Denyut Politik Juragan Minyak
Ia dikenal sebagai pengusaha sukses di dunia perminyakan. Meta Epsi Drilling Company (Medco), perusahaan yang didirikannya pada akhir 1970-an, menikmati rezeki oil boom di masa itu. Sebagai pengusaha lokal, Arifin menerima “suntikan” dari pemerintah. “Tapi, saya tidak manja dan terus berusaha kompetitif,” katanya.
Pada 1995, perusahaan ini membeli sumur minyak PT Stanvac, melalui tender internasional yang ketat. Pada 2010, Majalah Forbes menyebut kekayaan Arifin senilai US $ 985 juta dan menempatkannya di peringkat ke-22 orang terkaya di dunia.
Sebagai mantan aktivis mahasiswa, Arifin tak bisa sangat berjarak dengan dunia politik. Di tengah derasnya aksi unjuk rasa mahasiswa, pada 1998, bersama banyak tokoh lain, Arifin aktif memasok logistik.
Peristiwa 1998 mengantar Arifin ke panggung politik yang lebih luas. Pada 2001, dengan bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, ia bergerak menuju Senayan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi, tak lama kemudian, karena sejumlah perbedaan pikiran, ia terpinggirkan dari PDI -P.
Kediamannya yang luas dan asri di Jalan Jenggala, Jakarta Selatan, tetap menjadi “rumah” tokoh-tokoh penting di republik ini, menjadi tempat berkumpul dan mengasah pikiran. Belakangan, Arifin juga bergulat di persepakbolaan nasional. Sang juragan minyak juga giat mendorong program edukasi yang dirintis Anies Baswedan, yakni “Indonesia Mengajar”.
Anak Muda Indonesia
Apakah kalian sudah menetapkan pilihan akan ke mana hidupmu menuju? Jika belum, jangan khawatir. Masih banyak yang harus kalian lalui dalam hidup ini untuk menemukan jawabannya.
Saya bohong jika berkata sejak mahasiswa saya sudah tahu apa yang saya mau dalam hidup. Saat kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), saya pun sama seperti anak muda lain. Saya juga sering menjumpai momen-momen yang membuat risau.
Tapi, apa pun hambatan yang saya temui, seingat saya, tak pernah saya ragu akan keputusan yang saya ambil. Apa pun risikonya, pantang surut langkah saya.
Sejak kecil saya suka berolahraga: sepak bola, basket, terjun payung, apa saja. Olahraga itu yang membuat saya mudah bergaul, percaya diri, menghargai sportivitas, tak gentar dengan risiko, dan konsisten. Hal-hal ini telah banyak membantu saya dalam perjalanan hidup.
Saya ingat pada awal-awal saya menikahi Raisis Kartiwa, pada tahun 1973. Umur saya baru 28. Saya sedang merintis wirausaha, memproduksi alat-alat listrik. Suatu hari, saya ajak istri saya mengirim barang pesanan ke Krakatau Steel, di Banten. Keringetan, panas, belum lagi mobil mogok di tengah jalan.
Sesampai di Krakatau Steel, rupanya ada kawan seangkatan saya yang sudah jadi petinggi di sana. Dia menawari saya posisi di Krakatau Steel. Saya lihat istri saya agak tergoda dengan tawaran itu. Maklum, gaji bulanan di BUMN strategis seperti Krakatau Steel lumayan besar. Penampilan kawan saya pun perlente dan klimis.
Untung saja, saya tolak tawaran kawan tadi. Saya sudah yakin dengan piihan berdiri di kaki sendiri. Biar susah, yang penting saya punya sesuatu karya sendiri. Apa pun risikonya kita tanggung.
Kalau dulu saya terima tawaran bekerja di Krakatau Steel, mungkin saya akan jadi karyawan biasa dan berakhir pensiun. Kalau saya terima tawaran itu, mungkin tak akan ada Medco yang kini masuk
kategori world class company dengan rig di Yaman, Libya, bahkan di Louisiana dan Texas.
Anak muda Indonesia,
Saya paham anak muda sering dibandingkan dengan pemuda di masa lalu, di masa revolusi yang menggelegar. Tapi, ingatlah bahwa setiap generasi punya tantangan sendiri.
Soekarno lahir pada 1901. Ketika Sukarno tumbuh dewasa, geopolitik dunia sedang bergerak dan berputar cepat. Perang Dunia I di Eropa, diikuti Perang Asia Timur Raya, kolonialisme, semuanya bergesekan. Dengan cerdas, Sukarno mencerna dan membaca perubahan zaman, dia menyerap informasi untuk diri dan bangsanya.
Sukarno muda beruntung mendapat pendidikan, yang jarang sekali dinikmati pribumi saat itu. Kecerdasan dan kepekaan hatinya, kecintaan pada bangsa, membuatnya memimpin dan menempati barisan terdepan pergerakan kemerdekaan.
Situasi zaman sekarang jauh berbeda. Tak sedikit orangtua mengerahkan segala daya untuk memberi pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Artinya, kompetisi semakin ketat. Orang pintar, lulusan universitas kelas wahid di dunia, sungguh banyak tersedia.
Saya pernah berdiskusi dengan Widjojo Nitisastro, ekonom yang paling berpengaruh dalam cetak biru perekonomian Indonesia, pada awal 2000. Pak Widjojo direkrut oleh Presiden Soeharto, pada 1967, untuk merancang sistem perekonomian Indonesia. “Pada saat itu orang pintar cuma sedikit. Tapi, sekarang situasi sudah lain. Orang pintar banyak sekali. Tantangannya adalah pintar memilih orang yang tepat,” begitu kata pak Widjojo.
Betul. Sekarang ini orang pintar yang menjadi saingan Anda semua sangat banyak. Maka, dalam situasi seperti ini, soalnya tinggal appetite. Apakah, sebagai anak muda, Anda punya selera untuk terlibat dalam upaya memperbaiki bangsa? Apakah Anda mau menjadi orang yang tepat untuk perubahan Indonesia yang lebih baik? Jika ya, maka temukanlah peran dalam berbagai gerakan komunitas di sekitar. Pilihan-pilihan aktivitas di masa muda inilah yang akan membentuk Anda, kelak kemudian hari.
Anak muda Indonesia,
Saya tahu kondisi negara sering tidak menggembirakan. Korupsi di mana-mana. Tapi, harapan selalu ada dan harus selalu diadakan. Jangan biarkan kondisi yang buruk membuat Anda terpuruk. Asah kemampuanmu yang terbaik. Yakinlah bahwa Indonesia bisa berperan sebagai pemain dunia yang kompetitif.
Tentu semua hal harus dikerjakan dengan hati. Kita pikirkan, kita kerjakan, kita rasakan dengan hati. Tak jarang, kita dibuat susah hati. Yang kita kerjakan tak kunjung selesai, sama seperti keruwetan membenahi sepak bola di Indonesia yang problemnya sudah kronis. Tapi, jangan menyerah. Kerjakan sedikit demi sedikit, lapis demi lapis. Jalan akan terbuka untuk Anda.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Arifin Panigoro, Hal: 175-177.