Apa yang Bisa Kita Lakukan untuk Hutan Kota?
Saya terlahir di sebuah kota kecil di Sulawesi Tenggara, Kota Raha, atau yang lebih dikenal masyarakat dunia dengan istilah Kota Jati. Seperti yang terjadi pada umumnya, Kota kami disebut Kota Jati karena kami adalah salah satu penghasil jati terbesar dengan kualitas terbaik di Indonesia.
Di masa kecil saya, hutan kami membentang nyaris di seluruh kota, utamanya dua kawasan hutan lindung utama yaitu; Hutan warangga yang membentang dari jalan Pendidikan sampai sepanjang warangga dan hutan jompi yang notabene jompi adalah mata air utama kota Raha. Kami mendapat banyak sekali kebaikan dari dua hutan itu. Udara yang asri, hewan-hewan yang beraneka ragam, cericit burung yang syahdu sepanjang hari, dan tentu saja air bersih yang berlimpah.
Di masa kecil saya pula, penebangan hutan memang sering dilakukan. Saya tahu saya tidak bisa menutup mata bahwa kayu jati adalah termasuk kualitas kayu terbaik yang termasuk dalam golongan kayu kelas satu. Dengan itu, notabene harga kayu jati tidak bisa dibilang sedikit. Orang-orang bisa kaya dengan berbisnis jati, bahkan tidak jarang saya mendengar orang-orang menolak menjadi PNS hanya untuk ikut berbisnis jati.
Industri perabotan pun berkembang pesat di kota kami. Hanya bagusnya, dulu itu sekalipun dilakukan penebangan, proses penebangannya juga melipatkan pihak yang berwajib (yang juga bertanggung jawab) dan masih dilakukan proses tebang pilih. Jadi jati yang ditebang adalah jati yang dianggap sudah layak dan untuk satu batang jati yang ditebang selalu dilakukan penggantian untuk minimal satu batang jati baru.
Sehingga dengan semua sistem itu, ekosistem alam bisa tetap dilestarikan. Saya tidak ingat siapa Bupati kami saat itu. Itu mungkin sekitar tahun ‘97, dan saya bahkan terlalu kecil untuk mengingat sistem politik yang ada. Tapi siapapun Bupatinya saat itu, saya rasa dia cukup bertanggung jawab pada tugasnya.
Sampai kemudian, waktu terus berganti, dan semua berubah sejak negeri api menyerang….
Sekarang, tidak ada lagi hutan kami. Entah bagaimana semua kawasan hutan kami sudah bertransformasi menjadi kawasan perkebunan jagung. Ini miris dan benar-benar miris tak ada satupun lagi yang peduli pada nasib hutan kami. Mereka yang punya kuasa, malah menutup mata dan sibuk memperebutkan kekuasaan. Masyarakat kecil juga tak mau tahu dan memanfaatkan moment itu untuk menggunakan lahan kosong yang terbengkalai sebagai perkebunan.
Okey, saya tahu itu bukan salah masyarakat yang berkebun disana. Saat mereka menggunakan lahan itu sebagai kebun, lahan itu memang sudah kosong karena penebangan liar yang dilakukan Voldemort featuring Raja Api. Mereka hanya memanfaatkan lahan kosong yang tidak berguna itu, dengan alasan; “Kami akan mengembalikannya jika lahan ini mau digunakan lagi untuk kawasan hutan”.
Apa mereka benar-benar akan mengembalikannya? Semoga saja. Dan semoga pula mereka sadar bahwa hasil kebun yang mereka dapatkan, sungguh tidak sebanding dengan kerusakan alam dan keburukan yang bisa mengikuti setelah itu.
Lantas jika bukan masyarakat yang berkebun itu, siapa yang bisa disalahkan? Pemerintah yang menutup mata, atau para penebang yang menutup wajah.
Seperti biasa, menyalahkan pemerintah memang yang termudah meskipun tak pernah ada gunanya. Mudah karena kita melihat mereka dengan jelas, dan tak ada gunanya karena mereka tidak akan mendengarkan protes itu. Bahkan setahu saya, dalam kampanye Legsilatif barubaru ini, tidak ada satupun yang berani memberi janji untuk menghijaukan kembali hutan kami. Mereka sudah terlalu tak peduli.
Tapi kita tidak boleh terus menutup mata. Paling tidak kita sebagai pemuda, harus mengambil tindakan untuk melakukan perbaikan. Lihatlah sekarang, kita mulai kehabisan air bersih. Jika hujan turun air yang tiba dari saluran PDAM kotor dan keruh, jika hujan tidak turun sumber-sumber mata air mengering. Okeylah, jompi memang masih bertahan sampai sekarang, tapi sampai kapan?
Burung-burung saja sudah bermigrasi ke rumah-rumah warga dan bertengger di pohon-pohon mangga. Bukankah ini mengerikan? Hari-hari ini burung-burung ini yang bermigrasi dari kawasan hutan, besok mungkin kita yang harus pindah dari kota kita sendiri.
Marilah kita menggalang kekuatan dan kembali menghijaukan kota kita. Ini sungguh bukan tindakan pemberontakan pada pemerintah atau pengkhianatan bagi masyarakat yang berkebun di sana. Semua elemen masyarakat harus mulai menyadari bahwa proses penghijauan hutan kita adalah tindakan untuk kemaslahan bersama. Sudah tak ada gunanya lagi saling bertanya siapa yang salah, siapa yang menebang, siapa yang menjual. Waktunya untuk kita bertanay; “Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan”.
Para pemimpin harus menyadari bahwa sebagai pemimpin mereka bertanggung jawab pada rakyatnya dan lingkungan tempat mereka tinggal. Masyarakat harus menyadari bahwa kekuatan besar perubahan ada di tangan mereka. Para penebang harus menyadari bahwa uang mereka tak akan ada gunanya jika kota ini kehbisan hutan dan keluarga mereka kesulitan air bersih. Orang-orang yang berkebun disana harus menyadari bahwa itu adalah lahan hutan.
Semua orang harus mulai menyadari bahwa proses penghijauan hutan adalah untuk kemaslahatan bersama. Semua orang harus menyadari bahwa kita bisa bekerja sama. Bahwa pemerintah, masyarakat, dan bahkan para penebang membutuhkan air dan udara bersih.
Finally, saya menawarkan sebuah solusi. Kita mengetahui bahwa jati memang akan menjadi godaan yang hebat untuk kota kita. Maka saya menawarkan bagaimana kalau dalam proses penghijauan ini, setengah lahan hutan saja yang kita tanami jati. Yang lainnya bisa kita tanami buah-buahan, toh akarnay bisa tetap menyerap air dan daunnya tetap menjaga keseimbangan oksigen. Dan kalau berbuah nanti, keakraban masyarakat bisa semakin dekat dengan melakukan pemanenan rakyat.
Haruskah kita bahagia dengan uang yang berlimpah? Tidak. Kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sederhana.
Sekali lagi, hutan adalah untuk keperntingan bersama, dan penghijauan hutan bukan untuk saling menjatuhkan.
Pemerintah dan Masyarakat, semua membutuhkan hutan.
Masyarakat seharusnya bekerja sama dengan pemerintah, bukan saling menyalahkan.
Sumber: Kompasiana, Senen 05 Mei 2014.