Pengetahuan dan Proses Belajar Manusia
Pendahuluan
Drucker (1992) menjelaskan bahwa kita saat ini telah memasuki era revolusi infomasi, yaitu era dimana pengetahuan berhasil diaplikasikan pada pengetahuan itu sendiri. Pada era kini yang disebut pengetahuan adalah informasi yang terstruktur dan terpakai secara merata dan digunakan untuk memberikan arahan agar terjadi proses transformasi (proses kerja) yang efisien kian efektif, sekaligus informasi itu pula dibutuhkan untuk pengendalian hasil (keluaran). Pada konsep ini dinyatakan dengan tegas bahwa kunci sukses meningkatnya kesejahteraan serta kualitas kehidupan kerja individu maupun kelompok pada suatu organisasi, sangat ditentukan oleh penemuan dan pendalaman atas ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, anggota dari organisasi tersebut.
Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri dimulai atau dipicu oleh berkembangnya naluri intelektual dan naluri kemanusiaan manusia dan telah menimbulkan dua tantangan utama di dunia bisnis, yaitu tantangan untuk mampu menghadapi persaingan bisnis global dan sekaligus tantangan untuk mampu memahami pengaruh perkembangan teknologi pada organisasi. Tantangan di dunia bisnis ini memicu persaingan bisnis yang makin sengit. Untuk menghadapinya, organisasi saat ini menuntut kompetensi manusia yang berbeda dibandingkan dengan organisasi pada 10 tahun yang lalu. Urlich (1990) menyatakan, terdapat tempat kompetensi dasar dari manusia vang dibutuhkan oleh organisasi atau perusahaan masa kini, yaitu:
- Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu memahami karakterisrik paradoks antara keseimbangan untuk berpikir global namun mampu bertindak lokal. Teknologi merupakan alat utama untuk membangun perusahaan agar memiliki daya saing bertaraf global. Teknologi akan berperan maksimal jika implementasinya memperhatikan kesiapan faktor budaya kerja, yang bersifat lokal dibandingkan dengan kesiapan teknologi yang diterapkan secara efektif mencapai sasaran.
- Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu menyeimbangkan antara bertindak efisien (clownsizing) sambil meningkatkan revenue (pendapatan) perusahaan melalui kreativitas, inovasi dan entrepreneurship (kewirausahaan). Wujud teknologi yang makin kecil namun memiliki kernampuan berlipat ganda serta berkembangnya inovasi manusia, memungkinkan dirancangnya sistern dan organisasi yang makin downsizing. Namun, makin canggih teknologi, akan makin banyak peran manusia yang diambil-alih oleh teknologi – artinya, trend downsizing akan menimbulkan pemutusan hubungan kerja, jika manusia dalam organisasi tidak mampu merubah peran dan kompetensinya karena kehadiran teknologi. Maka, untuk meminimasi dampak sosial akibat downsizing, perlu diimbangi dengan upaya merubah peran dan kompetensi kerja manusia dalam organisasi serta meningkatkan pertumbuhan bisnis, sehingga pada akhirnya tidak perlu mengurangi jumlah karyawan
- Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan untuk mampu memahami karakteristik dan penggunatan teknologi maju – baik teknologi proses maupun teknologi informasi (capital structured) untuk memaksimumkan nilai tambah perusahaan. Upaya proses rekayasa ulang sebaiknya mencakup pertimbangan untuk merubah structured capital (perubahan teknologi proses dan informasi) maupun unstructured capital (budaya kerja) secara seimbang. Perubahan yang hanya fokus pada structured capital, telah banyak mengalami kegagalan. Franklin et al. (2001); Hornby et al. (1992); Williams (1995) serta Markus dan Keil (1994) telah mengidentifikasi penyebab kegagalan aplikasi teknologi baru pada sebuah organisasi terutama bukan disebabkan oleh masalah teknik namun akibat masalah psikologik dan organisasi. Penelitian MIT (1990) membuktikan bahwa kegagalan implementasi teknologi informasi terutama disebabkan karena investasi yang dilakukan terlalu fokus pada sisi teknologi, kurang memperhatikan manajemen proses perubahan serta struktur dan budaya organisasi. Lebih lanjut, Cooper dan Markus (1995) menunjukkan bahwa kegagalan aplikasi organisasi baru lebih banyak karena adanya hambatan dari tenaga kerja. Secara umum penelitian-penelitian menunjukkan kesimpulan yang sama bahwa keberhasilan suatu perubahan, bukan ditentukan oleh canggihnya metode dan teknik rekayasa, namun lebih ditentukan oleh adanya komitmen dan kompetensi rnanusia yang terlibat dalam kerja sehari-hari.
