Metafor Organisasi Kapitalis – Emosional
Kebanyakan organisasi di masa lalu, dirancang dengan keyakinan bahwa modal utama organisasi adalah pengaturan yang optimal dari seluruh sumber daya organisasi, termasuk manusia yang ada di dalamnya diperlakukan sebagai sumber daya. Manusia diasumsikan sebagai mahluk rasional dan logikal, sehingga mereka akan tunduk dan patuh untuk melaksanakan berbagai prosedur kerja yang ditetapkan oleh manajemen.
Organisasi tradisional tidak terlalu memperhatikan sisi emosional manusia. Lupa bahwa emosi manusia sebenarnya adalah sumber semangat (spirit) dan penentu efektifnya potensi intelektual seseorang, sehingga menjadi penentu sukses masa depan kehidupannya. Sisi emosi manusia sebenarnya adalah sumber kompetensi kerja seseorang dan agregasi dari kompetensi kerja seluruh anggota organisasi akan menjadi sumber terbentuknya modal manusia (human capital) bagi organisasi. Keberhasilan manajemen dalam mengelola modal manusia organisasi akan mampu menjadi sumber kesejahteraan bagi dirinya maupun organisasi, masyarakat dan lingkungan sekitarnya Namun jika salah atau jika gagal mengelolanya, sisi emosi manusia bisa menjadi sumber malapetaka bagi kehidupan seseorang dan bahkan kerap kali menjadi penyebab kehancuran sebuah organisasi. Anggota organisasi yang tidak puas dengan organisasinya, atau anggota organisasi yang memiliki sikap dan perilaku yang negatif tentang organisasinya, akan menjadi sumber berkembangnya penyakit organisasi, seperti: korupsi, kolusi dan nepotisme yang tidak etikal; sehingga dapat menghancurkan sebuah organisasi. Kegagalan mengelola manusia dalam organisasi akan menjadi sumber malapetaka bagi kehancuran sekaligus akan menjadi penyebab hancurnya organisasi, masyarakat serta lingkungan sekitarnya.
Usaha untuk mendorong peran manusia sehingga menjadi modal bagi organisasi, telah diawali oleh Frederick Taylor sebagai tokoh Manajemen Saintifik pada tahun 1918-an dan Weber sebagai tokoh Organisasi tahun 1920-an, yang intinya mereka mengasumsikan bahwa manusia adalah mahluk rasional dan logikal. Sekarang terbukti bahwa pandangan mereka tidak utuh, karena mereka hanya memanfakan potensi manusia dari sisi intelektualnya saja.
Dalam konteks produksi – Taylor dan Weber menganggap dan memperlakukan manusia sebagai alat (sumber daya) produksi, dan memperlakukan manusia sebagai homo-economicus (mahluk materialistik-mekanikal), dengan mengasumsikan bahwa manusia akan mau bekerja sesuai dengan tata cara kerja yang telah ditetapkan perusahaan (secara mekanikal) dan hanya mengharapkan imbalan ekonomi (materialistik). Akibatnya, perusahaan yang menganut aliran ini memiliki cita-cita untuk membangun organisasinya sebagai mesin ekonomi, dimana ukuran keberhasilannya adalah mengejar kesejahteraan duniawi (economic company), dan tidak jarang untuk mencapai target bisnisnya, perusahaan tersebut mangabaikan nilai-nilai atau etika bisnis serta tanggung jawab sosial. Perusahaan ini berdiri dengan nilai-nilai yang mengabaikan harmonisasi dengan sosial maupun alam, dan sejarah mencatat bahwa perusahaan seperti ini tidak berumur panjang.
