Paradigma Baru Era Pengetahuan
Ahrin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980) membagi sejarah peradaban manusia dalam tiga gelombang perubahan. Yaitu: era manual, era mesin industri, dan era pengetahuan Era manual adalah suatu zaman dimana faktor dominan dari manusia yang dibutuhkan untuk mengelola sistem industri tradisional adalah otot (enerji-fisik). Produktivitas Industri ditentukan oleh para pekerja mampu menghasilkan produk per satuan waktu kerja (sebagai input). Produktivitas kerja di era manual ini sangat ditentukan oleh kekuatan enerji-fisik yang dimiliki oleh pekerja.
Era mesin industi, merupakan era kedua yang dimulat sejak revolusi Industri, dan berpengaruh pada industri pertanian maupun manufaktur. Era mesin industri ini adalah suatu zaman dimana faktor dominan dari manusia yang dibutuhkan untuk mengelola sistem industri adalah keterampilan bekerja dengan menggunakan mesin (enerji-mesin). Pada era ini produktivitas kerja ditentukan oleh tingkat keterampilan para pekerja dalam mengatur serta mengoperasikan mesin-mesin industri untuk menghasilkan keluaran (output) kerja yang sebanyak-banyaknya persatuan waktu kerja dibantu oleh mesin industri.
Era ketiga, atau disebut dengan era pengetahuan adalah suatu zaman dimana faktor dominan dari manusia yang dibutuhkan untuk mengelola sistem kerja adalah kualitas pikiran (knowledge content) yang digunakan dan diinternalisasikan (dieksplisitkan atau explicit knowledge) pada setiap proses produksi, yang pada akhirnya diwujudkan (dieksplisitkan) pada produk atau jasa yang dihasilkan. Kemampuan bersaing organisasi di era pengetahuan ditentukan oleh tingkat kualitas pikiran yang dieksplisitkan dalam produk/jasa maupun pada proses produksi. Kualitas pikiran yang dimaksudkan di sini, bisa dalam bentuk kreativitas/inovasi ataupun dalam bentuk keterampilan dalam mengeksplisitkan pengetahuan tasit (tacit knowledge) dalam praktek.
Pada era pengetahuan, pengetahuan telah menjadi modal virtual (human capital) yang sangat menentukan perkembangan serta sekaligus pertumbuhan organisasi. Era pengetahuan semakin tumbuh dan berkembang sejak berkembangnya teknologi informatika, khususnya penemuan teknologi jaringan, yang mendukung perkembangan intranet maupun internet sejak pertengahan 1990-an. Era pengetahuan telah melahirkan tatanan kehidupan baru, yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan era manual atau era mesin industri. Minimal ada tiga ciri yang dapat digunakan untuk menggambarkan karakteristik tatanan kehidupan di era pengetahuan, yaitu:
- Informasi/pengetahuan mudah diperoleh dan sekaligus dapat kadaluwarsa dengan cepat. Saat ini, informasi datang dari berbagai sisi kehidupan dan masuk dalam sebuah organisasi melalui berbagai media, baik melalui buku, surat kabar, TV maupun internet. Setiap individu anggota organisasi dapat memperoleh informasi dengan mudah dan informasi tersebut mungkin berubah atau menjadi usang dengan cepat. Jika digambarkan dalam konteks proses pengambilan keputusan, era pengetahuan telah mengubah tatanan dan kondisi organisasi. Di masa lalu, proses pengambilan keputusan di perusahaan sering terhambat karena kesulitan untuk memperoleh informasi, namun para pengambil keputusan di organisasi masa kini justru sering mengalami kebingungan karena kebanjiran informasi. Kondisi kelangkaan informasi menyebabkan keputusan sulit ditetapkan, sehingga si pengambil keputusan diharapkan mampu membuat keputusan berdasarkan informasi yang terbatas, dengan resiko salah karena informasi tidak lengkap. Sebaliknya, ketika informasi diperoleh secara berlebih dan bisa berubah dengan cepat, si pengambil keputusan diharapkan mampu membuat keputusan dengan lebih cepat, dengan resiko salah karena informasi cepat berubah. Gambaran di atas menunjukkan bahwa organisasi di era pengetahuan menuntut keterampilan si pengambil keputusan yang berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya.
