan yang mulia, yang tak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, namun juga bagi sesama dan segenap makhluk di sekitar kita.
Perkenankan saya untuk membagikan empat nilai dasar (basic values) yang telah menuntun geraklangkah saya selama puluhan tahun di dunia bisnis dan manajemen, yakni nilai : ethical (sikap etis yang mendalam), excellent (dorongan keunggulan yang kuat), humble (kerendahan hati yang tulus) dan compassionate (bela-rasa yang melimpah kepada sesama). Di atas keempat kualitas dasar inilah, saya membangun praksis kepemimpinan saya di berbagai organisasi bisnis selama ini. Saya pun percaya, sahabat-sahabat pemimpin muda juga akan mampu merumuskan basic-values yang tepat, yang akan menopang kepemimpinan anda di masa depan; kepemimpinan yang lebih kuat, bermartabat, sekaligus mendatangkan maslahat bagi sesama manusia dan segenap makhluk di muka bumi.
Ibarat sebuah pohon, daun yang rindang dan batang yang kekar semestinya ditopang oleh akar yang kuat pula. Bangunlah akar yang kuat, yang mendatangkan ketegaran bagi diri sendiri, dan juga kebaikan bagi sesama. Penggalan pemikiran Mahatma Gandhi berikut ini akan mengakhiri surat saya kepada anda, para sahabat pemimpin muda,: “keep your values positive, because your values become your destiny”.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: T. P. Rachmat, Hal: 168-170.