Bangsa Kita Masih Suka Membenarkan Kebiasaan daripada Membiasakan Kebenaran
Kita semua menghadapi masalah yang klasik. Kita semua mengharapkan perubahan, tapi kita tidak tahu darimana harus memulai. Akibatnya kita semua hanya melakukan hal yang sama dari hari ke hari, kita lebih suka membenarkan kebiasaan daripada membiasakan kebenaran. Jadi omong kosong perubahan akan datang. Perubahan hanya bisa datang kalau para individu mau “bergerak” bukan hanya dengan omongan atau berwacana saja.
Dilihat dari dimensi manajemen, fenomena lambatnya suatu reformasi selain karena organisasi tersebut tidak memiliki sumber daya (terutama teknologi dan finansial) yang cukup untuk mendongkrak perubahan, juga dipengaruhi oleh lemahnya faktor human capital, terutama karena karyawan pada organisasi tersebut tidak mampu melakukan adaptasi cara berpikirnya. Ini adalah kesalahan manajemen, terutama para pemimpinnya.
Manajemen terlambat menyiapkan karyawan perusahaan, sehingga karyawan tidak memiliki spirit dan keyakinan diri, kehilangan misi hidupnya, tidak memiliki visi (masa depan), sehingga kehilangan kemampuan, keberdayaan atau peluang untuk mengembangkan dirinya sendiri – pada akhirnya mereka tidak memiliki kemampuan untuk merubah cara berpikirnya, mereka tidak mampu merubah paradigmanya.
Situasi ini akan berakibat fatal pada perusahaan. Perusahaan akan menjadi sebuah organisasi yang tidak mampu merespons berbagai perubahan yang terjadi. Mereka terpaku untuk mempertahankan atau membenarkan kebiasaan, daripada berjuang untuk membiasakan kebenaran. Mengapa? Karena mereka tidak tahu bagaimana harus bersikap dan berjuang untuk dapat bertahan hidup di era baru.
Musibah tabrakan kereta api listrik di wilayah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Kamis, 30 Juni 2005, dapat dijadikan contoh dari kentalnya mempertahankan kebiasaan, sehingga menyebabkan kecelakaan yang berulang-ulang. Dari peristiwa tersebut, lima orang menjadi korban meninggal, sementara puluhan lainnya menderita luka-luka, baik ringan maupun berat, seperti harus diamputasi. Musibah berdarah yang terjadi pada kereta api di perlintasan Pasar Minggu itu bukan kejadian yang pertama.
Mungkin juga bukan yang terakhir terjadi, karena jika kita kaji akar permasalahannya, baik tentang keadaan sistem manajemen perkeretaapian yang sekarang berjalan (kondisi sistem palayanan, sistem keselamatan, atau faktor kedisiplinan pimpinan maupun karyawan operasionalnya), maupun sikap dan perilaku masyarakat pada umumnya, masih belum mampu belajar dari kesalahannya, belum tahu bagaimana harus bersikap dan berjuang untuk memperbaiki kelemahan-kelemahannya, sehingga masih mungkin menjadi penyebab kecelakaan serupa di masa datang.
Cerita lain, ketika Aa Gym berceramah di sebuah instansi pemerintah yang mengurusi masalah angkutan laut. Dalarn kesempatan itu, Aa Gym sempat pula berdialog dengan para direksinya, terungkap bahwa instansi tersebut tengah mengalami masa-masa sulit, yakni jumlah pengguna pelayanan kapal laut terus mengalami penurunan. Penyebabnya adalah masyarakat cenderung memilih angkutan udara yang lebih cepat dan semakin murah tarifnya.
Berkurangnya pengguna jasa kapal jelas mempengaruhi tingkat pendapatan, padahal biaya operasional dan gaji karyawan begitu besar dan tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh perusahaan. Lebih Jauh, biaya operasional akan terus bertambah dengan datangnya kapal baru yang dipesan beberapa tahun sebelumnya. Apakah kita harus menyalahkan bisnis angkutan udara yang telah menyebabkan kesulitan bisnis angkutan laut?
Di balik cerita nyata ini, tampak adanya hal yang dapat kita petik sebagai pelajaran, bahwa siap atau tidak siap, kita harus siap untuk menghadapi berbagai perubahan yang akan memaksa kita. Kasus ini menunjukkan bahwa ada perusahaan angkutan laut yang belum siap dan bahkan belum tahu bagaimana harus bersikap dan berjuang untuk dapat mempertahankan hak hidupnya. Kedua kasus di atas hanya sebuah contoh, dan masih banyak contoh kasus-kasus lain yang menggambarkan bahwa kebanyakan dari kita belum mampu belajar dari pengalaman atau dari kesalahan masa lalu; sebut saja kasus manusia mati tertimbun sampah di Cimahi dan kemudian berulang di Bantar Gebang; kasus tenggelamnya 9 Desa di Sidoarjo oleh lumpur yang juga bukan merupakan kasus pertama; begitu pula kasus penggundulan hutan, dan yang paling hebat adalah kasus BLBI dan belum berhentinya oknum korupsi.
Berulangnya kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa bangsa kita masih suka membenarkan kebiasaan daripada membiasakan kebenaran. Perusahaan maupun manusia lndonesia telah kehilangan misi hidupnya, kebanyakan dari kita lupa pada alasan mengapa Tuhan melahirkan kita di dunia ini? Kebanyakan dari kita tidak mengenal dirinya dan tidak tahu apa yang harus diperbuat ketika zaman telah berubah, yang menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku. Kita kehilangan arah hidup, kita tidak tahu ke mana kita harus berubah.
Jika kembali pada konteks perusahaan, kasus ini adalah contoh dari perusahaan yang keberadaannya bukan karena adanya misi organisasi yang harus diperjuangkannya, tapi kita membiarkan keberadaan perusahaan seperti ini, karena kita membenarkan atau mempertahankan kebiasaan yang salah. Secara sadar, bahwa penguasa telah membelokkan misi perusahaan-perusahaan tersebut, dari perusahaan yang seharusnya mengemban misi untuk mensejahterakan masyarakat, telah dirubah menjadi perusahaan untuk mensejahterakan dirinya atau memakmurkan golongannya.
Pada saat kehilangan misi dan arah hidup seperti ini, dapat diibaratkan bahwa perusahaan seperti ini mirip dengan manusia yang mempertahankan kehidupannya tanpa mau berusaha, artinya hidup hanya dengan mengandalkan pada “belas kasihan dari Tuhan”. Selama nasib masih berkenan kepada mereka, selama itu pulalah mereka masih dapat hidup di dunia ini. Namun, seandainya nasib berkata lain (misal: munculnya para pesaing baru, krisis ekonomi, atau pergantian penguasa) maka perusahaan seperti ini segera akan mengalami kesulitan, dan akhirnya akan bangkrut, dan setiap kebangkrutan perusahaan tentu akan menciptakan para pengangguran baru di negara yang kita cintai ini.
Disarikan dari buku: Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar, Penulis: Jann Hidayat Tjakraatmadja, Donald Crestofel Lantu, Hal: 53-56.