Situs Sriwijaya Kian Tersisih

Apr 02, 2014 No Comments by

Oleh: Irene Sarwindaningrum

Ibu kota Sriwijaya pada abad VII-XIII merupakan kota yang tertata apik, lengkap dengan taman buah, pusat-pusat kerajinan, dan kanal-kanal buatan. Namun, di Palembang kini, jejak kebesaran peradaban itu kian samar karena tersudut oleh pembangunan.

Situs Candi Angsoka di pusat kota Palembang, Sumatera Selatan, menjadi gambaran betapa mengenaskan nasib sebuah situs di tengah pesatnya pembangunan fisik. Kawasan yang diduga lokasi candi dari abad VII itu kini menjadi permukiman padat. Lahan itu berada di balik deretan pertokoan padat antara Jalan Sudirman dan Jalan R Sukamto.

Bongkahan batu diduga sisa bangunan candi terserak di antara padatnya rumah-rumah bedeng di lahan sekitar 120 meter x 125 meter. Di bagian belakang sebuah rumah bedeng tampak sebongkah batu putih dipahat persegi mirip tugu. Kondisinya yang tertutup berbagai sampah kebun begitu mengenaskan.

Di bagian atas batu berukuran sekitar 1 meter persegi dan tinggi sekitar 1,5 meter itu masih jelas lubang pahatan berbentuk segitiga. Beberapa ahli menduga, segitiga itu merupakan trikona dari agama Buddha. Namun, ada pula dugaan, batu itu yoni dari agama Hindu.

Tak hanya itu, banyak pecahan batu yang diduga peninggalan zaman Sriwijaya hanya dijadikan ganjal pot bunga atau termakan tembok rumah.

Selain situs candi Sriwijaya, kawasan itu juga merupakan makam Pangeran Madi Angsoka (1588-1623), seorang tokoh dari zaman Kesultanan Palembang. Makam yang berada tak jauh dari bongkahan batu itu hingga saat ini masih terawat baik.

Peneliti Balai Arkeologi Palembang, Retno Purwanti, menuturkan, ekskavasi di Candi Angsoka pernah menemukan struktur candi yang diduga cukup besar. Adapun bongkahan-bongkahan batu putih jenis lime yang banyak di sana dipastikan bukan berasal dari Palembang. Pada zaman itu, batu-batu berukuran raksasa itu sengaja diangkut ke Palembang untuk bangunan candi.

”Penanggalan karbon kayu yang ada di bagian struktur bata itu menunjukkan tahun 650-700 atau awal masa Kerajaan Sriwijaya,” kata Retno.

Saat ini, struktur batu bata yang digali di kedalaman sekitar 1,5 meter itu telah tertimbun kembali di bawah bangunan-bangunan.

Situs Sarangwati di kawasan Lemabang pun bernasib sama. Saat ini, lahan tempat temuan itu tertutup pagar seng setinggi 2 meter. Menurut warga sekitar, lahan itu akan dibangun sebagai pertokoan atau gudang sebuah jaringan pusat perbelanjaan.

Dalam sejumlah ekskavasi, di sana ditemukan stupa-stupa kecil (stupika) dan arca Buddha Avalakitecvara dari tanah liat. Arca sempat dirawat pemilik rumah di taman di halamannya. Kini, arca tersebut berada di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.

Peneliti Balai Arkeologi Palembang, Tri Marhaeni, yang pernah meneliti di Sarangwati mengatakan, temuan-temuan itu mengindikasikan Sarangwati sebagai tempat ibadah pada zaman Sriwijaya. Situs Sarangwati diduga masih menyimpan peninggalan dari zaman Sriwijaya. ”Bisa jadi juga ada candi di sana, tapi sekarang semakin sulit meneliti di sana,” kata Tri.

 

Hilang

Banyak situs Sriwijaya yang pelan-pelan menghilang karena terdesak pembangunan. Banyak situs ekskavasi Sriwijaya telah beralih fungsi menjadi permukiman atau bangunan bisnis.

Menurut Retno, dari sekitar 23 situs ekskavasi peninggalan Sriwijaya, sekitar separuhnya tak lagi terlihat secara fisik. Padahal, beberapa situs itu bernilai penting.

Di antara situs yang ”hilang” itu adalah Kambang Unglen di bagian selatan Bukit Siguntang. Situs ini diduga merupakan pusat kerajinan manik-manik kaca pada zaman Sriwijaya. Terdapat pula situs Tanjung Rawa dengan banyak temuan sisa besi. Kawasan ini diduga pusat kerajinan besi pada abad itu. Kedua situs ini kini telah menjadi permukiman padat.

Kerajaan Sriwijaya juga diduga sudah memproduksi sendiri benda-benda tanah liat. Hal ini terlihat dari adanya cetakan tanah liat dari perunggu di situs Karanganyar. ”Situs-situs yang diduga pusat kerajinan ini cukup penting karena membuktikan ibu kota Sriwijaya di Palembang ini sudah mandiri dan sangat maju,” katanya.

Kanal-kanal kuno di sekitar situs Karanganyar pun tak lepas dari desakan permukiman liar. Padahal, kanal-kanal itu menjadi bukti kecanggihan penataan air Kerajaan Sriwijaya.

Saat ini, selain di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, peninggalan kerajaan maritim itu tersebar di Museum Balaputradewa, Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, dan Museum Nasional di Jakarta.

Di tengah makin tingginya kebutuhan lahan, upaya melestarikan situs makin tak mudah. ”Pembenahan kerap bertentangan dengan kepentingan warga,” kata Kepala Unit Pengelola Teknis Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya Hadran Effendi.

 

Kehilangan Akar Budaya

Jejak fisik Sriwijaya yang makin samar membuat masyarakat Palembang kian jauh dari akar sejarah dan budayanya sendiri. Tak banyak warga Palembang yang mengetahui keberadaan situs-situs tersebut.

Menurut Retno, hal ini berdampak pada jati diri yang makin kabur. Kota Palembang yang sebenarnya memiliki bukti kuat sebagai pusat peradaban kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara itu pun makin sulit mengklaim warisan sejarahnya.

Retno menilai, pembangunan di lahan situs bukannya harus dilarang. Namun, konflik antara penyelamatan situs dan kepentingan ekonomi pun bukannya tak punya titik temu. Salah satunya adalah menyisakan sepetak tanah untuk papan penanda yang berisi deskripsi dan sejarah situs.

Penanda juga bisa dilengkapi pajangan sedikit contoh temuan yang pernah ada di lokasi tersebut atau biasa disebut site museum. Site museum seperti ini tak membutuhkan lahan lebih dari 4 meter persegi. Selain itu juga menambah nilai aset di lingkungan tersebut. ”Tujuan utamanya adalah masyarakat mengenali warisan sejarahnya,” ujar dia.

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Sumatera Selatan Farida R Wargadalem menilai, permasalahan ini berakar dari minimnya perlindungan pemerintah daerah terhadap situs-situs bersejarah di Palembang.

Dari puluhan situs bersejarah di Palembang, baru dua situs yang telah ditetapkan sebagai benda cagar budaya oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada 2004, yaitu Benteng Kuto Besak dan Sabokingkin. Situs-situs yang tersisa hanya dapat menanti diselamatkan.

Berita, Kabar

About the author

The author didnt add any Information to his profile yet
No Responses to “Situs Sriwijaya Kian Tersisih”

Leave a Reply