Komoditas Batubara Tidak Prospektif
Peningkatan ekonomi dari industri ekstraktif batubara dinilai semu. Analisis Greenpeace Indonesia menunjukkan, eksploitasi batubara justru membahayakan perekonomian nasional serta memperburuk kemiskinan di daerah.
Arif Fiyanto, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Selasa (18/3), di Jakarta, mengatakan, pertambangan batubara rawan akan pengaruh perekonomian global. Hal ini karena Indonesia hanya memiliki 3 persen cadangan batubara dunia. Sejak 2011, Indonesia menjadi eksportir terbesar sumber daya tak terbarukan itu, mengalahkan Australia.
Ekspor batubara yang mencapai 450 juta ton pada 2012 dinilai angka semu karena sektor ini hanya menyumbang 4 persen dari produk domestik bruto di Indonesia.
”Pada 2012, transaksi berjalan Indonesia merosot menjadi defisit untuk pertama kalinya sejak krisis ekonomi Asia pada akhir 1990-an,” kata Arif.
Salah-satu penyebabnya, pelambatan ekonomi di China dan negara besar lain, menurunkan permintaan batubara dari Indonesia. Selain batubara, hasil tambang mineral logam juga mengalami penurunan serupa.
Ia mengatakan, China serta negara-negara lain saat ini secara bertahap bermigrasi ke energi terbarukan. Artinya, kebutuhan akan batubara akan menurun.
”Negeri Panda” itu mulai giat menggarap energi terbarukan, terutama matahari dan angin, sejak terjadi polusi parah akibat pencemaran asap kendaraan dan industri serta pembangkit listrik. Pencemaran udara itu mencapai 30 kali lipat dari tingkat aman 25 mikrogram per meter kubik berdasarkan standar WHO.
”Saat China mengekang konsumsi batubara dan mempersempit ruang impor, petambang batubara di Australia, Indonesia, dan AS, serta tempat lain merencanakan investasi besar yang mengarah ke pasar yang kelebihan pasokan,” katanya.
Ini membuat komoditas batubara tak prospektif. Arif mendesak agar Pemerintah Indonesia tidak bertumpu pada industri ekstraktif batubara.
Dihubungi terpisah, Merah Johansyah, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang di Kalimantan Timur, mengatakan, pertambangan batubara menghasilkan kesengsaraan bagi warga. Halitu, antara lain, penyakit akibat pencemaran air (asam tambang), bencana banjir, serta merusak lahan pertanian. Artinya, industri batubara berkontribusi kecil pada perekonomian nasional, tetapi dampak negatif bagi lingkungan sangat besar.
Bahkan, kegiatan tambang batubara rawan praktik korupsi dan penyimpangan. Merah mencontohkan, di kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto malah diterbitkan 42 izin usaha pertambangan dengan luas 1.500 hektar. Bahkan, ada jalan untuk transportasi batubara.
Ia melihat praktik itu ganjil karena hutan konservasi selama bertahun-tahun akan digunakan sebagai areal pertambangan. Terlebih, izin usaha pertambangan itu legal dikeluarkan pemerintah daerah setempat. (ICH)
Sumber: Kompas, Rabu 19 Maret 2014.