Menjaga Hutan sebagai Titipan
Oleh: Dwi As Setianingsih dan Cornelius Helmy
Indonesia tengah dikepung bencana. Banjir dan longsor susul-menyusul tanpa jeda. Tidak hanya meminta korban harta, namun juga nyawa. Saatnya belajar pada kearifan lokal masyarakat adat yang menjunjung tinggi alam dan lingkungan tempat mereka hidup.
Di antara bencana banjir yang melanda Jakarta dan wilayah pantai utara Jawa, bencana longsor terus mengintai. Longsor yang terjadi di Kudus, Jawa Tengah, pekan lalu, menewaskan 12 orang dan mengakibatkan hampir 2.000 warga mengungsi.
Di Jombang, Jawa Timur, longsor menewaskan enam orang dan merusak puluhan rumah. Sejumlah korban dikabarkan masih dalam pencarian. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan, hujan masih akan turun dengan intensitas tinggi akhir Februari. Artinya, ancaman banjir dan longsor masih mengintai.
Awal pekan lalu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur mengeluarkan peringatan terhadap warga di 20 kota/kabupaten yang merupakan daerah rawan longsor agar lebih waspada, antara lain Pacitan, Magetan, Jombang, dan Trenggalek. Manusia kerap lupa, bencana kerap muncul saat manusia tak lagi hidup selaras serta menghormati alam.
Masyarakat adat Baduy yang berdiam di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, hidup berdampingan dengan alam demi menjaga kelestarian lingkungan hidup. Kearifan masyarakat Baduy menjauhkan mereka dari berbagai bencana, seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Kearifan mereka ditunjukkan dalam pembagian wilayah leuweung (hutan) menjadi tiga kategori, yaitu hutan titipan, hutan tutupan, dan hutan garapan.
Hutan titipan adalah kawasan hutan yang tidak boleh diganggu gugat oleh manusia. Kata titipan berarti amanat dari Tuhan dan para leluhur untuk dijaga keutuhannya serta harus dipertahankan keberadaannya. Hutan titipan biasanya berada di daerah atas atau puncak gunung.
Hutan tutupan adalah kawasan hutan cadangan yang pada saat tertentu dapat digunakan jika diperlukan. Masyarakat adat diperbolehkan masuk dan mengambil hasil hutan, seperti rotan, getah, buah-buahan, dan umbi-umbian. Jika ada pohon ditebang, harus segera diganti dengan pohon baru.
Hutan garapan adalah kawasan hutan yang dibuka menjadi lahan garapan masyarakat untuk berhuma atau berladang. Lokasinya biasanya di kaki gunung. Aturan atau hukum adat terkait pengelolaan kawasan hutan itu wajib dipatuhi. Sanksi keras diberlakukan bagi yang melanggar aturan, yakni dikeluarkan dari lingkungan adat Baduy.
Guru Besar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran, Bandung, yang kerap melakukan penelitian terhadap masyarakat adat Baduy, Johan Iskandar, Jumat (31/1), menuturkan, masyarakat tradisional, seperti Baduy, dalam memanfaatkan alam selalu berlandaskan dua hal, yaitu pengetahuan lokal dan tanda alam.
“Mereka meyakini, dunia diciptakan di hutan dan hulu sungai. Dua tempat itu dianggap sakral. Jangankan membuka hutan, untuk memasuki saja mereka tidak berani karena berarti melanggar aturan,” ujarnya.
Aturan tersebut, menurut Johan, dipegang teguh oleh seluruh komunitas adat Baduy, termasuk Baduy luar. “Masyarakat Baduy juga memegang aturan bahwa daerah sempadan sungai tidak boleh dibangun. Dengan menjaga hutan dan sungai, masyarakat Baduy terlindung dari berbagai bencana,” kata Johan.
Keramat
Pentingnya memiliki hutan keramat diungkapkan Wakil Ketua Adat Kuta Sanmarno. Kampung adat Kuta berada di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Ciamis, Jawa Barat.
Beberapa saat lalu, Sanmarno menerima keluhan 13 warga dari lima kampung yang dilanda kekeringan karena air tidak mengalir. Akibatnya, puluhan hektar sawah kering kerontang. Sementara di Kampung Kuta, air mengalir deras.
Sanmarno menduga, maraknya penebangan pohon hingga kerusakan lingkungan di sekitar hulu mata air di kampung tetangga menjadi penyebabnya. Aturan adat yang melarang alih fungsi lahan ditinggalkan.
“Hal ini semakin menguatkan keyakinan pentingnya hutan keramat. Sejak ratusan tahun lalu, adat dan leluhur melarang pohon ditebang,” kata Sanmarno.
Hanya Senin dan Jumat hutan larangan boleh dikunjungi tanpa alas kaki. Yang melanggar akan berhadapan dengan makhluk gaib sakti yang bisa menurunkan hukuman.
Sanmarno mengatakan, keberadaan hutan keramat memberikan air saat kemarau dan mengontrol air pada musim hujan. Hutan keramat juga menjaga benih beragam pohon besar yang tumbuh di kampung, seperti pulus, huru, caringin, dadap, dan hampelas. Biji-bijian yang dibawa kelelawar dan musang dari hutan menjadi tumpuan hidup masyarakat Kuta.
“Selain hutan, ada 23 tempat keramat lain di Kampung Kuta. Ada beberapa tebing tanah penyimpanan benda suci hingga mata air. Warga dilarang menebang pohon di daerah keramat itu,” tutur Udin, warga Kampung Kuta.
Masyarakat Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, memiliki hutan keramat naga seluas 2 hektar dan hutan biuk seluas 1,5 hektar. Hutan itu terletak di kaki Gunung Karacak. Hanya satu kaki warga yang boleh menginjak hutan. Satu kaki lain harus berada di luar kawasan hutan.
Hutan keramat ini diyakini banyak ahli sebagai penjaga Sungai Ciwulan, sumber air dan beragam aktivitas ekonomi masyarakat Tasikmalaya. Ribuan hektar sawah dan kolam ikan di Tasikmalaya menggantungkan air dari Sungai Ciwulan.
Cucu, seorang pemangku adat Kampung Naga, menyatakan, keberadaan akar pohon besar di hutan keramat menjadi pengendali laju air saat musim hujan dan tidak menyebabkan banjir di daerah rendah.
Di Kampung Dukuh, Garut, Jawa Barat, wilayah kampung adat seluas 5 hektar dibagi menjadi tiga bagian, makam keramat dan hutan larangan yang diwariskan leluhur sejak ratusan tahun lalu dan permukiman.
Kearifan lokal yang ditunjukkan masyarakat adat adalah contoh bahwa alam dan lingkungan memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Menjaga hutan sebagai titipan leluhur adalah sebuah kearifan yang patut ditiru agar bencana banjir dan longsor tidak lagi menjadi ancaman.