Adipati Karna von Jerman
Pater Jesuit muda itu mendarat di bandara Kemayoran, Jakarta. Keluarganya cemas. Ini negeri asing baginya. Maklum, pada 1961 itu Indonesia tengah diguncang prahara politik. Tapi Franz Graf von Magnis, anak muda itu, langsung merasa nyaman dengan Indonesia. “Saya merasakan keramahan ketika pertama kali tiba,” ucapnya.
Ia lahir sebagai sulung dari keluarga bangsawan Graf von Magnis di perbatasan Jerman Timur dan Polandia. Klan bangsawan itu tinggal di sebuah kastil seluas kebun raya Bogor selama 300 tahun. Namun dia lebih memilih untuk menjawab panggilannya sebagai seorang imam Katolik dari ordo Serikat Yesus.
Meskipun datang sebagai orang asing, ia lebih memilih menjadi bagian dari Indonesia. Setibanya di Indonesia dia ditugaskan untuk belajar bahasa Jawa, salah satunya di Kulonprogo, Yogyakarta. Dari sana dia mulai mendalami seluk beluk budaya Jawa dan pewayangan.
Maka, dia begitu gembira ketika secara resmi diterima sebagai Warga Negara Indonesia pada 1977. Magnis pun membuang nama tengahnya dan menggantinya menjadi Franz Magnis-Suseno. Tambahan Suseno di belakang namanya itu mirip dengan nama Basuseno, nama lain Adipati Karna, tokoh wayang yang sangat dia kagumi.
Karna lahir sebagai seorang Pandawa, namun lebih memilih tetap menjadi bagian dari Kurawa, kelompok yang membesarkannya dan menjadi musuh para Pandawa. Baginya tokoh Karna ini sangat simpatik meskipun beriwayat tragis.
Sebagai WNI, Magnis amat mengagumi Pancasila yang menjunjung kebinekaan. Sikap plural itu kemudian menjadi sikap hidupnya. Ia akrab dengan sejumlah kiai dan tokoh agama lain, dari intelektual, kalangan moderat hingga penganut garis keras. Dalam beragama, kata Magnis, ia terhitung radikal. Menurutnya, radikalisme bisa berjalan beriringan dengan sikap terbuka, toleran dan tak memandang sinis agama lain.
Adik-Adiku,
Dalam 61 tahun sejak saya datang dari Jerman ke Indonesia saya menyaksikan banyak kejadian yang mengecewakan, bahkan mengerikan. Tetapi yang jauh lebih banyak saya alami adalah keramahan orang-orang Indonesia yang tidak dibuat-buat, keluhuran budaya, kekuatan batin mereka dalam menghadapi tantangan, kesediaan untuk menghormati kebhinnekaan saudara dan saudari sebangsa, serta kebanggaan mereka sebagai orang Indonesia. Dan saya menyaksikan bahwa bangsa Indonesia dari setiap kejatuhan bangkit dengan lebih baik, lebih terbuka, lebih bersemangat. Karena itu, di umur saya yang 76 tahun, saya bahagia menjadi warga negara Indonesia, meskipun sering dirundung macam-macam kekhawatiran.
Kalau saya boleh memberi nasihat: Adik-adikku, jangan mau dikalahkan oleh pesimisme, kekecewaan dan segala macam kebencian. Berjuanglah bagi masa depan yang lebih manusiawi, lebih luhur dan lebih maju. Anda akan berhasil.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Franz Magnis-Suseno SJ, Hal: 28-29.