Era Pengetahuan Menuntut Organisasi Pembelajar
Arie de Geus (1997) menjelaskan dalam bukunya The Living Company bahwa kebanyakan perusahaan tidak mampu berubah karena “kebodohan” (ignorance) para manajernya. Namun, sebelumnya kita perlu merevisi definisi bodoh di era pengetahuan kini. Pada zaman dulu, kita sepakat dengan definisi orang yang bodoh adalah orang yang memiliki nilai IQ kurang dari 90. Saat ini kita harus sepakat untuk mendefinisikan orang yang bodoh jika orang tersebut tidak mampu berubah mengikuti tuntutan zamannya (baca: tidak mampu merubah mind set). Mengacu pada definisi baru tentang manajer (orang) yang bodoh, coba kita cermati tentang apa yang terjadi di sekitar kita.
Kebanyakan masalah yang dihadapi suatu organisasi justru bersifat abstrak, ataupun jika sudah jelas faktanya, banyak manajer tidak dapat mengenali atau memahaminya, karena manajer tersebut tidak memiliki kepekaan dan kesadaran akan dampaknya bagi organisasi di masa depan, sehingga ia akan tampak santai dan sering lalai atau mengabaikan berbagai permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Walaupun fakta bahwa (misalnya kinerja organisasi sudah mulai menurun, manajer yang bodoh sering tidak memiliki kepekaan akan dampaknya bagi organisasi, sehingga ia masih tetap melakukan kesalahan-kesalahan yang sama, terutama jika ia melihat cashflow perusahaan yang masih positif. Manajer bodoh akan tampak panik apabila “bom” sudah benar-benar meledak di depan mukanya, atau jika cashflow sudah berhenti mengalir dan tagihan-tagihan mulai macet.
Begitu pula dengan karyawan bodoh yang tidak peka pada perkembangan organisasi, sering kali tidak bisa menerima kenyataan tentang organisasi yang sedang menuju kebangkrutan, sehingga mereka masih tetap menuntut agar organisasi dapat memberikan imbalan yang lebih tinggi. Mereka umumnya terbutakan oleh sinar kejayaan masa lalu. IBM misalnya, pada suatu ketika sama sekali tidak mau melihat kenyataan bahwa pasar sudah beralih dari mainframe ke PC. Demikian pula dengan Motorola yang tidak mau melirik teknologi digital dalam industri cellular phone. Ketika Nokia menanamkan dana investasinya secara besar-besaran dalam standar baru digital telekomunikasi di Eropa. Motorola malah memperbesar investasi teknologi analog-nya. Di dalam negeri kita bisa cermati kasus PT IPTN, perusahaan yang dibangun di masa lalu dengan kecanggihan teknologi dan optimisme, namun miskin manajemen, walaupun saat ini sudah mati suri, para mantan karyawannya masih tetap tidak menerima kenyataan yang terjadi, karena terbuai oleh kejayaan masa lalu.
Mengapa mereka menyangkal dan tidak mau belajar walaupun fakta-faktanya sudah jelas bahwa arah tuntutan pasar maupun lingkungan bisnis dan teknologi telah berubah? “Smart people don’t try new tricks”, ujar Stewart Black. Suatu ketika dalam hidup ini Anda akan merasa hebat karena telah mencapai kinerja yang memuaskan di masa lalu. Pada saat itu, mungkin Anda akan kehilangan kepekaan dan kesadaran atau bahkan menjadi lalai atau sombong, sehingga mungkin berpendapat bahwa Anda sudah menjadi orang yang sempurna atau telah memiliki ilmu yang paripurna, karena sudah mampu membawa organisasi ke puncak kejayaan. Kesadaran mulai tumbuh setelah organisasi mengalami krisis, penyakit kanker organisasi sudah memasuki stadium empat, sumber daya organisasi sudah sangat tipis, reputasi dan kredibilitas sudah negatif, sebenarnya organisasi sudah mati suri. Pada kondisi seperti ini, sebenarnya apapun yang dilakukan manajer suda terlambat tidak punya pilihan lain kecuali organisasi harus “dioperasi” – besar-besaran, atau dalam bahasa bisnis harus direkayasa ulang atau turn around, sebagaimana yang dialami IBM. Meskipun kualitas produk buatan IBM memang tetap prima, namun mereka tidak memahami bahwa pasar sudah berubah dan IBM terlambat mengantisipasi arah perubahan tersebut, sehingga bisnis IBM hampir bangkrut.