Proses perubahan teknologi menuntut komitmen serta keberdayaan tenaga kerja, untuk itu perlu dikelola dengan sistematik dan konsisten. Kebanyakan yang terjadi saat ini, pihak manajemen sering “memaksakan” keinginan suatu perubahan – para pekerja dipaksa untuk mau menyesuaikan dengan teknologi baru, tanpa membangun komitmen, kompetensi, kemampuan belajar serta budaya kerja organisasi.
- Organisasi atau perusahaan menuntut kemampuan karyawan yang memiliki kompetensi individual tinggi, namun seimbang dengan komitmen serta kemampuan untuk belajar dan berubah. Perusahaan masa depan membutuhkan tenaga kerja yang mampu melipatgandakan kompetensinya melalui sinerji dengan teknologi, sistem serta organisasi, sesuai dengan perkembangan lingkungan bisnis global maupun lokal.
Perubahan lingkungan bisnis, menyebabkan perubahan kebutuhan kompetensi manusia, dan akan menimbulkan perkembangan intelektual serta naluri kemanusiaan baru, yang pada akhirnya akan menumbuhkan ilmu pengetahuan baru. Siklus ini akan terus berlanjut dan makin berkembang, mengikuti sumbu antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Konsep tentang pengetahuan yang perlu dimiliki oleh suatu organisasi, dijelaskan lebih lanjut oleh Nonaka dan Hirotaka (1995), sebagai dasar kekuatan yang menentukan daya saing suatu entitas bisnis di masa kini. Menurut Nonaka dan Hirotaka, untuk menunjang era revolusi informasi, suatu organisasi perlu memiliki pengetahuan eksplisit (know how) dan pengetahuan tasit (know why) secara seimbang dan berkelanjutan. Organisasi dapat dinyatakan telah memiliki pengetahuan eksplisit jika setiap anggota organisasi tersebut telah mampu merealisasikan pengetahuan tasitnya menjadi sistem dan prosedur operasional organisasi yang baik, dan pada akhirnya para anggota akan memiliki potensi untuk memahami dan menguasai teori-teori maupun prinsip-prinsip yang lebih universal (know why). Selanjutnya, pengetahuan tasit yang dimiliki suatu organisasi sebenarnya merupakan cerminan dari penguasaan pengetahuan tasit yang dimiliki para anggotanya. Pengetahuan tasit setiap individu bersifat virtual, yang lebih sulit diwujudkan dalam organisasi, namun sebenarnya merupakan sumber enerji potensial suatu organisasi.
Nonaka dan Hirotaka membagi pengetahuan tasit menjadi dua dimensi, yaitu dimensi pengetahuan teknis (keahlian) tentang kerja serta dimensi pengetahuan kognitif yang menghasilkan kreativitas dan inovasi, yang bersumber dari intuisi dan wawasan para anggotanya. Secara empiris diyakini bahwa potensi pengetahuan kognitif insani yang berhasil diwujudkan dalam bentuk suatu kerja (terjadi melalui proses transformasi dari pengetahuan kognitif menjadi pengetahuan untuk kerja) sebenarnya hanya sebagian kecil dari seluruh potensi insani yang dimilikinya. Sebagian besar dari potensi insani ini belum mampu diwujudkan. Untuk mewujudkan pengetahuan kognitif insani yang bersifat virtual ini, sangat dipengaruhi/dilandasi oleh model-model mental, sikap, kepercayaan dan persepsi para anggotanya tentang organisasi, yang semua itu dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan kerja organisasi tersebut. Kombinasi antara kualitas serta kesempatan untuk berkembangnya pengetahuan kognitif anggota ini, sangat menentukan kualitas gagasan abstrak, imajinasi dan visi organisasi jangka panjang, yang sangat dibutuhkan untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan organisasi di masa depan, serta pada akhirnya menentukan kesejahteraan dan kualitas hidup anggota organisasinya.
Selanjutnya, bagian berikut akan membahas pengetahuan beserta hal-hal yang terkait dengan proses tumbuh-kembangnya pengetahuan, khususnya hubungan pengaruh antara pengetahuan dengan kecerdasan, kompetensi kerja, serta dampaknya pada perubahan dan pertumbuhan organisasi berkelanjutan.
Disarikan dari buku: Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar, Penulis: Jann Hidayat Tjakraatmadja, Donald Crestofel Lantu, Hal: 61-65.