Contoh konkrit dari perusahaan ekonomi, dapat kita pelajari dari pengakuan john Perkins, bos sebuah perusahaan konsultan Main’s di Boston, Amerika Serikat, yang mengaku bahwa perusahaannya bekerja sama dengan pemerintah AS dan beberapa perusahaan konstruksi besar seperti Bechtel dan Halliburton, bersepakat untuk menerapkan strategi geopolitik AS, sebagai strategi global AS untuk menguasai sumber daya alam dunia serta menjadi “saluran uang” dari World Bank, USAID dan lembaga-lembaga keuangan lain untuk kekayaan dirinya dan negaranya (konsep economic hit man).
Untuk mencapai tujuan politik dan sekaligus ekonominya tersebut, mereka tidak segan-segan menggunakan berbagai cara yang tidak etikal, seperti memanipulasi laporan keuangan, mempengaruhi pemilihan umum suatu negara, membunuh atau mempekerjakan pelacur untuk mencapai tujuannya. Kerjasama ini diantaranya telah menyebabkan bangkrutnya Indonesia melalui persekutuannya dentjan elit Orde Baru yang sepakat untuk berhutang kepada IMF, Bank Duma dan USAID, untuk melakukan pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang secara. ekonomi nasional sering tidak layak, namun memberi keuntungan sebanyak-banyaknya bagi Bechtel, Halliburton dan perusahaan-perusahaan AS lainnya.
Uraian di atas menjelaskan secara singkat kelemahan pandangan tentang manusia dalam organisasi, yang jika tidak segera diperbaiki dapat membangkrutkan organisasi, dan sudah terbukti menjadi penyebab bangkrutnya ekonomi Indonesia, dan bahkan bisa menjadi penyebab hancurnya tatanan dunia. Penganut organisasi kapitalis telah mengabaikan peran dan kemampuan manusia sebagai mahluk yang mampu memberi makna (homo-significance), dan pada akhirnya mengabaikan potensi manusia sebagai pengungkit dan penghela pengetahuan – sebagai sumber human capital organisasi. Akibatnya, organisasi mengabaikan potensi dan peluang untuk memperkaya dan memberdayakan pengetahuan yang dimiliki manusia, yang hanya akan tumbuh dan berkembang jika manusia sebagai anggota organisasi diperlakukan sebagai manusia seutuhnya.
Kebalikan dari organisasi kapitalis adalah organisasi pembelajar, yaitu organisasi yang memahami peran dan fungsi manusia sebagai pusat keunggulan organisasi masa depan, yang oleh Arie de Geus disebut sebagai perusahaan yang hidup (the living company), yang memiliki umur panjang karena memiliki daya untuk belajar dan berubah mengikuti tuntutan zamannya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penelitian De Geus di atas. Organisasi ini mampu berfungsi sebagai sumber pemberi makna dalam kehidupan, karena memiliki sasaran yang seimbang antara mengejar kesejahteraan duniawi dengan aktivitasnya yang sangat peduli akan etika bisnis, kelestarian alam, serta tanggung jawab sosial. Organisasi pembelajar mampu menjaga keseimbangan antara tuntutan duniawi jangka pendek dengan tuntutan rohani dan alam yang lebih bersifat jangka panjang.
Organisasi pembelajar dihuni oleh sekumpulan individu yang mampu belajar untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan individualnya, untuk kemudian ditransformasi menjadi pengetahuan organisasi melalui proses berbagi pengetahuan. Efektivitas proses berbagi pengetahuan dalam organisasi pembelajar sangat ditentukan oleh kualitas suasana dan habitat yang terbentuk dalam organisasi tersebut. Habitat lingkungan belajar yang kondusif akan mendorong individu-individu dalam organisasi tersebut untuk berbagi pengetahuan secara berkelanjutan, untuk meningkatkan nilai tambah bagi organisasinya. Akumulasi nilai tambah yang berkelanjutan ini akan membuat organisasi dapat hidup dan berhasil dalam persaingan di era global ini.
Disarikan dari buku: Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajar, Penulis: Jann Hidayat Tjakraatmadja, Donald Crestofel Lantu, Hal: 22-25.