Lebih jauh, mari kita berkontemplasi untuk dapat memahami kualitas kecerdasan emosi para manajer di negeri kita. Sebagian besar para pemimpin organisasi di negeri kita ini beranggapan bahwa perubahan itu sebaiknya dilakukan ketika organisasi memiliki masalah. Bahkan kebanyakan strategi perubahan (turn around) diluncurkan saat sebuah organisasi sudah memasuki tahap krisis. Kata para ahli, suatu perubahan akan terjadi jika para anggota organisasi memiliki kepekaan, memiliki perasaan-perasaan tidak puas terhadap kondisi sekarang.
Namun apa yang terjadi di sekitar kita saat ini? Kita sekarang sudah ada pada titik kritis yang paling rendah untuk mampu melakukan turn around, baik dalam organisasi bisnis maupun pemerintahan. Mengapa? Selain karena kebanyakan organisasi sudah ada dalam kondisi “sakit kronis”, juga organisasi tersebut sudah tidak memiliki modal fisik maupun modal mental/spritual maupun sumber daya yang makin tipis, ditambah dengan hutang yang makin besar, menyebabkan cash flow organisasi menjadi semakin tidak sehat. Selain itu, suburnya konflik, demo karyawan serta rendahnya rasa keadilan dan penegakan hukum yang tidak menentu, makin memperberat kemampuan organisasi untuk melakukan turn around.
Idealnya, organisasi yang sehat selalu menerapkan konsep manajemen pencegahan, menerapkan strategi perubahan ketika perusahaan sedang mengalami kemajuan, yaitu saat penjualan sedang bagus dan saat dimana semua orang sedang bangga terhadap organisasinya. Orang yang Peduli pada kesehatan dirinya, justru akan melakukan general check-up, pada kondisi dimana badannya sedang merasa sehat. Namun kenyataannya, pada saat yang menyenangkan ini kebanyakan orang justru tidak tertarik untuk general check-up, apalagi kalau harus merubah kebiasaan hidupnya. Umumnya mereka mengatakan, “kalau tidak ada yang “sakit” mengapa harus dirubah?
Sekarang mari kita telusuri lebih jauh, mengapa para direksi dan pejabat pemerintahan kita berperilaku selayaknya orang bodoh? Sudah bukan rahasia lagi bahwa jabatan direksi pada perusahaan nasional (khususnya di BUMN) dan juga jabatan-jabatan “startegis” di organisasi pemerintahan, kebanyakan merupakan “jabatan politis”. Orang yang menduduki jabatan direksi ataupun pejabat pemerintahan, bukanlah orang yang terbaik, atau memiliki kompetensi unggul di bidangnya. Kenyataannya mereka hanyalah sekumpulan orang “suruhan” yang diminta bekerja pada periode waktu tertentu, yang harus memiliki loyalitas hanya kepada kelompok atau golongan tertentu, yang dipekerjakan untuk mencapai target-target politik dan ekonomi sempit. Keberhasilan mereka diukur oleh kemampuannya dalam mendukung target politik maupun finansial organisasi induknya. Akibatnya, mereka tidak memiliki visi untuk memajukan organisasi yang dipimpinnya. Organisasi bisnis atau pemerintahan talak memiliki daya untuk berubah dan memperbaiki kinerjanya. Para pejabat dan direksi yang bodoh (ignorance), para pimpinan yang tidak mau berubah, telah memimpin berbagai organisasi bisnis maupun pemerintahan, menyebabkan organisasinya tidak mau berubah, sehingga menyebabkan organisasi bisnis dan pemerintahan nasional makin tertinggal jauh dalam persaingan global dan bahkan telah mendorong negara kita menuju kebangkrutan.
