Data dan Informasi Ajeg, Indonesia Keluar Krisis?
Sebuah bangsa yang berpijak pada pengetahuan hakikinya memiliki data dan informasi yang akurat. Pijakan pengetahuan bersumber pada data dan informasi, dengan begitu, segala masalah yang ditimbulkan ketika berdasarkan data dan informasi akan mendapatkan kesimpulan yang ‘benar’. Benar dalam tanda petik, dalam arti bahwa benar bukan dalam konsep absolute melainkan konsep sosiologis (berarti benarnya relatif dan memiliki kemungkinan tidak benar dikemudian hari, berkaitan dengan konteks, ruang dan waktu). Jika informasi dan data benar, bukan tidak mungkin, pengambilan keputusan juga akan mendekati bijak.
Di Indonesia, justru hal inilah yang mengalami kelemahan. Sulit rasanya kita mendapatkan sebuah data yang akurat. Angka kemiskinan saja dalam setiap lembaga dan instansi sering berbeda. Data produksi minyak memiliki berbagai versi, apalagi survey politik. Data yang paling kisruh misalnya berkaitan dengan DPT (Data pemilih tetap), dalam berita kita sering mendengar, ada nama ternyata sudah meninggal atau ada nama tapi dia tidak ada kenyataan, atau mungkin ada orang Indonesia yang bernama ‘pocong’ dalam daftar isian.
Mungkin bisa dipahami jika perbedaan metode pengambilan data akan membuat hasil yang berbeda. Namun untuk beberapa hal data harusnya bersifat ajeg dan akurasinya baik. Semisal soal kependudukan, tidak bisa tidak negara harus memiliki data yang akurat sehingga tidak memiliki peluang untuk dimanipulasi untuk tujuan tertentu.
Jika masih terdapat kekisruham yang terjadi adalah ketidakpercayaan masyarakat akan data yang telah disajikan. Terang saja, kritikan dan keluhan soal data dan informasi mewarnai dalam dinamika negara ini. Tidak hanya memiliki data yang tidak sesuai, pada beberapa hal data yang dimiliki tidak cukup mengakomodir kebutuhan masyarakat.
Begitu juga pada Organisasi masyarakat sipil? Tidaklah jauh berbeda dengan persoalan yang di idap oleh pemerintahnya. NGO (Non Government Organization) mengalami hal yang sama, begitu sangat kesulitan ketika dalam organisasi HAM sulit mencari data mengenai HAM, Korban HAM, Kronologis Pelanggaran HAM dalam sebuah kasus dst. Justru yang banyak kita ketahui adalah pendapat masyarakat tentang semua kejadian. Opini tersebut saling menghujat, mengkritik dan menjatuhkan satu sama lain. Datanya dan informasinya hanya sepenggal. Artinya, bagi orang awam, akan semakin sulit dan kusut dalam memahami persoalan yang terjadi. Menemukan fakta dan data saja sulit, bagaimana kemudian bisa memutuskan sesuatu, yang terjadi adalah kita akan berkutat pada masalah itu-itu saja.
Data dan informasi memiliki peran besar dalam menanggapi kekisruhan. Apalagi, banyak penyakit krisis yang merebak di Indonesia. Krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis keuangan dan berbagai krisis-krisis lainnya. Apakah pemerintah tidak berupaya? Mungkin saja berbagai kebijakan lahir untuk menanggulangi krisis, namun lagi-lagi tudingan keakuratan data kerap dilontarkan dari pengkritiknya.
Bagi para pelaksananya, menjalankan standar baku untuk mengolah sebuah data dan informasi itu menjadi beban. Masyarakat mungkin masih merasakan kesulitan untuk membuat KTP, lama dan bertele-tele. Kekisruhan data e-KTP misalnya, untuk single identitas. Padahal jika melihat aturan, KIP (Kebebasan Informasi Publik) menyatakan dengan jelas, bahwa semua institusi harus memberikan data publik kepada publik. Semangatnya adalah bahwa publik berhak mendapatkan informasi. Semangatnya adalah publik berhak mendapatkan informasi yang akurat. Semangat tersebut tentunya perlu untuk diapresiasi, dengan harapan, masyarakat dalam menyampaikan pendapatanya tidak asal jeplak, namun berlandaskan data dan informasinya yang dimilikinya.
