Mahaguru dari Rawamangun
Ia seorang mahaguru. Sebagai pakar pendidikan dan dosen di Universitas Negeri Jakarta, dulu IKIP Jakarta, dia telah melahirkan banyak guru. Sejak muda ia telah mencintai dunia pendidikan.
Ya, tak ada yang ragu pada sosok yang menyerahkan seluruh hatinya pada dunia pendidikan ini: Arief Rachman. Ayahnya seorang kepala sekolah, ibunya juga memiliki latar belakang dunia pendidikan. “Pengalaman paling menyenangkan adalah ketika melihat perubahan watak seorang anak didik menjadi lebih baik,” ucapnya.
Arief bertekad mewarisi profesi orangtuanya itu setelah mengikuti program pertukaran pelajar AFS (American Field Service) di Amerika Serikat pada 1959-1960. Ia melihat hubungan antara murid dan guru di sana sangat ideal: guru memberi kepercayaan pada murid, murid pun leluasa mengembangkan potensi kreatifnya. Ia yakin hal yang sama bisa dikembangkan di Indonesia.
Arief memandang, pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru dan sekolah. Tata kota juga memberi pengaruh bagi pendidikan anak. Kota London dan Paris, misalnya, diatur berdasar kaidah yang mengutamakan ruang publik melalui penyediaan ruang terbuka hijau dan taman kota. Ini berbeda dengan kota-kota besar di Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi, dengan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan.
Keluarga bagi Arief adalah peletak dasar pendidikan anak. Untuk menjaga kedekatan dengan anak-anaknya, tiap malam Arief menyempatkan diri mendatangi mereka satu per satu di kamar masing-masing.
Di usia 70 tahun, Arief masih padat dengan banyak kegiatan. Untuk menjaga kesehatan, dia berolahraga dengan joging dari rumahnya di Rawamangun sampai sekolah ke SMA Labschool, tempat ia berhikmat kini. Bagi Arief Rachman, kurikulum ibarat umur. Tak pernah konstan, kurikulum itu berubah-ubah. Harus lentur, beradaptasi dengan zaman.
Kepada Adik-Adik Pemuda
Beberapa hari yang lalu saya berjumpa dengan salah seorang murid saya di tahun 70-an. Terkejut, bangga dan gembira karena dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang guru besar di salah satu Universitas yang ternama.
Dia berceritera bahwa yang mengantarkan dirinya sehingga menjadi seorang guru besar adalah mata pelajaran Bahasa Inggris yang pernah saya ajarkan di SMA. Saya bertanya apa yang paling berkesan dan memberi inspirasi dan mendorong dirinya sampai ke puncak profesi akademis tertinggi.
Ternyata adalah sebuah lagu yang dinyanyikan bersama – sama sewaktu belajar Bahasa Inggris dengan judul “Blowing in the Wind” yang dinyanyikan oleh Joan Baez (mudah-mudahan tidak salah cara menulisnya). Dalam liriknya ada kata-kata “berapa kali seorang laki-laki harus mengelak menatap jenazah sebelum dia betul-betul menjadi laki-laki yang kokoh? Jawabnya ditiup angin (artinya tidak ada batasnya)
Kemudian lagu ini dibahas di kelas:
Kesimpulannya:
Bila seseorang ingin berhasil mencapai kesuksesan dalam hidup dia harus berani menghadapi tantangan tanpa menjawab prinsip kebenarannya! Saya baru sadar bahwa mengajar, mendidik dengan cara menyenangkan dan bermakna dapat mendongkrak cita-cita sampai umur kita di hari tua. Semoga Indonesia berharkat dan bermartabat.
Selamat Berjuang.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Arief Rachman, Hal: 142-143.