Gede Prama (2001) menyatakan bahwa untuk merubah mind set diperlukan derajat kesulitan yang jauh lebih tinggi dibandingkan merubah teknologi atau variabel perubahan yang bersitat fisik lainnya. Hal ini dapat terjadi terutama karena kebanyakan manusia sulit melupakan keberhasilan, kenyamanan, kenikmatan, kehebatan atau sederetan pengalaman masa lalu yang menyenangkan. Kesulitan merupakan kemenangan masa lalu, menyebabkan kebanyakan manusia dengan untuk berubah. Dalam bahasa manajemen, ketika kita sudah terperangkap dalam wilayah yang menyenangkan (comfortable zone of mind), maka kita akan terjebak dalam bingkai hidup kenikmatan masa lalu, tentu saja akan jarang manusia yang mau dan sanggup mencari suasana lain yang belum tentu memberi kenyamanan sebagannana masa lalu.
Halus, karena permasalahan ini bersifat abstrak dan tidak banyak manusia mampu memahaminya. Tidak manusiawi, sebab ketika ada manusia yang berani keluar dari zona kenyamanan, akan dicap sebagai, manusia yang berani keluar dan kebiasaan umum. Kebanyakan orang akan menyatakan bahwa manusia yang mau berubah berarti ia akan “bunuh diri”. Lebih-lebih kalau kita sudah tidak berubah dalam waktu yang amat lama, ditambah dengan kebiasaan alam bawah sadar yang kerap berujar: “Saya sudah berpengalaman puluhan tahun, saya telah membaca ratusan buku, saya lulusan sekolah terbaik”, dan sederetan kebanggaan palsu lainnya, akan makin membelenggu seseorang untuk tidak berubah.
Perilaku seperti ini sebenarnya amat potensial untuk membuat organisasi menjadi berantakan atau bangkrut secara bisnis. Oleh sebab itu, organisasi akan dapat diselamatkan dari kebangkrutan jika setiap anggota organisasi tersebut mau dan mampu membekali dirinya masing-masing untuk mampu beradaptasi dengan tuntutan perubahan, dan organisasi seperti ini kita sebut organisasi pembelajar – yaitu organisasi yang mampu belajar dan bangkit dari kesalahan atau bahkan dari kebangkrutan. Hal yang fundamental untuk terjadinya proses belajar yang efektif adalah keberanian untuk melakukan penyangkalan terhadap paradigma maupun keyakinan-keyakinan yang kita miliki saat ini (learning how to unlearn). Dari manapun paradigma dan keyakinan itu sendiri datang – entah dari pengalaman, pendidikan atau rekomendasi pakar, konsultan atau bahkan saran dari bawahan. Sebelum “dibunuh secara halus dan pelan-pelan”, atau mati mendadak tanpa menyadari penyebab-penyebabnya, sebaiknya segera disangkal, disangkal dan berubah.
Dengan bekerjanya lingkaran penyangkalan, pikiran akan bergerak dan berputar dalam gelombang energi menuju wilayah yang amat kaya secara intelektual. Tindakan – yang diakui sebagai ujung tombak kemajuan – hanyalah sebuah jeda dalam putaran penyangkalan yang terus bergulir. Mirip dengan debat tentang sungai. Ada yang mengatakan bahwa sungai itu adalah air. Ada yang menyangkal, dengan menyebutkan bahwa sungai itu sebuah cekungan dan lekukan tanah. Dalam kasus ini, kegiatan penyangkalan tidak menonjolkan, apalagi mensubtitusi argumen yang disangkal. Namun, secara komplementer justru melengkapinya. Proses komplementer terakhir, seyogyanya dilakukan oleh pemimpin atau manajemen puncak organisasi. Namun, agar penyangkalan berjalan terus, bukan sesuatu yang keliru kalau pimpinan puncak juga harus mampu menciptakan suasana disharmoni demi munculnya keberanian untuk menyangkal. Atau ada seorang ahli yang menyebutnya sebagai chaos based management, bahwa untuk meyakinkan atau membangkitkan kesadaran dan para anggota organiasai akan pentingnya perubahan, adakalanya pimpinan harus mampu menciptakan kondisi krisis atau situasi chaos terlebih dahulu dalam organisasi tersebut, sebagaimana sering dilakukan oleh Gates dengan Microsoft-nya.
Sumber: Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajaran, Penulis: Jann Hidayat Tjakraatmadja, Donald Crestofel Lantu, Hal: 11-17.