Akuntabilitas dan Transparansi LSM: Problem dan Ikhtiar
Dalam sebuah survei yang dilakukan akhir 2000 lalu, salah satu pertanyaan yang diajukan PIRAC kepada 2.500 responden di 11 kota besar adalah: mengapa mereka menolak mendukung atau menyumbang kegiatan organisasi nirlaba atau LSM? Jawaban yang diperoleh cukup menarik. Responden yang berasal dari kelas A (berpenghasilan Rp1,5 juta ke atas) dan kelas B (berpenghasilan Rp750 ribu-Rp1,5 juta) menyatakan bahwa mereka menolak menyumbang karena tidak percaya dengan orang-orangnya (43% dan 34%), tidak punya uang (22% dan 28%), tidak percaya organisasinya (14% dan 11%), tidak percaya programnya (11% dan 7%), dan sisanya (10%) karena faktor-faktor lain, seperti terlalu sering diminta dan tidak ada follow up. Sementara kelas C yang merupakan kalangan kelas bawah (berpenghasilan di bawah Rp750 ribu) menyatakan menolak mendukung lembaga nirlaba, karena: tidak punya uang (49%), tidak percaya orangnya (28%), tidak percaya programnya (7%), tidak percaya organisasinya (6%), dan sisanya (10%) karena laktor-faktor lain.
Data di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas sosial masyarakat, yang merupakan calon pendukung atau donatur potensial LSM, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan yang harus dibangun oleh LSM untuk menarik dukungan dari mereka. Bagi masyarakat kelas menengah ke atas (kelas A & B), penolakan mereka untuk memberikan dukungan, khususnya pendanaan, bukan semata-mata karena mereka tidak punya uang. Penolakan mereka lebih disebabkan karena ketidakpercayaan pada orang-orang LSM, program-programnya dan organisasinya. Ini berarti keberhasilan menggalang dukungan dari kalangan ini sangat bergantung pada sejauh mana organisasi nirlaba atau LSM mampu menumbuhkan kepercayaan mereka. Sebaliknya, semakin ke bawah kelas sosial masyarakat, penolakan mereka lebih disebabkan karena kemampuan finansialnya, selain faktor kepercayaan, seperti yang disebutkan di atas.
Hasil survei tersebut menggambarkan bahwa dukungan terhadap LSM, khususnya dukungan pendanaan, terkait erat dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LSM, serta manfaat yang diperoleh masyarakat dari berbagai program dan ekegiatan yang dilakukannya. Celakanya, justru faktor kepercayaan inilah yang menjadi problem utama LSM Indonesia saat ini. Minimnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap LSM terkait dengan rendahnya akuntabilitas dan transparansi LSM di mata publik. Karena dianggap tidak transparan dan akuntabel, kepercayaan masyarakat kepada LSM kian menurun, yang berujung dengan memudarnya dukungan serta legitimasi sosial dan moral LSM tersebut di mata publik. Masyarakat sering menyoal, “kenapa LSM yang selalu menggugat transparansi dan akuntabilitas pemerintah, justru tidak transparan dan akuntabel kepada publiknya sendiri, misalnya, tidak pernah melaporkan program dan keuangan yang dikelolanya secara terbuka…?”
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 60-61.