Yang terjadi sekarang ini, dengan begitu banyaknya ruang publik yang mengakomodir berbagai suara masyarakat, seperti forum di internet, website dan citizen journalistik adallah keributan dan pepesan kosong, saling merasa diri benar dan yang lain salah, sehingga kekisruhan yang terjadi. Banyak hal yang terjadi dalam diskusi atau debat publik adalah sebuah opini akan satu kasus, namun sedikit orang yang berbicara berdasarkan data dan informasi yang dimilikinya. Akibatnya, dalam kaca mata awam, hal itu menjadi rumit dan membinggungkan.
Jika situasi ini terus dipertahankan, potensi adu domba, potensi ‘keributan’ akan terus mewarnai dinamika nasional, tanpa sekalipun kita beranjak dari persoalan itu. Sudah bertahun-tahun, ungkapan ‘Indonesia sedang krisis’ itu lekat dalam pendengaran dan ada dalam setiap obrolan, tapi juga, sama sekali kita tak ingin beranjak pergi dari krisis ini.
Bagaimana kita membedakan data dan informasi? Data merupakan kumpulan fakta yang terdokumentasikan. Secara sederhana untuk mengenali data adalah ketika kita tahu jadwal kereta, jam, nama kereta, trayek keberangkatan. Sementara informasi adalah data yang dijadikan pijakan untuk mengambil keputusan. Contoh lagi, ketika kita tahu jadwal keberangkatan kereta dan dari data tersebut, akhirnya kita memutuskan untuk naik kereta jam sekian dan trayek A, itulah namanya informasi.
Artinya, antara data dan informasi memiliki keterikatan, ketika ada subyek yang menggunakan data tersebut. Informasi akan berakibat pada pengambilan keputusan dan pengambilan keputusan akan berkaitan dengan kejadian serta kejadian akan menimbulkan fakta. Itulah rotasi dari fakta/kejadian.
Oleh karenanya, untuk menjadikan Indonesia ajeg, dalam arti kekisruhan sebagai akibat banyaknya opini yang dijadikan data menjadi persoalan. Indonesia akan terus berkutat pada masalah jika data dan informasi tidak ajeg. Artinya, ada otorisasi yang memegang peran terhadap pengambilan data dan informasi, serta ada metode yang dijelaskan dalam pengambilan data tersebut serta rujukan orang yang memiliki akses terhadap otoritas data dan informasi tersebut. Hal ini menjadi penting untuk membuat bangsa ini, bergerak tidak berdasarkan opini, melainkan berdasarkan data dan informasi.
Disisi lain, tidak hanya menjadi otoritas sebuah lembaga tertentu saja, melainkan, masyarakat memiliki peran untuk memberikan koreksi jika data dan informasi itu tidak sesuai dengan fakta atau dimanipulasi sedemikian rupa oleh otoritas tertentu, sehingga sharing publik terkait data dan informasi menjadi penting, bukan untuk membuat diri paling benar, melainkan untuk menyempurnakan pengambilan data dan informasi jika dianggap kurang benar.
Jika demikian yang disepakati, maka memungkinkan kemudahan untuk membingkai tatkala akan mengambil kebijakan agar Indonesia keluar dari krisis. Masyarakat harus lebih pandai memilah mana data dan informasi, mana ucapan yang berupa retorika ataupun opini. Rumusan ini, akan membuat Indonesia keluar dari krisis, menjadi bangsa yang tidak mudah di adu domba, dan mengarah pada masyarakat ‘berpengetahuan’.
Sumber: Air Sejati.