Kemudahan memperoleh informasi di era pengetahuan terjadi terutama karena didukung oleh perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi, lebih khusus lagi karena tersedianya internet. Dengan sekali klik saja, maka seseorang dapat memperoleh informasi yang diinginkannya dari berbagai sumber di seluruh dunia. Akibat langsung dari kemudahan memperoleh informasi, pengetahuan akan bertambah secara eksponensial. Siklus hidup (umur) pengetahuan akan semakin Pendek, pengetahuan akan menjadi cepat usang. Dampak langsung dari pengetahuan yang cepat usang adalah tatanan kehidupan akan berubah dengan sangat cepat. Lebih jauh lagi, untuk menjaga agar setiap manusia masih bisa diterima pada zamannya, maka kita harus terus-menerus belajar untuk memperbaharui pengetahuan yang dimiliki secara berkelanjutan. - Permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari semakin kompleks. Kecepatan perkembangan teknologi informasi juga telah berpengaruh pada suasana kerja. Hampir setiap organisasi atau bahkan individu, telah sangat bergantung pada alat-alat komunikasi dan komputer beserta perangkat lunaknya. Dapat dikatakan bahwa untuk bisa benahan hidup pada zaman informasi ini, kita membutuhkan teknologi informasi, yang merupakan perpaduan antara teknologi jaringan informasi (komunikasi) dan teknologi komputer. Di industri produksi, teknologi Informasi ini juga diintegrasikan dengan teknologi mekanis (mekatronik), sehingga mampu mengambal alih beberapa peran dan fungsi manusia di tempat kerja, baik itu pada pekerjaan administrasi maupun produksi. Teknologi mekatronik yang banyak diwujudkan dalam robot-robot industri, telah mengambil alih pekerjaan-pekerjaan otot dan bahkan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan fisik yang semula dikerjakan manusia, seperti pengumpulan dan pengolahan data atau beberapa proses produksi di pabrik.
Teknologi telah membuat lahan kerja manusia yang mengandalkan kekuatan dan keterampdan fisik semakin terdesak. Teknologi mekatronik telah memaksa manusia agar mengubah peran dan kompetensinya dalam organisasi modern, dari mengandalkan fisik menjadi mengandalkan otak (pakiran). Para pekerta yang tidak siap berubah telah dan akan menjadi korban serta akan ketinggalan zaman, atau pada akhirnya akan menimbulkan pengangguran. Dampak langsung dan ketidaksiapan manusia kerja ini, akan berakibat pada turunnya pendapatan masyarakat serta melemahnya daya beli mereka, yang pada akhirnya akan menurunkan penumbuhan kesejahteraan. Perkembangan teknologi telah mempengaruhi perubahan tatanan sosial, ekonomi dan politik secara langsung. Dampak tidak langsung jika suatu masyarakat tidak siap memenuhi tuntutan perubahan di era pengetahuan, akan menimbulkan tingginya angka kriminalitas di berbagai daerah. Akabatnya, tatanan kehadupan masyarakat semakin kompteks, dalam kondisi seperti ini, permasalahan teknologi, ekonomi, sosial dan politik menjadi saling berkaitan dan saling berpengaruh, sehingga sulit dipisahkan tagi – dan itu artinya tatanan kehadupan akan semakin kompleks. - Pola perubahan dalam bidang-bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berpengaruh signifikan pada kelangsungan organisasi dengan hubungan pengaruh yang semakin sulit di prediksi. Di sisi lain, penduduk di muka bumi juga terus bertambah. Keinginan dari beberapa negara maju untuk mengurangi laju pertambahan penduduk tampaknya sulit untuk direalisasikan dalam jangka waktu dekat. Akibatnya, sumber daya alam yang digunakan untuk menunjang kebutuhan manusia di dunia menjadi penyebab utama terjadinya konflik antar kelompok, atau bahkan antar bangsa. Lebih-lebih karena sumber daya alam yang terbatas, mendorong manusia di muka bumi ini untuk mengerahkan segala daya dan upaya untuk dapat menguasainya. Tidak jarang terjadi perang antar suku atau bahkan antar bangsa, baik perang terbuka maupun “penjajahan teknologi dan ekonomi terselubung”, telah menjadi kenyataan dan ini terjadi tidak lain untuk memperebutkan kekuasaan akan sumber daya alam yang terbatas. Sebagai contoh, John Perkins (2004) menjelaskan dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man, bahwa Amerika Serikat menerapkan konsep korporatokrasi, kerjasama antara pemerintah Amerika Serikat dengan para pelaku bisnis raksasa Amerika Serikat dan lembaga-lembaga keuangan dunia, untuk menguasai sumber daya alam negara-negara lain. Dengan konsep korporatokrasi ini, mereka dapat “menguasai” Indonesia sampai saat ini, karena Indonesia memiliki kekayaan alam berlimpah. Perkins menjelaskan panjang lebar mengapa Indonesia bangkrut, melalui kerjasama antara pemerintah Amerika Serikat, para pelaku bisnis raksasa Amerika Serikat, lembaga-lembaga keuangan dunia, dan didukung oleh rejim Orde Baru serta kroni-kroninya – telah berkorporatokrasi untuk “menguras kekayaan alam” Indonesia.
Gambaran peristiwa di atas menyimpulkan bahwa tatanan kehidupan semakin kompleks dan sekaligus tidak pasti. Setiap perubahan akan menciptakan perubahan lainnya, namun dalam hubungan keterkaitan yang sulit diprediksi. Perilaku suatu rubahan makin sulit dipahami dan makin sulit diperkirakan
dampak keterkaitannya. Tidak jarang, perubahan di sektor politik menjadi penyebab bangkrutnya perusahaan-perusahaan. Sebaliknya, bangkrutnya suatu perusahaan, bisa menjadi penyebab runtuhnya suatu rezim politik yang sedang berkuasa.
Para peramal masa depan (futurist) mengatakan bahwa abad 21 disebut abad pengetahuan, karena pengetahuan telah menjadi landasan utama segala aspek kehidupan (Trilling dan Hood, 1999). Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Era pengetahuan menyebabkan terjadinya perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang manusia terhadap masalah-masalah sosial dan alam, cara pandang manusia terhadap dunia pendidikan atau perubahan peran orang tua/guru/dosen dalam dunia pendidikan, serta perubahan pola hubungan antar mereka. Era pengetahuan telah menimbulkan perubahan yang signifikan pada tatanan lapangan kerja maupun dunia pendidikan.
Era pengetahuan telah memaksa kita untuk menyesuaikan sejumlah aturan main, cara kerja, perilaku dan bahkan telah menjungkirbalikkan paradigma yang dianggap benar pada zaman sebelumnya. Hal yang paling sesat terjadi apabila saat kini kita masih menggunakan cara lama di era yang sudah berubah. Perusahaan-perusahaan bisnis yang tercatat dalam Fortune 500 (karena dinilai sebagai perusahaan kelas dunia, atau karena mereka telah menunjukkan kinerja bisnis yang terbaik di zaman sebelumnya), ternyata separuhnya telah lenyap dalam tempo 10 tahun, karena mereka tidak mampu mengikuti tuntutan perubahan zaman. Begitu pula, rontoknya puncak piramida ekonomi Indonesia pada tahun 1998 – 1999, menunjukkan gambaran jelas tentang ketidakmampuan para pelaku ekonomi atau pelaku bisnis nasional dalam mengikuti tuntutan perubahan. Kecenderungan perubahan tidak menyisakan alternatif lain selain harus berubah.
Drucker (1992) menyatakan dengan tegas bahwa kunci sukses untuk rneningkatkan kesejahteraan serta kualitas kehidupan Individu maupun kelompok kerja pada suatu organisasi, yaitu adanya penemuan dan pendalaman atas ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu sebagai anggota dan organisasi tersebut secara berkelanjutan. Lebih jauh, Sugilar (2002) menyatakan, telah lama disadari bahwa pendidikan dan latihan bagi para karyawan merupakan investasi bagi suatu organisasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya. Karyawan yang cepat belajar menguasai pekerjaannya merupakan modal intelektual yang menjadi penggerak organisasi tersebut. Untuk menyikapi berbagai arah perubahan, maka setiap individu harus terus-menerus menumbuhkembangkan kompetensinya, baik kompetensi InteIektual, emosional maupun spritual.
Pendidikan dan pelatihan karyawan telah menjadi investasi di era pengetahuan. Masalahnya, di kebanyakan organisasi nasional, bisnis maupun pemerintahan/ sosial, pos keuangan untuk pendidikan dan pelatihan karyawan dikurangi untuk meminimasi biaya. Padahal, sejatinya ketika bisnis menurun, perusahaan perlu investasi tambahan dibidang pendidikan dan pelatihan karyawan, khususnya untuk memperbaharui kecerdasan intelektual maupun mempertajam kecerdasan emosional dan spiritual, yang dibutuhkan untuk melahirkan kiat-kiat atau inovasi-inovasi baru.
Goleman (1995) menyatakan bahwa dunia kerja menuntut 80% kecerdasan emosional dibandingkan dengan kecerdasan IntelektuaI yang hanya 20%. Dengan menguntip Plato, Alwi Shihab (mantan menteri luar negeri RI) di Kompas Online (Mei, 2002) menyatakan bahwa kesengsaraan pada dasarnya disebabkan oleh kebodohan (ignorance). Kebodohan tersebut berakar pada ketidakmampuan seseorang mengenali dirinya sendiri. Oleh karena itu, unsur spiritual sangat diperlukan seperti halnya unsur fisik agar seseorang mampu melihat dan memahami setiap permasalahan secara lebih dalam. Alwi menambahkan bahwa spiritualitas itu mengarahkan manusia pada pencarian hakikat kemanusiaannya. Menurut dia, hakikat manusia itu dapat ditemukan dalam perjumpaan manusia dengan Allah. “Mistisisme membantu manusia untuk mencari something out there that are unknown (sesuatu di luar sana yang tidak diketahui). Allah itu amat bernilai, tetapi tersembunyi. Namun, rahmat Allah mengatasi batas-batas buatan manusia sehingga manusia paham tentang Allah. Manusia dikatakan cerdas jika manusia tersebut senantiasa ingat pada Allah ketika ia melakukan karyanya,” kata Alwi Shihab.
Frans Magnis Suseno SJ mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual membantu meningkatkan kompetensi seseorang untuk mengambil keputusan. la mendasarkan kajian itu pada tradisi mistik Ignasius dari Loyola yang biasa disebut dengan latihan rohani atau exertitia spiritualis. Latihan itu dilakukan dalam sebuah masa tertentu, misalnya satu bulan atau delapan hari. Dalam masa tersebut, secara khusus seseorang diajak untuk berkonfrontasi dengan hidupnya sendiri. Tujuannya adalah untuk menaklukkan diri dan mengatur hidup begitu rupa sehingga tidak ada keputusan yang diambil di bawah pengaruh sikap kelekatan pada apa pun.
Oleh karena itu, maka pada era pengetahuan dengan perubahan yang begitu cepat, kompleks dan serba tidak pasti, dibutuhkan manusia-manusia unggul jenis baru. Tiap individu harus memiliki kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara seimbang dan harmonis, dan untuk itu butuh kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual berfungsi untuk mengintegrasikan dan mengharmoniskan kecerdasan intelektual dan emosional individu, yang kerap “berbeda pendapat” diantaranya. Dengan memiliki ketiganya secara seimbang sesuai dengan konteksnya, maka individu yang bersangkutan akan mampu mengaktualisasikan seluruh potensi dirinya dalam berbagai hal kehidupan di dunia kerja maupun sehari-hari.
Sumber: Knowledge Management dalam Konteks Organisasi Pembelajaran, Penulis: Jann Hidayat Tjakraatmadja, Donald Crestofel Lantu, Hal: 1-8.